Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | hafidz
Ilustrasi social distancing. (Shutterstock)

Penyebaran virus corona telah melintasi banyak negara, sekitar 181 negara terpapar, sehingga dinyatakan sebagai pandemi global oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Berbagai upaya dilakukan untuk menanggulangi pandemi, antara lain dengan pembatasan interaksi antar anggota masyarakat (social distancing).

Berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pembatasan sosial berskala besar merupakan bagian dari respon kedaruratan dan bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit.

Kegiatan pembatasan meliputi: peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat/fasilitas umum (Pasal 59).

Saat ini, sejumlah pemerintah daerah telah meliburkan sekolah dan kampus agar siswa/mahasiswa bisa belajar di rumah (distance learning).

Lembaga keagamaan (MUI) juga mengeluarkan fatwa yang menganjurkan ibadah di rumah dan tidak ke masjid sementara waktu.

Sebagai mitigasi darurat, anggota masyarakat yang berinteraksi dengan penderita Covid-19 atau mengunjungi wilayah terinfeksi wabah, maka dilakukan karantina rumah atau wilayah, serta dipantau kondisinya selama masa inkubasi virus. Bila kondisi sehat (uji virus negatif), maka bisa tetap di rumah dan mengurangi aktivitas luar.

Jika hasil tesnya positif, maka akan dirawat di rumah sakit dan mungkin diisolasi di ruang khusus. Bila kondisi pasien memburuk (na’udzu billah) dan akhirnya meninggal, maka perawatan jenazah juga harus dilakukan secara khusus.

Pembatasan Sosial sebagai Tahap Awal

Dari proses itu kita paham bahwa pembatasan merupakan tahap dini untuk mencegah penyebaran virus. Pada tiap tahap penanggulangan wabah terjadi pengetatan ruang gerak individu hingga ke level ekstrem: diisolasi atau dimakamkan secara khusus. Tentu saja hal itu berpengaruh kepada kondisi kejiwaan pasien atau keluarga terdekatnya.

Karena itu, upaya apapun yang ditempuh untuk menanggulangi wabah – secara medis atau nonmedis – harus mempertimbangkan konsekuensi psikologis dan sosial.

Implementasi pembatasan sosial harus berdasarkan pertimbangan epidemiologi, besarnya ancaman, dukungan sumberdaya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan; sehingga mungkin terjadi perbedaan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan kondisi wilayah.

Terlepas dari praktek penanggulangan pandemi, dalam ilmu sosial, istilah Jarak Sosial (social distance) merupakan konsep penting. Ada beberapa pengertian tentang jarak sosial, intinya merupakan ukuran kedekatan yang dirasakan individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain dalam jejaring sosial.

Jarak Sosial dalam Berbagai Dimensi

Jarak sosial dapat dilihat dalam beberapa dimensi. Pertama, dimensi afektif, seberapa besar simpati yang dirasakan anggota suatu kelompok terhadap kelompok lain. Gejala itu diukur Bogardus (1947) dalam skala berdasarkan konsepsi subyektif pelaku di tengah pergaulan sosial.

Kedua, dimensi normatif, mengacu pada norma-norma yang diterima secara luas dan secara sadar diposisikan tentang siapa yang harus dianggap sebagai "orang dalam" (kita) dan siapa "orang luar/asing" (mereka). Jarak sosial normatif berbeda dari afektif, karena dipahami sebagai aspek struktural non-subyektif dari hubungan sosial (Park: 1924).

Dimensi ketiga, interaktif, berfokus pada frekuensi dan intensitas hubungan antar individu atau kelompok. Konsepsi ini mirip dengan teori jaringan (Garnovetter: 2005), di mana frekuensi interaksi antara dua pihak digunakan sebagai ukuran "kekuatan" dari ikatan sosial.

Dimensi keempat ditark dari perspektif Bourdieu (1990) tentang modal kultural dan kebiasaan seseorang yang akan membentuk “kelas sosial” tersendiri. Dalam konteks ini, gaya hidup seseorang akan membedakannya dengan orang lain.

Jarak Sosial dan Kualitas Hubungan Sesama

Kita merasakan pentingnya konsep jarak sosial untuk memahami kualitas hubungan antara individu dan kelompok. Jarak sosial bisa menjadi kriteria apakah masyarakat memiliki integrasi sosial yang kuat atau lemah. Bila jarak sosial antar kelompok bersifat jauh, maka integrasi sosial akan lemah. Sebaliknya, jarak sosial yang dekat akan membuat integrasi sosial lebih kuat.

Jarak sosial yang jauh ditandai prasangka (stereotip) yang berkembang antar kelompok. Individu atau kelompok yang memiliki perasaan negatif terhadap individu/kelompok yang berbeda akan membangun prasangka buruk berdasarkan informasi parsial.

