Bimo Aria Fundrika
Ilustrasi mie instan rebus (Unsplash/ikhsan baihaqi)

Ada satu culture shock yang nggak pernah saya duga bakal muncul setelah menikah: makan Indomie double pakai nasi itu dianggap “aneh.”

Buat saya, itu kebiasaan yang sangat biasa. Jadi keseharian. Tapi buat istri, itu cukup bikin dia geleng-geleng kepala. Kadang juga marah. 

“Pilih salah satu. Nggak usah dua-duanya,” katanya. 

Saya cuma nyengir, “Dari kecil udah begini.”

Kami, saya dan istri, memang punya latar belakang ekonomi yang berbeda. 

Indomie bagi saya punya sejarah panjang. Waktu kecil, hampir setiap malam mendiang ayah saya mengajak makan Indomie di warung Indomie dekat rumah. 

Ilustrasi Indomie. [ChatGPT]

Sedangkan bagi istri, ceritanya lain. Ia tumbuh dengan akses makanan yang lebih beragam.  Indomie bukan makanan wajib, bahkan bukan sesuatu yang akrab dalam kesehariannya. 

Pilihannya lebih beragam, lauk rumahan lengkap, sayur segar, sampai camilan sehat. Semuanya nyaris tersedia. 

Jadi ketika ia melihat saya makan mie instan dua bungkus pakai nasi, reaksinya wajar. Itu di luar pengalaman makannya.

Saya juga punya pengalaman lain saat Ramadan. Dalam keluarga saya, Indomie justru sering menjadi penyelamat dua pertiga malam kami saat sahur.

Strateginya sederhana, tiga bungkus mie untuk berempat, saya, adik saya, ibu, dan mendiang ayah saya. Kuahnya dibuat banjir. Nasinya banyak. Berharap bahwa asupan berkali-kali lipat karbohidrat itu bikin kami kenyang sampai Magrhrib tib. 

Saya nggak pernah benar-benar sadar kalau makan Indomie dua bungkus plus nasi itu bukan cuma soal kebiasaan. Itu strategi. Cara bertahan hidup. 

Cara tercepat, termurah, dan paling masuk akal untuk bikin perut kenyang. Saya nggak pernah mikir panjang. Yang penting kenyang.

Baru setelah dewasa, setelah hidup dengan orang yang punya latar berbeda, saya pelan-pelan sadar: kebiasaan itu bukan soal selera. 

Ada sesuatu yang lebih besar yang membentuknya.

Saya tumbuh di keluarga yang ekonominya pas-pasan. Bukan miskin sekali, tapi juga masih sangat jauh buat dibilang kelas menengah. 

Dalam kondisi begitu, makanan selalu jadi hasil negosiasi antara rasa, waktu, dan harga. 

Dan kalau sudah soal harga, karbohidrat hampir selalu menang. 

Dalam beberapa riset tentang pola makan rumah tangga berpendapatan rendah, hasilnya hampir selalu sama keluarga dengan pendapatan terbatas cenderung mendapatkan proporsi kalori lebih banyak dari karbohidrat murah.

Data Susenas juga menunjukkan hal yang sama, kelompok ekonomi bawah lebih mengandalkan nasi, mie instan, tepung, roti, makanan olahan, karena protein hewani atau sayuran segar jauh lebih mahal per kalori. 

Belakangan saya sadar, apa yang dulu saya jalani ternyata punya penjelasan ilmiahnya. Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar di UGM, Prof. Mujtahidah Anggriani Ummul Muzayyanah menyebut keluarga berpenghasilan rendah hampir selalu “mengunci” pilihan pada makanan nabati dan bertepung.

Bukan karena tidak paham gizi, tapi karena itulah pilihan paling masuk akal secara ekonomi. Cara paling aman untuk memastikan kebutuhan pangan dasar terpenuhi. Cara paling masuk akal untuk bertahan hidup. 

Saya jadi sadar, apa yang saya lakukan dulu adalah pola umum yang dibentuk kondisi. Makanan sehat itu memang lebih mahal. 

Penelitian Affordability of Different Isocaloric Healthy Diets in Germany juga bilang, bahwa diet yang lebih seimbang, dengan porsi protein dan sayuran yang lebih besar, memang membutuhkan biaya yang jauh lebih tinggi dibanding pola makan berbasis karbohidrat murah.

Wajar kalau keluarga seperti kami dulu larinya ke makanan karbo yang awet, murah, mudah disimpan, dan bikin kenyang lama.

Dan budaya kita ikut menyempurnakan pola itu. Di banyak rumah masyarakat Indonesia, makan tanpa nasi dianggap belum makan. Jadi pilihan ekonomis dan kebiasaan budaya saling menguatkan.

Kalau saya melihat diri kecil saya, anak yang makan Indomie dua plus nasi, saya nggak melihat kebiasaan buruk. 

Saya melihat sistem. Saya melihat bagaimana ekonomi rumah, akses belanja, kondisi kerja orang tua, dan budaya makan saling berkelindan dan membentuk pola yang saya kira “selera,” padahal itu adaptasi. Cara bertahan hidup. 

Sekarang ketika ekonomi saya jauh lebih baik, kebiasaan itu masih susah hilang.

Jadi ketika istri bertanya, “Kenapa sih harus pakai nasi?” 

Saya akhirnya bisa menjawab lebih jujur: “Karena dulu, itu bukan soal enak. Itu soal bertahan.”