Scroll untuk membaca artikel
Pebriansyah Ariefana | Pebriansyah Ariefana
Parade tahunan komunitas Muslim di New York. (dokumen Shamsi Ali)

Sekitar 4 tahun lalu saya diundang untuk menghadiri konferensi perdamaian yang melibatkan komunitas Muslim dan Yahudi di Seville, Spanyol. Konferensi ini bertujuan untuk mengenang masa-masa kejayaan Islam di Spanyol, dan masyarakat Yahudi ikut mengapresiasi realita itu.

Salah seorang murid mualaf saya hadir serta sebagai pengamat. Namanya Elizabeth Stouwart, yang saat itu masih di tahun terakhir di Columbia University. Bersama Liz, demikian biasa dipanggil hadir pula beberapa pelajar dari berbagai universitas Amerika.

Liz telah memeluk Islam sejak 3 tahun sebelumnya. Dan hingga keberangkatannya ke Seville dia masih menyembunyikan keislamannya itu ke orang tuanya. Sehingga keberangkatannya ke Seville juga disampaikan ke orang tuanya sebagai perjalanan studi banding.

Maryam turun ke bumi

Selama di Seville Elizabeth bersemangat belajar dari semangat damai yang dimiliki oleh ajaran Islam. Nampak selalu berada di kursi yang strategis untuk memperhatikan diskusi atau dialog yang terjadi.

Di selah-selah acara dialog itu peserta memiliki banyak kesempatan untuk jalan-jalan dan melihat-lihat gedung-gedung klasik yang ada di kota itu. Gereja besar dan megah ada di mana-mana. Tapi uniknya di dalam gereja itu penuh dengan kaligrafi dan tulisan nama Allah dan Muhammad.

Ternyata gereja-gereha besar itu dahulunya adalah masjid-masjid megah yang dibangun oleh penguasa Muslim. Tapi setelah ditaklukkan oleh raja Katolik, masjid-masjid itu banyak yang dijadikan gereja oleh mereka. Sebagian dijadikan bar atau night club.

Di sinilah Liz mengalami sesuatu yang unik. Karena orangnya tinggi semampai, putih dan berwajah bersih, dan selalu dengan pakaian Muslimah yang rapih, dia selalu menjadi perhatian. Orang-orang di jalan akan selalu menatapnya dengan keheranan.

Sampai suatu saat dia memberanikan diri bertanya kepada orang-orang yang menontonnya.

“Kenapa kalian melihat-lihat saya seperti itu?” tanyanya dengan sopan.

Salah seorang di antara mereka, entah bercanda atau serius mengatakan: “ketika kita melihat kamu, seolah kita merasakan kehadiran Bunda Maria di antara kita”.

Ternyata orang-orang Seville atau Spanyol itu sangat beragama dan cinta kepada Yesus dan ibunya. Sehingga melihat wajah Liz yang mirip Bunda Maria mereka seolah kedatangan Bunda Maria.

Mendengar itu Liz hanya tersenyum manis. Orangnya memang pendiam tapi sangat pintar dan sopan. Kerap kali di kelas hanya menyimak dan jarang berbicara. Tapi paling cepat paham dan menghafal ayat-ayat Al Quran.

Membuka rahasia

Orang tua Liz beragama Kristen fanatik. Ayahnya keturunan Belanda dan Ibunya keturunan Ukraine. Liz adalah anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya juga seorang wanita dan mahasiswas di Yale university.

Sekembali dari Seville Liz kembali ke rumah orang tuanya di Connecticut. Pada saat yang sama ayahnya mengadakan pesta ulang tahunnya. Seperti biasa ragam makanan dan minuman disiapkan, termasuk babi dan minuman keras.

Di pesta itulah Liz menampakkan perbedaannya. Dia tidak mau makan daging dan tidak lagi mau minum berakohol. Rupanya Ibunya memperhatikan dan bertanya kenapa tidak memakan daging?

“I am trying to be vegetarian”, jawabnya.

“How about wine?”, tanya ibunya.

“I am also trying to minimize alcohol” jawabnya singkat.

Dalam percakapan di acara ulang tahun ayahnya itulah terbuka kalau Liz telah pindah agama. Dia menyampaikan bahwa “maaf saya tidak lagi makan babi karena agama saya melarang”.

Ibunya yang mengetahui bahwa Liz baru balik dari konferensi Yahudi-Muslim, menyangka jika anaknya pindah ke agama Yahudi. Sehingga dia tidak terlalu mempermasalahkan. Tapi ketika Liz memberitahu bahwa dia pindah ke agama Islam, ibu dan ayahnya marah besar.

“You follow a terrorist religion” kata ayahnya dengan marah.

“No dad, you will know. Am I a terrorist?” jawab Liz dengan sopan.

Adiknya ikut menyelah: “you will not find a husband here in America. Go the Middle East to find your husband”.

Singkatnya Liz kemudian diusir dari rumahnya. Tapi alhamdulillah, sekolahnya ditangggung oleh biasiswa dan untuk keperluan-keperluan lainnya dibantu oleh beberapa teman dekatnya di kota New York.

Kisah Liz ini hanya satu dari banyak kisah yang menarik, indah tapi juga pahit. Tapi ketika iman telah tertanam dalam di jiwa hambanya, apapun yang terjadi semua menjadi indah. Karena Allah tidak lalai dari kehidupan hambaNya yang beriman.

Semoga Allah menjaga dan menguatkan Liz. Menjadikannya hamba yang salehah dan mujahidah di jalanNya. Saat ini Elizabeth telah menikah dan hidup dengan bahagia. Allahu Akbar walilahil hamd!

Imam Shamsi Ali

Imam Besar di New York/Presiden Nusantara Foundation

Array