Sekar Anindyah Lamase | Fauzah Hs
Banjir Sumatra (Instagram/suaradotcom)
Fauzah Hs

Dari semua kelompok yang terpaksa berjuang di tengah bencana Aceh dan Sumatra, perempuan menjadi pihak yang paling senyap sekaligus paling terdampak. Mereka jarang jadi berita utama, tapi beban yang dipikul perempuan biasanya dua kali lipat, karena harus menjaga keluarga sekaligus menjaga diri sendiri.

Sobat Yoursay, mari kita lihat lebih dekat apa yang terjadi di posko-posko pengungsian. Dari luar mungkin terlihat seperti gambaran kemanusiaan yang rapi, ada tenda, tikar, dan bantuan.

Tapi dari dalam, terutama jika kita melihat dari kacamata perempuan, situasinya jauh lebih rumit. Bencana telah menggeser segalanya, termasuk ruang privasi, kebersihan, kebutuhan tubuh, dan rasa aman.

Di banyak titik pengungsian di Aceh, misalnya, perempuan harus menunggu hingga malam untuk mengganti pembalut karena ruang yang tersedia terlalu terbuka. Beberapa bahkan terpaksa menggunakan kain bekas karena persediaan pembalut habis dalam hitungan jam.

Tidak ada ruang khusus untuk laktasi. Ibu menyusui duduk memunggungi keramaian sambil menyelimuti bayinya dengan sarung tipis, berharap angin malam tidak memperparah batuk kecil yang mulai terdengar.

Ada ibu hamil yang berjalan lebih dari satu kilometer ke Puskesmas karena posko tempat ia mengungsi tidak menyediakan obat apa pun.

Di tengah lumpur dan air surut yang masih bau, tubuh perempuan harus menanggung risiko kesehatan yang lebih besar, tapi fasilitas pendukung justru paling minim.

Semua kebutuhan ini tidak dianggap mendesak dalam sistem respons awal. Padahal bagi perempuan, ini adalah kebutuhan yang paling mendasar.

Sobat Yoursay, ketika posko tidak punya ruang aman untuk perempuan, risiko lain yang diam-diam muncul adalah kekerasan berbasis gender.

Dalam situasi bencana, di mana keluarga bercampur dengan keluarga lain dalam satu ruang sempit, dan relawan keluar masuk tenda sepanjang malam, potensi pelecehan meningkat.

Tidak harus berupa tindakan ekstrem, bahkan tatapan yang tidak diinginkan saja sudah cukup membuat perempuan merasa tidak aman.

Anak-anak perempuan memilih tidur di dekat ibu mereka atau di tempat yang lebih terang. Bukan karena takut air, tapi karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mereka tidak berani pergi ke toilet umum setelah matahari terbenam karena gelap dan lokasinya jauh dari tenda pengungsian.

Hal-hal seperti ini jarang masuk laporan resmi. Lebih sering hanya dibisikkan antar ibu, antar relawan, dan antar perempuan yang diam-diam saling paham betapa rapuhnya ruang aman mereka ketika bencana datang.

Media pun jarang menyorotnya. Berita yang naik biasanya menyoroti kerusakan rumah, kerugian ekonomi, dan jumlah pengungsi. Tentu saja penting.

Tapi jika kebutuhan spesifik perempuan tidak disebutkan, itu berarti suara mereka juga tidak ikut dianggap prioritas.

Padahal di posko, perempuan memikul peran paling penting, mulai dari merawat anak yang sakit, menjaga balita tetap hangat, mencari makanan untuk keluarga, hingga memastikan keperluan harian tetap berjalan. Semua dilakukan dalam kondisi fisik yang lebih rentan dibanding laki-laki.

Hal penting lainnya, yaitu beban emosional. Ketika longsor menghantam rumah keluarga, ibu-ibu terpaksa menggendong anak sambil berlari menembus air, dan trauma itu tinggal lebih lama di tubuh mereka.

Mereka harus memulihkan diri sambil tetap menjadi tumpuan keluarga. Siapa yang memulihkan ibu? Sistem kita jarang memperhitungkan hal itu.

Yang membuatnya semakin menyedihkan adalah kenyataan bahwa kita tahu pola ini, namun persiapan kita masih sama dari tahun ke tahun.

Tidak ada standar jelas tentang ruang laktasi di posko. Tidak ada mekanisme khusus untuk distribusi pembalut. Tidak ada juga protokol perlindungan perempuan yang diterapkan secara konsisten.

Padahal yang dibutuhkan hanya sedikit keberpihakan, sedikit kepekaan, dan sedikit kebijakan yang sadar bahwa kebutuhan perempuan adalah bagian inti dari pemulihan pascabencana, bukan tambahan setelah yang lain selesai.

Mungkin saatnya negara menata ulang konsep penanggulangan bencana, dari yang netral gender menjadi gender-responsive. Artinya, mulai dari proses evakuasi hingga pemulihan harus mempertimbangkan kebutuhan perempuan secara khusus.

Sobat Yoursay, bencana boleh tidak bisa diprediksi, tetapi kebutuhan perempuan sangat bisa dipersiapkan.

Jika negara sungguh ingin hadir sepenuhnya, maka langkah pertama adalah melihat perempuan bukan sebagai korban tambahan, tetapi sebagai pusat dari kebijakan penanggulangan bencana. Karena pemulihan keluarga selalu dimulai dari mereka.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS