Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Cantika Zulyanti
Ilustrasi menggunakan smartphone.(pexels/Tofros.com)

Di era modern yang serba digital ini, smartphone telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari kita. Dari bangun tidur hingga kembali tidur, banyak banyak dari kita menggenggam smartphone seolah-olah menjadi perpanjangan dari tubuh. Tak dapat dimungkiri, teknologi ini memudahkan kita dalam berbagai aktivitas, mulai dari bekerja, belajar, hingga bersosialisasi. Namun, di balik manfaatnya yang besar, penggunaan smartphone yang tidak dibatasi waktu mulai menimbulkan kekhawatiran.

Ketika seseorang terbiasa mengakses smartphone secara terus-menerus tanpa jeda, risiko ketergantungan pun meningkat. Bahkan, muncul fenomena baru yang disebut nomophobia, singkatan dari no mobile phone phobia. Istilah ini menggambarkan kondisi psikologis berupa rasa cemas, gelisah, bahkan takut saat seseorang tidak dapat mengakses atau berada jauh dari smartphone.

Gejala-gejala nomophobia bisa muncul secara halus, seperti rasa tidak tenang ketika baterai hampir habis, sering memeriksa notifikasi meski tidak ada yang masuk, hingga panik ketika lupa membawa ponsel. Fenomena ini menjadi cerminan bahwa teknologi, jika tidak digunakan secara bijak, dapat berbalik menjadi masalah psikologis yang serius.

Fenomena nomophobia makin sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama pada usia remaja 18–25 tahun yang sedang menempuh pendidikan tinggi dan berstatus mahasiswa. Menurut data dari The Royal Society for Public Health pula, kelompok usia ini sangat rentan mengalami nomophobia karena pada masa ini mereka cenderung belum memiliki pekerjaan tetap, aktivitas rutin, atau hobi yang stabil, sehingga lebih banyak waktu dihabiskan dengan smartphone.

Ciri-ciri umum dari nomophobia mencakup ketergantungan tinggi terhadap smartphone, kecenderungan untuk membawa pengisi daya ke mana pun pergi, hingga rasa cemas berlebihan saat koneksi internet terputus atau kuota data habis. Perilaku ini bisa berdampak luas, tidak hanya pada kesejahteraan psikologis seperti stres, kecemasan, dan kegelisahan, tapi juga pada kesehatan fisik, misalnya gangguan tidur, nyeri leher, dan mata lelah akibat paparan layar secara terus-menerus.

Adapun, ketergantungan ini pula berpotensi mengganggu kehidupan sosial. Beberapa individu lebih memilih berinteraksi di dunia maya dibandingkan membangun komunikasi dengan lingkungan sekitar. Bahkan, pada beberapa kasus, anak-anak dan remaja menjadi lebih dekat dengan smartphone dibandingkan dengan orang tua atau keluarga mereka.

Faktor-faktor yang memengaruhi munculnya nomophobia antara lain adalah tingkat penggunaan smartphone yang berlebihan, kebiasaan, usia, dan sifat kepribadian seperti ekstroversi. Ketika penggunaan menjadi sebuah kebiasaan tanpa batas, hal ini bisa berkembang menjadi ketergantungan yang mengarah pada gangguan psikologis.

Perlu kita ketahui, smartphone memanglah diciptakan untuk mempermudah hidup, namun penggunaan yang berlebihan justru dapat menjerumuskan penggunanya ke dalam jebakan kecanduan digital seperti nomophobia. Fenomena ini bukan sekadar persoalan teknologi saja, melainkan sudah menjadi gangguan psikologis yang perlu mendapat perhatian serius, terutama di kalangan remaja dan mahasiswa.

Kesadaran akan batasan dalam penggunaan smartphone menjadi langkah awal yang penting. Dengan mengelola waktu penggunaan secara bijak, membangun rutinitas di luar layar, serta memperkuat interaksi sosial secara langsung, kita dapat mencegah ketergantungan dan menjaga kesehatan mental tetap seimbang di tengah arus digital yang terus mengalir deras. Dunia maya memang menarik, tapi janganlah sampai menghilangkan koneksi kita dengan dunia nyata.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Cantika Zulyanti