Jarak sosial yang dekat ditunjukkan dengan rasa simpati dan empati seseorang terhadap orang dan kelompok lain. Perbedaan latar belakang sosial-ekonomi tidak merenggangkan hubungan, bahkan semakin mendekatkan karena kesadaran akan kemajemukan dan semangat egaliterian.

Stereotip negatif yang berlangsung lama dan meluas di tengah masyarakat akan menimbulkan efek berbahaya, yaitu munculnya stigma sosial berupa penolakan terhadap seseorang atau kelompok karena orang tersebut dipandang melawan norma yang ada. Akibat lebih jauh adalah terjadi diskriminasi sosial.

Dinamika jarak sosial dalam kehidupan sehari-hari harus diperhatikan dan diarahkan. Keakraban antar kelompok berbeda digencarkan, sehingga semua kelompok memahami dan menerima perbedaan serta keunikan di antara mereka, selanjutnya mampu membangun kesepakatan tentang nilai-nilai bersama.

Itulah manfaat dibangunnya taman kota dengan segala fasilitas bermain dan olahraga, diterapkan car free day (CFD) di jalan-jalan utama, dan digalang aktivitas publik yang melibatkan segenap warga dari latar belakang apapun.

Saat ini, tatkala pandemi global Covid-19 menerpa dunia hingga ke Indonesia, kebijakan sebaliknya yang ditempuh: pembatasan interaksi, penutupan tempat-tempat keramaian umum, serta meliburkan jadwal sekolah/kerja dan agenda publik lain.

Pada tahap awal mungkin pembatasan, apalagi liburan, akan disambut ‘gembira’. Padahal sebenarnya hal itu dimaksudkan untuk menghindari penyebaran wabah dengan belajar dan bekerja dari rumah.

Pada gilirannya, kebijakan pembatasan akan menimbulkan efek psikologi, terutama setelah terlihat hasil yang mungkin berbeda: ada warga tetap sehat dan ada pula warga yang akhirnya terpapar tanpa disadari dari mana sumbernya.

Tiap orang bisa merasakan konsekuensi berbeda dan membandingkan kondisinya dengan orang lain yang lebih beruntung. Dari situlah terbentuk persepsi yang tidak sama antar individu dan kelompok, lalu terbangun jarak sosial berdasarkan perasaan dan empati terhadap individu atau kelompok lain.

Untuk itu, pemerintah tak hanya memberlakukan kebijakan pembatasan sosial, melainkan juga harus memikirkan dan memberikan jaminan perawatan dan mungkin kompensasi bagi warga miskin atau rentan.

Keefektifan Pembatasan Sosial

Pembatasan sosial dalam skala besar akan efektif bila diikuti dengan penyebaran sikap dan emosi yang positif. Semua orang berpeluang terpapar wabah tanpa disadari atau diinginkan, terlepas dari posisi sosial dan jabatan formal.

Seorang pelajar/mahasiswa, ibu rumah tangga atau pejabat tinggi negara bisa menderita gejala serupa. Emosi positif akan mempercepat kesembuhan dan menyehatkan masyarakat secara kolektif.

Ujian terberat ketika seseorang dinyatakan positif terpapar wabah dan mengalami resiko kematian, sehingga jenazahnya akan diperlakukan khusus. Perlakuan khusus itu menimbulkan persepsi yang beragam di tengah masyarakat, yang harus dihindari agar tidak menjadi stigma sosial baru.

Masyarakat Indonesia (dahulu bernama Nusantara) telah mengalami beragam bencana, bahkan yang paling dahsyat sepanjang sejarah manusia seperti meletusnya Gunung Tambora (1815) dan Gunung Krakatau (1883). Wabah cacar terjadi di Bali, Ambon dan Ternate (1871) menimbulkan korban sedikitnya 18.000 meninggal. Pada tahun 1821 wabah kolera melanda Batavia dan menyebabkan korban ratusan orang meninggal.

Di tengah bencana, warga membangun spirit solidaritas genuin semisal membagikan masker gratis atau sanitizer untuk tempat ibadah dan fasilitas publik. Percakapan di media sosial juga sangat banyak yang positif untuk menerapkan pola hidupan bersih dan sehat (PHBS), tips mencegah tersebarnya wabah, dan aksi-aksi produktif atau kreatif yang bisa dilakukan di rumah.

Bila warga Wuhan di China meneriakkan “Wuhan Jiayou” (Tetap Semangat Wuhan) dari jendela apartemen, dan warga Italia bermain musik bersama dari balkon rumahnya, maka warga Indonesia punya tradisi sendiri untuk menunjukkan solidaritas. Ada yang melakukan doa berantai atau membuat pesan kepedulian dalam bentuk pantun, meme dan kartun.

Virus corona baru mungkin memisahkan kita secara fisik sementara, namun mempersatukan hati dan pikiran kita. Indonesia sehat, Indonesia kuat

Oleh: Sapto Waluyo (Center for Indonesian Reform)

hafidz