Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Budi
Ilustrasi Mencuci Tangan. (Pixabay)

Memulai suatu pekerjaan bukanlah perkara gampang. Begitu pun ketika mempertahankan sebuah pekerjaan, tentu juga banyak remeh temehnya yang mesti harus ditanggung. Asalkan bukan mempertahankan orang yang kita sayang, karena bisa saja nyawa dapat menjadi taruhannya. Canda kale, wqwqwq.

Maksudnya saya adalah pekerjaan yang di rumah saat waktu makan, tak lain ialah dengan mencoba mempertahankan atau membudayakan bersih-bersih saat usai makan, ya mungkin agak klise dan masalah kecil sih. Oke, ngomong-ngomong terkait budaya, berarti sederhananya: sesuatu itu pernah dilakukan sebelumnya atau bahkan pernah menjadi nilai moral, akan tetapi mengalami pergeseran seiring berjalannya waktu. Mungkin begitu juga dengan budaya bersih-bersih saat selesai makan, iya kalau pun tidak, maka kini saatnya membudayakannya. Iya kan, dengan memulai pada diri sendiri, mencontohkan di dalam anggota keluarga, dan kalau bisa ada efek perubahan yang dapat diberikan pada orang lain.

Masalahnya sering saya temui, orang-orang saat selesai makan sangat jarang membersihkan sisa-sisa makanannya yang tergeletak di meja, parahnya jika piring kotornya dibiarkan jadi pemandangan di meja (alias tidak langsung disimpan di tempat nyuci piring). Bahkan, di kalangan keluarga sendiri pun, mohon maaf, kadang kala menyepelekan hal seperti itu. Beruntung sih kalau tidak ada piring kotor tergeletak di meja, namun kalau di tempat nyuci seperti piring, sendok dan kotoran lainnya justru dibiarkan menumpuk dan terus menumpuk. Entah, besoknya atau pun lusa barulah dicuci ketika piring sudah tidak ada lagi piring yang bisa dipakai karena kotor semua. Maka barulah bergegas untuk mencuci piring.

Dan sering juga tidak membersihkan sisa-sisa makanan di meja makan. Tidak dilap atau disapu, bahkan meninggalkannya seakan tidak ada bebannya dengan itu. Meskipun tidak salah sih, akan tetapi perilaku seperti itu sangatlah mencerminkan sebagai sosok orang yang pemalas dan juga memang tidak baik.

Hal seperti itu biasaya terjadi, karena di dalam anggota keluarga sangat kental dengan sistem patriarki. Di mana segala pekerjaan rumah adalah tanggungan dari perempuan. Ya, termasuk pekerjaan cuci piring dan bersih-bersih saat usai makan. Seperti anak perempuan atau ibu yang memang diidentikan untuk mengurus segala pekerjaan rumah dan logistik, serta bersih-bersih pun saat anggota keluarga selesai makan.

Saya sendiri adalah anak laki-laki, namun tidak juga sepaham kalau semua pekerjaan rumah semuanya harus ditanggung oleh anak perempuan atau pun ibu. Setidaknya memulai dari diri sendiri dengan sederhana yakni langsung menyimpan piring kotor kita ke tempat cucian.

Apalagi, kalau sementara tidak ada anak perempuan atau ibu di rumah, maka mesti anak laki-laki juga dong bergegas untuk bersih-bersih ketika selesai makan, kan itu uga kotoran makanan kita sendiri. Bukan malah menunggu anak perempuan atau ibu yang mesti melakukannya, walaupun nanti.

Hal serupa juga saat berada di komunitas seperti perkumpulan organisasi mahasiswa. Saya melihat bahwa masih kurang budaya bersih-bersih dari anggota organisasi ketika selesai makan. Justru sudah membudaya kalau selesai makan seakan tidak ada lagi aktivitas lain, biarlah piring kotor menumpuk dan sisa makanan berhamburan. Artinya, ketika selesai makan, maka istrihat atau baring-baring.

Nah, pada dasarnya itu terjadi karena kesadaran yang kurang akan kebersihan. Walaupun memang sepele sih, atau mungkin karena saking sepelenya, sehingga budaya bersih-bersih diabaikan dan bukan suatu tuntutan moral.

Oleh karena itu, penting kiranya untuk memulai budayakan bersih-bersih saat selesai makan. Selain kegiatan itu dapat melatih kedisiplinan, juga sebagai bentuk penghargaan terhadap makanan, dan dapat terlebih menjaga keberhasilan. Bukankah kebersihan adalah bagian dari iman, kan gitu. Apalagi Tuhan hanya bisa dekat dengan orang-orang bersih, emangnya kita nggak mau dekat dengan Tuhan?

Kalau ditanya efeknya, pasti amatlah besar. Selain pada kebaikan diri sendiri, juga dapat menjadi contoh di dalam anggota keluarga, terlebih berpengaruh besar pada keturunan nanti. Intinya kembali pada diri sendiri. Bukankah suatu kaum tidak akan berubah, kecuali ia sendiri yang merubahnya. Saya pikir seperti itu ya bro.

Budi