- Namun, banyak UMKM kecil belum siap menggunakan QRIS atau pembayaran digital.
- Cashless society butuh adaptasi bersama, bukan berarti menyingkirkan uang tunai.
- Gen Z makin identik dengan gaya hidup cashless karena praktis dan efisien.
“Bayar pakai QRIS bisa?” atau “Waduh, belum ada. Bisanya cash aja.” Dialog seperti ini mungkin sudah sering terdengar di telinga kita, terutama bagi kaum cashless seperti Gen Z. Berbekal satu aplikasi e-wallet, kita bisa beli apa aja tanpa uang cash, beli kopi pakai QRIS, pesan makan pakai GoPay, beli barang tinggal tap DANA. Semua transaksi bisa beres dalam satu genggaman. Gak perlu repot nyari uang kembalian, gak perlu nunggu lama. Tinggal scan, tap, done.
Gaya hidup tanpa uang tunai emang bikin hidup jadi lebih praktis. Selama ada sinyal dan saldo cukup, hidup pun tenang. Makannya, gak heran kalau sekarang banyak Gen Z yang udah gak bawa dompet fisik ke mana-mana.
Fenomena transaksi tanpa uang tunai (cashless) tidak terjadi begitu saja. Ternyata, pemerintah sudah memiliki agenda untuk mewujudkan apa yang disebut masyarakat digital atau cashless society. Apa itu cashless society?
Cashless society merupakan kondisi di mana seluruh transaksi masyarakat berlangsung secara nontunai. Melalui Uang Elektronik (UK) atau beragam kartu (APMK - Alat Pembayaran Menggunakan Kartu). APMK adalah alat pembayaran berupa kartu ATM/Debit. Sedangkan, Uang Elektronik (UK) dibagi menjadi dua. Uang Elektronik chip/card based (Flazz, E-money, Brizzi, dsb) dan Uang Elektronik server based (OVO, GoPay, LinkAja, DANA, dsb).
Berdasarkan hasil studi “The Next Cashless Society” yang dilakukan Ipsos Indonesia pada awal tahun 2020, menunjukkan adanya perilaku perubahan pembayaran masyarakat yang mulai beralih menuju cashless society. Ada tiga karakter segmen konsumen dalam menggunakan alat pembayaran nontunai (cashless),
Konsumen yakin pembayaran cashless aman, nyaman, efisien, dan dapat mengontrol pengeluaran mereka.
Konsumen menikmati pembayaran cashless karena mendapat pengalaman yang menyenangkan dan dapat membangun relasi dengan orang lain.
Konsumen menginginkan produk cashless yang lebih mumpuni serta memudahkan, dan bagi konsumen pengguna baru pembayaran cashless mendapatkan berbagai keuntungan.
Tapi ternyata, masih banyak pelaku usaha kecil yang belum kenal QRIS. Dari tukang gorengan, ibu-ibu jualan sarapan, sampai abang-abang jualan cilok, semua masih mengandalkan uang cash. Alasannya macam-macam, ada yang belum sempat daftar, ada yang belum paham cara pakainya, bahkan ada yang gak punya smartphone yang mendukung aplikasi QR.
Di sisi lain, kita sebagai generasi yang serba digital seringkali terlalu percaya diri. Merasa semua tempat sudah pasti bisa bayar pakai QR. Akhirnya, saat ketemu situasi di mana uang digital gak berlaku, kita cuma bisa senyum kecut. Gagal jajan cuma karena gak bawa uang cash.
Fenomena ini bikin Gen Z dijuluki sebagai generasi cashless. Gaya hidup ini muncul bukan karena tren, tapi karena kemudahan yang ditawarkan. Transaksi digital itu cepat, praktis, minim kontak fisik, bahkan seringkali memberikan promo menarik.
Sebenarnya, ini lebih ke soal adaptasi. Dunia memang sedang menuju cashless, tapi prosesnya gak instan. Ada gap yang masih terasa antara generasi yang sudah terbiasa serba digital, dan kelompok masyarakat yang masih butuh waktu untuk menyesuaikan.
Cashless itu gaya hidup, tapi bukan berarti harus anti sama uang tunai. Membawa selembar dua lembar uang lima ribuan masih sangat diperlukan sekarang. Daripada cuma ngeluh “Ih, masa belum bisa QRIS sih?” Lebih baik mulai bantu mengenalkan kemudahan QRIS ke lingkungan sekitar. Ajak ngobrol pelaku UMKM kecil, bantu ajarkan cara daftarnya. Karena, gak semua orang tumbuh bersama teknologi. Tapi, semua orang bisa belajar, asal ada yang peduli.
Baca Juga
-
Nabung Itu Wacana, Checkout Itu Realita: Melihat Masalah Nasional Gen Z
-
Liburan ala Gen Z di Jogja: 6 Spot Hits yang Wajib Masuk Itinerary
-
Centil Bukan Genit: Gaya Ekspresi Diri Perempuan di Tren My Centil Era
-
Futsal Putri: Antara Keringat, Mimpi, dan Pandangan Sebelah Mata
-
Bukan Cuma 5 Lawan 5, Futsal Jadi Pelarian dari Perang di Kepala
Artikel Terkait
-
Gen Z dan Dompet Kosong? Mengungkap Gaya Hidup Cashless dan Wi-Fi Only yang Bikin Geleng Kepala
-
Transaksi COD Justru Meningkat di Era Digital, Ini Alasannya!
-
Dompet Digital Besutan Astra Catat Transaksi Rp131 Triliun Hingga Semester I 2025
-
Volume Transaksi Super App BRImo Tembus Rp3.231 Triliun, Tembus 42,7 Juta User
-
Jari Lincah, Pikiran Kritis: Menavigasi Labirin Digital Pelajar Masa Kini
Lifestyle
-
iPhone di Tangan, Cicilan di Pundak: Kenapa Gen Z Rela Ngutang Demi Gaya?
-
Daily Style Goals: 4 Inspo Outfit ala Sophia KATSEYE yang Selalu On Point!
-
Kenali Friendship Heartbreak dan Cara Bangkit saat Patah Hati Sama Bestie
-
Detik-detik Vila Sultan Bali Ludes Terbakar Tersambar Petir, Pemilik Bule Cuma Bisa Melongo!
-
4 Sheet Mask Korea Shea Butter, Ampuh Bikin Wajah Kering Lembap Tahan Lama
Terkini
-
Timnas Indonesia Gagal ke AFC U-23, Semua karena Salah Shin Tae-yong dan Kita Sendiri!
-
Maaf PSSI, Kami Tak Terlalu Sedih Meski Timnas Indonesia Gagal Lolos ke Piala Asia U-23
-
Sinopsis Film 'Hero's Island', Dibintangi Suzu Hirose dan Satoshi Tsumabuki
-
Ridwan Kamil Ditantang Tes DNA Ulang di Singapura! Pihak Lisa Mariana: Kalau Yakin, Kenapa Takut?
-
Aksi Nyata PENGMAS Perma AGT FP Unila di Panti Asuhan Ruwa Jurai