Kekerasan seksual bukanlah hal yang asing di telinga kita, khususnya di Indonesia. Kekerasan seksual tidak hanya dialami oleh perempuan saja, laki-laki, bahkan anak-anak pun dapat mengalami hal ini.
Berdasarkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yaitu Bab 1, Pasal 1. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang atau fungsi reproduksi.
Dilakukan secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa atau relasi gender, yang dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Sedangkan untuk jenis kekerasan seksual Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah melakukan pemantauan selama 15 tahun (1998-2013).
Dari hasil tersebut setidaknya ada 15 jenis kekerasan seksual, yaitu pemerkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan pemerkosaan, pelecehan seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemakasaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuasa seksual, praktik tradisi bernuasa seksual yang membahyakan dan mengintimidasi perempuan, kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Dalam setiap tahun, kasus ini terus bertambah. Berdasarkan hasil Komnas Perempuan, dalam kurun waktu 12 tahun kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat sebanyak 792 persen atau hampir 8 kali lipat. Dalam kurun waktu 12 tahun tersebut, tercatat sebanyak 431.471 kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan hingga akhir tahun 2019 lalu.
Sementara untuk kasus anak-anak, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2019 khususnya di satuan pendidikan, tercatat sebanyak 21 kasus pelecehan seksual dengan jumlah korban 123 anak. Dari 123 korban ini, terdapat 71 anak perempuan dan 52 anak laki-laki, sedangkan untuk jumlah pelaku ialah 21, yang terdiri dari 20 laki-laki dan satu perempuan.
Mirisnya lagi, kasus kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada jenjang SD, SMP dan SMA saja, melainkan juga hingga jenjang peruguruan tinggi. Para pelaku kekerasan seksual tidak mengenal tempat dan umur korbannya, mereka selalu memiliki cara agar dapat melakukan kelakuan bejatnya.
Pelaku kekerasan seksual tidak hanya berasal dari orang yang tidak dikenal, pelaku bisa saja berasal dari orang yang kita kenal atau bahkan sangat dekat dengan kita. Berdasarkan beberapa kasus yang terjadi, pelaku kekerasan bisa saja dilakukan oleh pacar, ayah kandung, ayah tiri, kakak dan adik kandung, kakak dan adik tiri, kakek, saudara atau kerabat.
Sementara untuk modus yang digunakan oleh para pelaku pun sangat beragam, mulai dari rayuan, ancaman hingga belajar bersama.
Di sekolahan seperti SD, SMP dan SMA biasanya pelaku melakukannya dengan rayuan atau ancaman. Rayuan yang dilakukan ialah dengan memberikan permen, uang dan iming-iming nilai yang bagus, sedangkan ancaman ialah dengan memberikan nilai yang jelek atau bahkan tidak naik kelas.
Di peruguruan tinggi pun tidak jauh berbeda, dosen kerap kali mengiming-imingi dengan nilai yang bagus atau hanya sekedar untuk konsul tentang tugas dan permasalahan perkuliahan.
Kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan seakan telah menjadi budaya. Setiap tahunnya kasus kekerasan seksual terus mengalami kenaikan yang begitu signifikan.
Meskipun begitu, fakta di lapangan membuktikan bahwa tidak semua korban yang mengalami kekerasan seksual melaporkan apa yang telah mereka alami, mereka lebih memilih diam.
Berdasarkan kasus-kasus di atas, masih banyak korban yang memilih bungkam. Hal ini terjadi dikarenakan perlindungan terhadap hak-hak korban belum sepenuhnya dapat dipenuhi atau dilakukan oleh pemerintah, tidak hanya itu masyarakat Indonesia juga masih sering beranggapan bahwa pelaku tidak sepenuhnya bersalah dalam kekerasan seksual yang terjadi.
Masyarakat beranggapan bahwa kekerasan seksual ini terjadi karena kesalahan korban, khususnya dalam cara berpakaian. Untuk menekankan angka kekerasan seksual yang terus meningkat secara signifikan, pemerintah harusnya sigap dalam bertindak.
Pemerintah harus mengajak semua elemen masyarakat untuk berperan aktif dalam pencegahan ini, mengingat masyarakat merupakan bagian terpenting dalam setiap pelaksanaan kebijakan yang diterapkan di Indonesia.
Tag
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Bias Antara Keadilan dan Reputasi, Mahasiswi Lapor Dosen Cabul Dituduh Halusinasi
-
Tindak Kekerasan Masih Jadi Masalah Serius, Menteri PPPA Ajak Perempuan Berani Bersuara
-
Bicara tentang Bahaya Kekerasan Seksual, dr. Fikri Jelaskan Hal Ini
-
Gibran Sambut Usulan Mendikdasmen Buat Sekolah Khusus Korban Kekerasan Seksual: Ide yang Baik
-
Deepfake Pornografi: Penyalahgunaan Teknologi sebagai Alat Kekerasan Seksual
News
-
See To Wear 2024 Guncang Industri Fashion Lokal, Suguhkan Pengalaman Berbeda
-
Harumkan Indonesia! The Saint Angela Choir Bandung Juara Dunia World Choral Championship 2024
-
Usaha Pandam Adiwastra Janaloka Menjaga, Mengenalkan Batik Nitik Yogyakarta
-
Kampanyekan Gapapa Pakai Bekas, Bersaling Silang Ramaikan Pasar Wiguna
-
Sri Mulyani Naikkan PPN Menjadi 12%, Pengusaha Kritisi Kebijakan
Terkini
-
Hidden Game, Pesona Cafe Bernuansa Minimalis di Kota Jambi
-
4 Pilihan OOTD Hangout ala Park Ji-hu yang Wajib Dicoba di Akhir Pekan!
-
Tips Sukses Manajement waktu Antara Kuliah dan Kerja ala Maudy Ayunda
-
F1 GP Las Vegas 2024, Bisakah Max Verstappen Kunci Gelar Juara Dunia?
-
AFF Cup 2024 Resmi Gunakan Teknologi VAR, Kabar Buruk Bagi Timnas Vietnam?