Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Cantika Zulyanti
Ilustrasi Impulsive Buying dan Unplanned Buying.(freepik.com)

Pernahkah kamu mampir ke minimarket hanya untuk beli sabun, eh pulangnya bawa sekantong camilan, minuman soda, dan lilin aroma terapi? Fenomena ini biasa terjadi dalam dunia perbelanjaan, dan ternyata bisa dikategorikan sebagai impulsive buying alias belanja impulsif, atau unplanned buying alias pembelian tidak direncanakan.

Menariknya, sering kali terjadi percampuran antara konsep impulsive buying dan unplanned buying. Keduanya sama-sama merujuk pada keputusan membeli yang terjadi secara tiba-tiba, namun sebenarnya memiliki maksud yang berbeda.

Unplanned buying biasanya terjadi saat seseorang memutuskan untuk membeli sesuatu ketika sudah berada di toko, tanpa ada niat sebelumnya. Misalnya, ketika kamu pergi ke supermarket hanya untuk membeli sabun, tetapi akhirnya menambahkan cokelat ke keranjang belanjaan karena tertarik saat melihatnya di rak. Pembelian seperti ini belum tentu disebabkan oleh dorongan emosional, tetapi lebih karena situasi atau peluang yang muncul saat itu.

Berbeda dengan unplanned buying, impulsive buying melibatkan dorongan emosional yang kuat. Ini bukan hanya sekadar keputusan spontan, tetapi pembelian yang didorong oleh dorongan emosional yang kuat. Beberapa ahli seperti Rook dan Fisher (1995) menyebutkan bahwa impulsive buying sering terjadi secara refleks, tiba-tiba, dan otomatis. Artinya, seseorang tidak merencanakan pembelian tersebut dan melakukannya karena dorongan sesaat, bahkan sering terjadi tanpa mempertimbangkan manfaat atau kebutuhan nyata dari barang tersebut.

Impulsive buying biasanya muncul sebagai reaksi cepat, spontan, dan seringkali tanpa kesadaran penuh. Ini adalah respons alami terhadap suatu rangsangan, bisa berupa tampilan produk yang menarik, promosi mendadak, diskon besar, atau suasana toko yang menyenangkan. Solomon dan Rabolt (2009) menggambarkan bahwa perasaan mendesak yang muncul begitu kuat bisa membuat seseorang merasa sulit untuk menolak keinginan membeli, dalam beberapa kasus, konsumen merasa bahwa membeli secara impulsif itu wajar karena dianggap sebagai bagian dari ekspresi diri atau bentuk perawatan diri, bahkan jika sebelumnya tidak ada niat untuk membeli sama sekali.

Ciri khas dari impulsive buying adalah ketidakterlibatan proses berpikir rasional dan adanya gejolak emosi. Konsumen bisa merasakan dorongan yang kuat untuk segera membeli suatu barang, meskipun sadar bahwa tindakan tersebut mungkin membawa konsekuensi negatif. Di saat yang sama, muncul rasa puas karena berhasil memiliki barang tersebut, meskipun disertai dengan konflik dalam pikiran, seperti rasa bersalah setelah membeli.

Kondisi ini bisa terjadi ketika seseorang merasakan kebutuhan yang mendesak secara tiba-tiba dan sulit dikendalikan. Mereka merasa bahwa membeli produk tersebut adalah sesuatu yang wajar dan pantas dilakukan, karena seolah-olah itu adalah bagian dari pengalaman berbelanja. Emosi yang muncul menjadi faktor utama pendorong, bukan logika atau pertimbangan fungsional.

Perilaku membeli sendiri umumnya terbagi menjadi dua pola umum menurut Loudon dan Bitta (1993), yaitu pola pembelian berdasarkan kesetiaan terhadap merek (brand loyalty) dan pembelian tidak direncanakan (impulsive purchasing). Konsumen yang loyal terhadap merek akan terus membeli produk dari merek tersebut karena sudah merasa cocok atau percaya. Sedangkan dalam impulsive buying, keputusan terjadi begitu saja tanpa mengacu pada merek atau produk tertentu.

Perlu dipahami bahwa keputusan membeli tidak selalu logis. Kadang kita memilih suatu produk bukan karena kebutuhan fungsionalnya, melainkan karena alasan emosional. Pembelian ini dikenal sebagai pembelian yang bersifat hedonik, di mana barang dibeli karena memberi kesenangan atau nilai simbolis. Lingkungan toko yang menarik, musik yang menyenangkan, serta pencahayaan yang tepat bisa memengaruhi emosi konsumen dan mendorong impulsive buying.

Impulsive buying dan unplanned buying adalah bagian dari dinamika perilaku konsumen. Meski keduanya tampak serupa, impulsive buying lebih melibatkan dorongan emosional yang kuat. Faktor lingkungan, suasana hati, dan strategi pemasaran memainkan peran besar dalam memicu perilaku ini. Memahami perbedaan keduanya dapat membantu konsumen lebih bijak dalam berbelanja, dan bagi pelaku bisnis, ini adalah celah penting untuk merancang pengalaman berbelanja yang menarik dan menggugah minat.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Cantika Zulyanti