Di tengah hiruk-pikuk industri fashion yang terus menekan bumi, generasi Z mengambil jalur berbeda. Mereka menghidupkan tren thrifting, membeli pakaian bekas yang masih layak pakai, bukan sekadar pilihan gaya, melainkan pernyataan sikap.
Awalnya sekadar cara berhemat, kini thrifting menjelma menjadi simbol gerakan sustainable style statement yang gaungnya terasa di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Secara etimologis, thrifting berasal dari kata thrifty, yang berarti hemat. Maknanya kini meluas: upaya membeli dan mengenakan kembali pakaian lama, entah dari toko barang bekas, pasar loak, maupun platform daring.
Motivasi orang untuk thrifting beragam, mulai dari menghemat uang, mengurangi limbah, hingga melawan siklus konsumsi berlebihan. Yang awalnya sekadar pilihan praktis, kini berubah menjadi gaya hidup yang memadukan kepedulian lingkungan dengan ekspresi fashion yang unik dan personal.
Masalah di Balik Industri Fashion
Industri fashion, khususnya fast fashion, sudah lama dikenal sebagai salah satu penyumbang polusi terbesar di dunia. Produksi massal pakaian murah yang mengikuti tren cepat memicu emisi karbon, limbah tekstil, dan pencemaran air.
Kasus di Sungai Citarum pada 2007 menjadi pengingat pahit. Limbah cair dari pabrik tekstil mengubahnya menjadi salah satu sungai terkotor di dunia, membunuh ekosistem, dan mengancam kesehatan warga sekitar.
Data pun memperkuat kenyataan ini. Pada 2018, dunia memproduksi lebih dari 17 juta ton tekstil. Sebagian besar hanya bertahan di lemari beberapa tahun sebelum berakhir di tempat pembuangan akhir. Model bisnis fast fashion mendorong orang membeli bukan karena butuh, melainkan tergoda tren. Akibatnya, umur pakaian semakin pendek, sementara dampak lingkungannya semakin panjang dan kotor.
Thrifting Sebagai Solusi
Di tengah situasi tersebut, thrifting menawarkan harapan. Dengan memperpanjang usia pakai pakaian, permintaan produksi baru bisa ditekan. Setiap baju bekas yang digunakan kembali berarti penghematan sumber daya dan pengurangan limbah.
Riset menunjukkan bahwa memperpanjang usia pakaian seperempat kali lipat dapat menghemat hingga 75% air bersih yang biasanya dipakai untuk produksi baru. Satu celana jeans, misalnya, membutuhkan 1.800 galon air untuk dibuat. Tak hanya itu, bahan kimia dari proses pewarnaan sering terbawa ke tanah dan sungai, mengganggu keseimbangan ekosistem.
Tantangan yang Mengintai
Namun, popularitas thrifting juga membawa tantangan. Di Indonesia, lonjakan tren ini memicu masuknya pakaian bekas impor secara masif. Pada 2019, tercatat 392 ton pakaian bekas masuk ke tanah air.
Pada 2023, aparat menyita 13 juta potong pakaian bekas ilegal, lebih dari sepertiganya tidak layak pakai dan langsung menjadi sampah. Ironisnya, ini justru menambah timbunan limbah yang ingin dikurangi.
Selain itu, harga murah membuat sebagian orang tergoda membeli berlebihan. Fenomena hyper-consumerism mulai menyusup ke ranah thrifting. Orang membeli karena lucu, murah, atau sedang tren di media sosial, bukan karena butuh. Prinsip awal thrifting, yakni meminimalisir konsumsi, pun terancam bergeser.
Kunci Keberlanjutan
Agar thrifting benar-benar berkelanjutan, dibutuhkan komitmen. Generasi muda yang peduli pada lingkungan perlu membeli secukupnya, memilih kualitas terbaik, dan menghindari godaan FOMO (fear of missing out) yang diciptakan tren media sosial.
Pemerintah juga memiliki peran strategis: memperketat pengawasan impor ilegal, sekaligus mendorong pelaku industri lokal menerapkan prinsip sustainable fashion. Langkah ini bisa dilakukan dengan penggunaan bahan tahan lama, program daur ulang, keterbukaan rantai produksi, dan pengelolaan limbah yang baik.
Makna Kemerdekaan Baru
Dalam konteks ini, kemerdekaan memiliki makna baru. Bukan sekadar bebas memilih pakaian, tetapi bebas dari perilaku konsumtif yang merusak, bebas dari jeratan produsen yang hanya memikirkan keuntungan, dan bebas dari tren yang memaksa kita membeli tanpa alasan. Ini adalah kemerdekaan untuk memilih busana ramah lingkungan, sekaligus berani tampil dengan gaya sendiri.
Thrifting mungkin terdengar sederhana, namun dampaknya bisa meluas. Ia mengajarkan bahwa fashion tidak harus selalu baru untuk terlihat menarik. Ia mengajak memperlambat siklus konsumsi, memberi ruang bagi bumi untuk bernapas.
Jika generasi ini konsisten, thrifting bisa menjadi mercusuar perubahan, mengarahkan industri fashion menuju masa depan yang lebih bersih, bijak, dan lestari. Sebab pakaian, pada akhirnya, bukan hanya soal menutup tubuh, tetapi juga tentang cerita, pilihan, dan bukti bahwa kita peduli.
Baca Juga
-
Intimasi dan Mental Toughness, Bagaimana Pelatih Futsal SMAN 2 Ngaglik Merawatnya?
-
Refleksi Kemenangan Futsal SMAN 1 Cianjur: Terbentur, Terbentur dan Terbentuk!
-
Abolisi dan Amnesti: Pengampunan Elit dan Biasnya Rasa Keadilan?
-
One Piece, Simbol Kecewa, dan Negara yang Tak Lagi Mendengar
-
Pemblokiran Rekening Dormant, Respons Publik dan Kebijakan yang Tergesa?
Artikel Terkait
Rona
-
Studi: Permukaan Laut Samudra Hindia Naik Lebih Awal dari Perkiraaan
-
Patung Sampah Hadang Delegasi PBB, Ingatkan Krisis Plastik
-
Indonesia Targetkan Rehabilitasi 769 Ribu Hektare Mangrove untuk Pulihkan Pesisir
-
Teknologi Filter Air Sungai UMPR Bantu Tekan Stunting di Pulang Pisau
-
Hari Hutan Indonesia: Seruan dari 1,4 Juta Suara untuk Hutan
Terkini
-
Jadi Penipu Karismatik, Ini Peran Park Min Young di Serial Confidence Queen
-
Minati Jadon Sancho, AS Roma Masih Getol Diskusi dengan Manchester United
-
Lewat Kebudayaan, Indonesia Perlu Menemukan Kembali Identitasnya
-
Jadi Aktor Pertama, Song Kang-ho Gabung Agensi Galaxy Corporation
-
BRI Super League: Semen Padang Dapat Tambahan Amunisi, Kualitas Meningkat?