Scroll untuk membaca artikel
Fabiola Febrinastri | Fabiola Febrinastri
Ilustrasi obesitas. (Sumber: https://edition.cnn.com/2015/05/01/health/pacific-islands-obesity/index.html)

Dewasa ini, obesitas dan overweight menjadi masalah kesehatan, baik di negara maju maupun negara berkembang. Obesitas dikenal sebagai keadaan abnormal yang terjadi akibat penumpukan lemak berlebih dalam tubuh, sedangkan overweight merupakan kondisi berat badan melebihi batas normal.

Pengukuran indeks massa tubuh (IMT) digunakan sebagai salah satu alat ukur sederhana untuk memantau status gizi.

Seseorang dikatakan mengalami obesitas atau overweight apabila hasil pengukuran IMT tidak sesuai atau melebihi standar yang telah ditentukan. Hasil pengukuran IMT didapat dari membagi berat badan (kilogram) dengan kuadrat tinggi badan (meter).

Kementerian Kesehatan RI menetapkan standar IMT menjadi beberapa kategori, yaitu kurus (<18.0), normal (18.1-25.0), overweight (>25.1) dan obesitas (>27.0)1.

Kondisi Kekinian
Menurut World Health Organization (WHO) pada 2016, secara global tercatat 1.9 miliar orang berusia 18 tahun ke atas menderita kelebihan berat badan (overweight) dan lebih dari 650 juta orang mengalami kegemukan (obesitas)2. Di Indonesia, data penderita obesitas dan overweight terangkum dalam Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2007-2018.

Dari total penduduk Indonesia, Riskesdas tahun 2018 menunjukkan, proporsi penderita overweight sebesar 13.6 persen, meningkat dari tahun sebelumnya 11.5 persen (2013), dan 8.6 persen (2007), sedangkan proporsi penderita obesitas sebesar 21.8 persen, dari yang semula 14.8 persen (2013) dan 10.5 persen (2007).

Hal tersebut membuktikan bahwa penderita obesitas dan overweight dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, baik secara global maupun nasional, sehingga dibutuhkan perhatian khusus untuk mencegahnya. Menurut studi, obesitas meningkatkan risiko terjadinya penyakit diabetes tipe-2 dan penyakit jantung.

Perilaku Sedentari
Perubahan gaya hidup yang terjadi di masyarakat dari traditional lifestyle menjadi sedentary lifestyle disertai asupan berlebih menjadi dasar meningkatknya risiko kegemukan karena banyaknya lemak yang menumpuk didalam tubuh tanpa diikuti aktivitas berolahraga. Perilaku tidak aktif bergerak menyumbang 9 persen kematian dini secara global, yang salah satunya didominasi oleh perilaku sedentari4.

Perilaku sedentari tumbuh menjadi masalah kesehatan masyarakat secara global sebagai penyumbang kejadian penyakit tidak menular disetiap golongan usia baik anak-anak, remaja, dewasa maupun lansia. Kata “sedentari” berasal dari bahasa Latin sedere yang berarti 'duduk'.

Menurut Sedentary Behaviour Research Network 2012, perilaku sedentari merupakan aktivitas kurang gerak yang hanya mengeluarkan energi ≤1.5 METs dengan posisi duduk atau berbaring. Satuan ukur METs atau metabolic equivalents menggambarkan energi yang dikeluarkan tubuh berdasarkan kategori intensitasnya, antara lain sedentari (≤1.5 METs), ringan (1.5-2.9 METs), sedang (3-5.9 METs) dan berat (≥6 METs)5,6.

Semakin banyak energi yang dikeluarkan dalam tubuh, maka risiko seseorang untuk mengalami kegemukan atau kelebihan berat badan akan berkurang. Bentuk perilaku sedentari sangat erat kaitannya pada masyarakat modern yang banyak didominasi dengan posisi duduk untuk menghabiskan waktu seperti menonton TV, menggunakan komputer atau gadget, berkendara dan duduk bekerja di kantor.

Penelitian yang dilakukan di Inggris pada 2009 oleh Joint Health Surveys Unit menunjukkan, sebanyak 56 persen pekerja laki-laki dan 50 persen pekerja wanita menghabiskan waktu lebih dari 5 jam dengan posisi duduk untuk bekerja di kantor, dan hasil rata-rata selama 6 jam melakukan aktivitas sedentari yang ditambah dengan waktu menonton TV dan berkendara.

Selanjutnya dilaporkan bahwa perilaku sedentari meningkatkan risiko seseorang mengalami overweight sebesar 13 persen dan penumpukan lemak di perut sebesar 26 persen. Selain itu, risiko kematian meningkat secara signifikan ketika orang dewasa duduk lebih dari 7 jam per hari.

Melihat kenyataan bahwa perilaku sedentari sebagai perilaku yang berisiko bagi kualitas hidup, maka perlu adanya peningkatan kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup sehat. Masyarakat perlu meningkatkan aktivitas fisik untuk mencegah dan mengurangi risiko obesitas ataupun overweight.

Rekomendasi yang diterapkan di US dan UK untuk meningkatkan aktivitas fisik adalah berjalan selama 150 menit per minggu atau setara dengan 30 menit per hari (selama 5 hari per minggu) maupun melakukan aktivitas fisik yang tergolong intensitas berat seperti berlari selama 75 menit per minggu secara berkelanjutan.

Hal tersebut mampu mengurangi kadar lemak dalam tubuh, sehingga berat badanpun menurun bila dilaksanakan secara rutin, teratur dan konsisten. Selain melakukan aktivitas fisik, masyarakat hendaknya juga mengurangi konsumsi rokok dan minuman beralkohol, serta memenuhi asupan gizi seimbang, seperti mengonsumsi buah dan sayur agar kualitas hidup menjadi lebih sehat.

Pengirim: Risti Anjar Wati, mahasiswa FKM UI

Array