Belakangan, wacana donasi hutan menggema di media sosial. Influencer seperti Pandawara mengajak publik menggalang dana untuk membeli hutan. Gerakan ini lahir dari keputusasaan warga melihat banjir dan longsor massif di Sumatra. 914 meninggal, jutaan mengungsi, dan ribuan rumah luluh lantak.
Di tengah tragedi sebesar ini, respons publik bergerak lebih cepat dibanding negara. Lalu muncul kabar: presiden turut berdonasi. Sekilas, tindakan itu terlihat mulia. “Wah, presiden kita peduli” begitu kira-kira reaksi banyak orang.
Tapi jika ditinjau lebih dalam, gestur tersebut menyimpan pertanyaan mendasar. Apakah negara tidak lagi mampu bekerja? Karena fakta sederhananya adalah donasi pribadi tidak bisa menggantikan kebijakan publik.
Donasi Tak Bisa Gantikan Kebijakan: Sebuah Kritik atas Respons Negara pada Bencana Sumatra
Masalah bencana alam berskala besar tidak dapat diselesaikan oleh uang pribadi. Bahkan uang miliaran sekalipun. Bencana banjir Sumatra bukan hanya persoalan pohon tumbang atau rumah rusak; ia adalah krisis multidimensi yang membutuhkan:
- Koordinasi nasional yang ketat dan cepat.
BNPB, TNI, Polri, kementerian teknis, hingga pemerintah daerah harus bergerak dalam satu komando.
- Anggaran darurat yang memadai.
Negara memiliki contingency fund miliaran hingga triliunan rupiah, bukan hasil patungan warga.
- Sistem evakuasi yang profesional.
Termasuk logistik, medis, posko, dan jalur distribusi yang efektif—semua ada dalam protokol negara.
- Pemulihan jangka panjang.
Rekonstruksi wilayah terdampak, rehabilitasi psikososial, hingga perencanaan tata ruang baru.
Tidak satu pun dari kebutuhan ini bisa dipenuhi oleh donasi pribadi, bahkan oleh kepala negara sekalipun. Di sinilah letak keganjilannya.
Jika presiden menggunakan uang pribadinya, ia menempatkan dirinya hanya sebagai warga yang membantu, bukan pemimpin yang bertanggung jawab atas mobilisasi instrumen negara.
Ketika Kepala Negara Bertindak sebagai Relawan: Di Mana Sistem Penanganan Bencana?
Tindakan itu memunculkan sebuah pertanyaan yang menohok. Jika negara bekerja dengan maksimal, apakah presiden masih perlu berdonasi?
Dalam tata kelola pemerintahan modern, presiden bukan sekadar simbol moral. Ia adalah pusat komando. Dalam situasi bencana besar, presiden seharusnya:
- Hadir di lokasi bencana,
- Memimpin rapat darurat,
- Memerintahkan percepatan anggaran,
- Menggerakkan lembaga secara serentak,
- Menegur kepala daerah yang lamban,
- Memastikan pemulihan berlangsung sistematis.
Tugas presiden bukan menyerahkan amplop bantuan; tugas presiden adalah menggerakkan negara.
Tragedi Bencana dan Ironi Donasi Presiden: Publik Dapat Empati, Negara Kehilangan Fungsi
Tidak ada yang salah dengan donasi. Kita butuh solidaritas. Kita butuh gotong royong. Kita butuh empati. Namun ketika presiden ikut berdonasi, masalahnya bukan pada tindakan memberi itu sendiri. Masalahnya adalah pesan politis dan administratif yang ia tunjukkan.
Bahwa sistem negara tidak cukup kuat untuk menolong rakyatnya, sehingga ia harus turun tangan sebagai individu. Bencana sebesar Sumatra membutuhkan kepemimpinan, bukan hanya kedermawanan.
Dan jika presiden lebih menonjol sebagai donatur ketimbang panglima penanganan bencana, maka ada yang jauh lebih darurat dari banjir dan longsor itu: kerapuhan negara dalam melindungi rakyatnya.
Gestur Baik yang Salah Tempat: Masalah Donasi Presiden di Tengah Krisis Nasional
Donasi adalah hal baik. Tidak ada yang salah dengan membantu sesama, apalagi ketika bencana besar menimpa sebuah wilayah. Namun ada garis batas penting antara individu yang berdonasi dan kepala negara yang bertanggung jawab.
Presiden yang harusnya tengah sibuk memikirkan solusi dan menyelesaikan penyebab bencana sebesar ini dengan kebijakan, namun isi pemberitaan sejauh ini hanya tentang donasi dan bantuan sosial secara pribadi. Secara sekilas mungkin tampak baik dan mulia. Namun di saat yang sama memicu pertanyaan ragu-ragu yang perlu disuarakan.
Saat seorang presiden memilih berdonasi menggunakan uang pribadinya, itu bukan lagi sekadar gestur empati. Itu adalah sinyal keras bahwa mekanisme negara tidak berjalan seperti seharusnya.
Baca Juga
-
Pungli di Sekolah Negeri: Gejala Sistemik yang Tak Boleh Dianggap Normal
-
Anatomi Kehidupan dari Laut: Pangan, Ekonomi, hingga Masa Depan Kita
-
Benteng Terakhir Pesisir: Mengapa Zona < 1 Mil Harus Dilindungi Total
-
Ketika Bencana Menjadi Keseharian: Ironi Nyata dari Ujung Pesisir
-
Mercusuar Cafe & Resto: Spot Foto Magical ala Negeri Dongeng di Bandung!
Artikel Terkait
-
Bencana Sumatra: Pengamat Sebut Menhut Terdahulu Perlu Diperiksa, Termasuk Zulhas
-
Mensos Akui Masih Ada Daerah Terisolasi di Sumatra, Tapi Pasokan Logistik Mulai Teratasi
-
Banjir Sumatra Bukan Takdir, Ini Akar Masalah dan Solusi Agar Tak Terulang Lagi
-
Menhut Segel 3 Subjek Perusak Hutan, Total 7 Terkait Banjir Sumatra, Ini Daftarnya
-
Kepala BNPB Sebut Banjir Sumatra Cuma Mencekam di Medsos: Auto Tuai Kritik Keras dari DPR
Kolom
-
Dampak Pemanasan Global terhadap Ekosistem Pesisir Indonesia
-
Fenomena Job Hugging, Tanda Loyalitas atau Karier Stagnan?
-
Rentetan Bullying Hingga Kekerasan di Sekolah, Bagaimana Peran Pendidik?
-
Akar Masalah Bullying: Sering Diabaikan, Lingkungan, dan Psikologi Keluarga
-
Bongkar Luka Bullying: Belajar dari Drama 'The Glory' dan Realitas Saat Ini
Terkini
-
Qorin 2: Horor Psikologis yang Mengungkap Luka Perundungan
-
Cerah Maksimal! 4 Skincare Daily Mask Niacinamide untuk Glowing Setiap Hari
-
Kisah Akbar, Disabilitas Netra yang Berkelana di Ruang Sastra Tukar Akar
-
Ari Lasso Beri Kejutan Romantis untuk Dearly Djoshua, Bantah Rumor Putus?
-
EXO Hidupkan Lagi Konsep Superpower di Trailer Album Penuh ke-8, REVERXE