Belakangan ini, muncul anggapan bahwa kebun kelapa sawit dapat disamakan dengan hutan. Anggapan ini berangkat dari cara pandang yang sederhana: kelapa sawit juga pohon, tumbuh tinggi, berdaun hijau, dan secara kasat mata memang menyerupai hutan. Bahkan dari kejauhan, hamparan sawit sering terlihat sejuk, seolah mampu menggantikan peran hutan yang ditebang sebelumnya.
Namun, jika benar semua pohon memiliki fungsi yang sama, mengapa banjir, tanah longsor, dan krisis ekologis justru semakin sering terjadi di wilayah yang hutannya berganti menjadi kebun sawit? Kenyataan ini menunjukkan bahwa persoalannya tidak sesederhana soal ada atau tidaknya pohon.
Ini bukan lagi sekadar pertanyaan, melainkan sebuah renungan bersama yang menuntut kita untuk melihat fungsi hutan lebih dalam. Hutan bukan sekadar kumpulan pohon, melainkan sebuah kesatuan kehidupan. Di dalamnya, berbagai makhluk hidup dan unsur alam bekerja bersama dalam satu ekosistem besar untuk menopang keseimbangan alam.
Hutan Bukan Sekadar Kumpulan Pohon
Hutan alami merupakan sebuah ekosistem besar yang tersusun dari banyak interaksi antara komponen biotik dan abiotik. Jika kita mengingat kembali pelajaran saat sekolah dasar, terdapat istilah simbiosis, yakni interaksi antara dua makhluk hidup berbeda jenis yang hidup berdampingan dan saling memengaruhi. Dalam konteks ini, hutan dapat dipahami sebagai rumah besar bagi berbagai makhluk hidup, mulai dari beragam jenis pohon, lumut, jamur, serangga, hingga mamalia, yang hidup dalam satu kesatuan sistem kehidupan.
Sebaliknya, kebun sawit ditanam dengan prinsip keseragaman atau monokultur. Jenis pohonnya sama, jarak tanamnya diatur sedemikian rupa, dan tujuannya pun jelas, yaitu produksi. Hampir tidak ada keragaman vegetasi yang cukup untuk menopang kehidupan satwa liar.
Selain itu, kelapa sawit memiliki akar serabut yang relatif pendek dan dangkal, sehingga membuat struktur tanah menjadi kurang gembur dan kemampuan tanah dalam menyimpan air menjadi lebih rendah. Kondisi ini menyebabkan tanah kurang mampu menyerap air hujan secara optimal, yang pada akhirnya mempercepat aliran air di permukaan dan meningkatkan risiko banjir serta erosi.
Oleh karena itu, menyamakan kebun sawit dengan hutan merupakan sebuah kesalahan cara pandang. Kesalahan ini sering muncul karena keduanya sama-sama berupa pohon dan sama-sama menghasilkan oksigen, padahal cara kerjanya di alam sangat berbeda.
Hutan alami dibangun oleh keberagaman dan keseimbangan antar komponen ekosistem, sementara kebun sawit berdiri di atas keseragaman dengan orientasi produksi semata, tanpa kemampuan menopang fungsi ekologis yang setara dengan hutan.
Ketika Alam Kehilangan Daya Lindungnya
Perbedaan ini menjadi sangat terasa ketika musim hujan datang. Saat hujan deras mengguyur, hutan alami bekerja seperti sebuah spons raksasa. Air hujan ditahan oleh daun, diserap oleh akar yang menembus tanah, lalu dilepaskan perlahan ke sungai atau tersimpan di dalam tanah sebagai sumber mata air. Inilah alasan mengapa wilayah berhutan cenderung lebih stabil dan jarang mengalami banjir bandang.
Hal yang berbeda terjadi pada kebun sawit. Akar sawit yang serabut dan dangkal membuat tanah menjadi lebih padat dan sulit menyerap air. Ketika hujan deras datang, air langsung mengalir di permukaan tanah, membawa lumpur dan sedimen, hingga memperbesar risiko banjir serta longsor. Dampaknya sering kali dirasakan oleh warga yang tinggal jauh dari lokasi kebun, terutama masyarakat di wilayah hilir yang tidak pernah menikmati langsung hasil sawit.
Masalahnya menjadi jauh lebih serius ketika kebun sawit mulai diperlakukan sebagai “pengganti hutan” dalam berbagai kebijakan. Saat sawit dianggap setara dengan hutan, pembukaan hutan baru ironisnya menjadi lebih mudah dibenarkan. Padahal, yang sebenarnya terjadi bukanlah proses penggantian, melainkan penghilangan fungsi alam yang secara perlahan justru mendatangkan bencana di masa depan.
Sawit Memang Penting tapi Bukan Sebagai Pengganti Hutan
Kelapa sawit sendiri bukanlah sesuatu yang perlu dibenci. Tanaman ini memiliki peran ekonomi yang nyata dan menjadi sumber penghidupan bagi banyak orang. Namun, besarnya manfaat ekonomi sawit tidak otomatis membuatnya layak menggantikan peran hutan. Sawit tidak diciptakan untuk menggantikan hutan, sebagaimana hutan tidak seharusnya diperlakukan sebagai lahan “menganggur” yang bisa dengan mudah dialihfungsikan menjadi kebun tanaman produktif, termasuk sawit.
Menganggap sawit bisa menggantikan peran hutan adalah cara pandang yang keliru dan berbahaya. Pandangan ini secara tidak langsung meremehkan fungsi hutan alam sebagai sistem kehidupan yang sangat kompleks.
Ketika kita terus menyederhanakan makna hutan hanya sebagai kumpulan pohon, yang hilang bukan sekadar pepohonan, melainkan juga sistem penyangga kehidupan yang selama ini menjaga keseimbangan lingkungan. Dan saat fungsi alam sudah rusak, yang pertama kali menanggung dampaknya adalah manusia.
Baca Juga
-
Reforestasi Bukan Sekadar Menanam Pohon, Ini Upaya Memulihkan Ekosistem
-
Di Balik Diamnya INFJ: Intuisi Kuat dan Kepekaan yang Luar Biasa
-
Bingung Pilih OOTD? Ini 5 Aplikasi Terbaik untuk Inspirasi Gaya Anda
-
Cantik Nggak Harus Mahal, Inilah 5 Tips Tampil Alami dan Tetap Glowing
-
Mengenal Neophobia: Ketika Rasa Takut pada Hal Baru Menjadi Hambatan
Artikel Terkait
Kolom
-
Meninjau Ulang Peran Negara dalam Polemik Arus Donasi Bencana
-
Ahli Gizi: Pahlawan Super yang Cuma Ditelfon Kalau Badan Sudah Ngeluh Keras
-
Indomie Double Plus Nasi Adalah Cara Saya Menyiasati Kemiskinan
-
Kecemasan Kolektif Perempuan dan Beban Keamanan yang Tak Diakui
-
Dari Pesisir Malang Selatan, Cerita tentang Penyu dan Kesadaran
Terkini
-
Bertabur Bintang, Ini Jajaran Pemain Film 'Tazza 4: The Song of Beelzebub'
-
Nicholas Saputra Menahan Tangis soal Banjir Sumatra: Kita Hanya Numpang
-
Persib Bandung Move On dari Malut United, Fokus Hadapi Bhayangkara FC
-
Kawula17 Dorong Orang Muda Aktif Mengawal Kebijakan Iklim
-
Review Drakor Shin's Project: Ada Ahli Negosiator di Balik Kedai Ayam Goreng