Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yayang Nanda Budiman
Ilustrasi pekerja (Pexels.com/energepic.com)

Dalam diskusi mengenai dunia kerja, magang selalu menjadi topik yang menarik. Magang sering dianggap sebagai jembatan antara pendidikan dan dunia kerja yang sebenarnya, menawarkan relasi, pengalaman, dan peluang untuk menjadi karyawan tetap. 

Namun, kenyataannya, magang sering kali tidak sejalan dengan harapan tersebut. Proses magang dapat menimbulkan kondisi yang menyerupai perbudakan modern, terutama di Indonesia, fenomena "Unpaid Internship" atau magang tanpa bayaran sangat umum.

Mahasiswa yang magang rentan mengalami eksploitasi oleh perusahaan, bekerja dengan jam yang tinggi namun mendapatkan imbalan yang tidak sesuai. Hal ini disebabkan oleh adanya celah dalam regulasi ketenagakerjaan.

Dalam banyak kasus, magang tanpa bayaran menjadi cara bagi perusahaan untuk memanfaatkan tenaga kerja murah atau bahkan gratis. 

Perusahaan sering kali menggunakan pemagang untuk melaksanakan tugas rutin tanpa memberikan kompensasi yang setimpal, sehingga mereka bisa memangkas biaya operasional, meskipun ini melanggar hak-hak dasar pekerja.

Praktik magang tanpa bayaran menciptakan paradoks: meskipun pemagang diharapkan memenuhi kualifikasi dan memberikan kontribusi yang signifikan, mereka tidak mendapatkan upah atau imbalan yang sesuai dengan kerja keras mereka.

Praktik magang, terutama yang tidak dibayar, memunculkan polemik mengenai hak dan kewajiban pemagang dalam relasi kerja di Indonesia.

Sayangnya, meskipun pemagang bekerja penuh waktu seperti pekerja biasa, Permenaker No 6 Tahun 2020 tidak mewajibkan pemberian upah, melainkan hanya uang saku untuk biaya transportasi, makan, dan insentif lainnya yang sering kali tidak memadai.

Hal yang lebih memprihatinkan adalah peserta magang akademik, terutama pelajar dan mahasiswa. Relasi kerja yang diatur dalam Permenaker tersebut lebih mengacu pada "percantrikan" atau apprenticeship, yaitu pelatihan sebelum pekerja ditempatkan pada posisi tertentu.

Namun, magang yang diikuti oleh pelajar dan mahasiswa lebih bertujuan untuk pembelajaran (internship) dan belum memiliki landasan hukum yang formal di Indonesia. Akibatnya, meskipun sering kali bekerja penuh waktu, pemagang akademik bahkan tidak mendapatkan hak uang saku.

Dampak dari praktik magang tanpa bayaran sangat merugikan para pemagang itu sendiri. Praktik ini memperburuk ketimpangan akses kesempatan kerja, hanya mereka yang memiliki kemampuan finansial yang stabil yang dapat mengakses peluang tersebut, sementara yang lain terpaksa menolak magang karena keterbatasan ekonomi.

Masalah ini menjadi lebih rumit ketika melihat dampaknya pada mahasiswa. Beberapa universitas telah menjadikan program magang sebagai mata kuliah wajib.

Kesempatan yang seharusnya untuk belajar dan mengembangkan keterampilan justru dapat menjadi beban tambahan bagi mahasiswa yang kurang mampu secara finansial karena tidak mendapatkan manfaat yang dijanjikan sebagai pemagang.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Yayang Nanda Budiman