Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani
Kondisi udara di Jakarta pada 30 Agustus 2018. [Shutterstock]

Jakarta di tahun 2019 sempat menduduki peringkat pertama dalam kategori ‘Most Polluted Regional Cities’ menurut aplikasi AirVisual IQ. Masih terbukti pada November 2019 kemarin, angka yang terdaftar untuk Jakarta mencapai 160 AQI (Air Quality Visual), dimana angka tersebut tidak menunjukan kenaikan atau penurunan pada malam hari.

Pada akhir bulan Juli, angka AQI Jakarta hampir mencapai 200. Dengan musim panas yang cukup lama dan tidak datangnya hujan selama berminggu-minggu menjadi dua dari banyaknya faktor yang menyebabkan bahayanya tingkat udara yang cukup tinggi.

Angka tersebut menggambarkan tingkat udara yang tidak sehat. Tertera dalam aplikasi AirVisual IQ bahwa udara yang cukup aman untuk dihirup berada di angka 50-100 AQI. Tinginya angka yang diperoleh Jakarta diperkirakan karena panasnya ibukota pada beberapa bulan terakhir ini.

Turunnya hujan di bulan Desember ini tidak memperlihatkan penurunan dalam perhitungan angka polusi di aplikasi AirVisual IQ. Setelah hujan pun AQI untuk Jakarta tetap berada di angka 150-160.

Jelas sebab tingginya angka polusi ini adalah karena sudah terjadinya perubahan iklim. Walaupun angka tidak dapat menunjukan bukti akurat terhadap kesehatan masyarakat yang tinggal disekitanya, sudah disarankan kepada semua untuk keluar menggunakan masker demi menjaga kesehatan mereka.

Mengangkat kembali hasil penelitian WHO (World Health Organization) pada tahun 2016 dimana mereka menyatakan bahwa probabilitas meninggalnya warga Indonesia di usia 15-65 tahun sebanyak 66 persen. Selain itu, banyaknya penyakit ‘orang tua’ yang dialami remaja Indonesia diperkirakan terjadi karena ketidak teraturnya pola hidup mereka.

Saran yang berguna dan mudah untuk dilakukan itu sering tidak dijalankan oleh masyarakat. Mindset “Gak ngaruh apa-apa” dari banyak orang yang menyepelekan hal-hal seperti ini adalah mereka yang menaikkan tingkat probabilitas masyarakat Indonesia untuk hidup sehat. Tidak hanya di Jakarta, kasus ini juga berlaku di seluruh kota di Indonesia.

Sedihnya, bagi yang tinggal di pedesaan dan daerah-daerah kecil yang masih jauh dengan kota dengan lingkungan kotor yang dapat menimbulkan jauh lebih banyak penyakit dari polusi ibukota. Namun, siapa tahu keterbatasan gaya hidup mereka dapat ternyata menghasilkan pola hidup yang lebih sehat daripada mereka yang tinggal di kota-kota besar karena adanya polusi yang berlebihan dan ketidak peduliannya terhadap kebersihan sekitar.

Tanpa kita ketahui, lingkungan yang terdapat pada daerah-daerah asri lebih mempunyai masyarakat dengan jangka umur panjang dibanding masyarakat kota yang harus menjaga pola hidupnya secara intensif untuk kesehatannya.

Pengirim: Tasya Aziza / Mahasiswi LSPR Jakarta, jurusan Public Relations
E-mail:  tasyaziza@gmail.com