Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Hafna Azkia
Sesi Berbincang dalam Screening Bisikan Terumbu

Pada Jumat (4/6) di ARTJOG 2025 telah tayang perdana sebuah film dokumenter yang disutradarai Arfan Sabran berjudul “Bisikan Terumbu”. Film ini merekam jejak perjalanan Teguh Ostenrik dalam menciptakan Artificial Reef.

Mulanya, ia merupakan mahasiswa kedokteran, kemudian banting setir untuk kuliah seni rupa di Berlin, Jerman. Teguh kembali ke Indonesia, ia melihat lautan yang tidak lagi biru, ikan menghilang, karang pun rusak.

Sebagai seniman, ia pun merenungi hal ini agar bisa diubah sesuai yang bisa seniman ubah. Pengalaman artistiknya meluas dari dua dimensi menjadi tiga dimensi. Ia menciptakan patung-patung dari limbah besi, logam bekas industri, hingga membentuk struktur bawah laut bernama Artificial Reef.

Artificial Reef adalah instalasi bawah laut yang dibuat dari logam daur ulang dan dirancang dengan prinsip-prinsip ekologi. ini bukan sekadar karya seni atau proyek konservasi; ini adalah bentuk dialog antara seni dan alam, antara manusia dan lautan yang terus terluka.

Karya Artificial Reef tidak sekedar dipasang di bawah laut untuk dinikmati secara visual, tapi juga dirancang agar dapat menjadi tempat hidup bagi mikroorganisme, ikan, dan terumbu karang. Lubang-lubang pada instalasi dibuat dengan prinsip ekologi: agar air laut bisa mengalir, agar karang bisa tumbuh, dan ekosistem bisa kembali berkembang.

Bahkan struktur ini menjadi lokasi snorkeling dan diving baru untuk mengurangi tekanan di spot-spot karang alami yang sudah rusak. Ia ingin karyanya menyatu dengan alam dan memperbaiki kerusakan yang telah manusia timbulkan. 

Setiap instalasi dibuat berdasarkan karakteristik biota lokal, termasuk mempertimbangkan bentuk spiritualitas masyarakat sekitar. Contohnya, di Bangka dibangun Domus Piramidis Dugong, dan di Wakatobi dibuat Domus Lomus sesuai spesies lokal "butterfly lomus". Laut Indonesia, meskipun dekat secara geografis, terasa jauh dari kesadaran masyarakat.

Padahal Indonesia adalah negara kepulauan, dikelilingi oleh laut yang menyimpan kehidupan dan oksigen untuk dunia. Dalam sesi berbincang, Teguh menyoroti pentingnya mengikat kembali hubungan manusia dengan laut melalui seni. Seni dapat menyentuh kesadaran secara emosional. 

Tak hanya berjalan sendiri, proyek ini menggabungkan seni, alam, dan sekumpulan masyarakat seperti ahli kelautan, penyelam, teknisi, komunitas lokal, dan keluarganya sendiri. Istrinya, Mira Tedja, berperan besar dalam membentuk struktur organisasi Yayasan Terumbu Rupa. Anak-anak dalam edukasi lingkungan menjadi strategi utama sebagai the next generation yang akan memikul tanggung jawab menjaga alam.

Banyak tantangan teknis dan birokrasi, mulai dari survey lokasi, logistik ke daerah terpencil, kebutuhan akan mitra lokal yang siap merawat struktur, hingga izin yang sulit keluar meski sponsor sudah siap. Proses panjang ini menjadi bukti bahwa seni ekologis bukanlah proyek instan. 

Melalui karya ini, Teguh ingin menyampaikan pesan bahwa laut bukan sekadar lanskap atau objek wisata, tapi tubuh hidup yang berbicara dalam bahasa sunyi. “Di batas terang dan gelap, laut menjadi kanvas abadi. Bukan untuk melukis dunia, melainkan menanam harapan yang tumbuh di karang dan kembali sebagai cahaya. Mereka bukan sekadar instalasi, tapi doa yang ditanam dalam besi. Harapan agar laut pulih dan kehidupan kembali.”, narasi yang disebutkan beliau dalam filmnya.  

Kini, sudah terdapat lebih dari belasan  karya yang sudah hadir di bawah laut Indonesia. Lokasinya ada di daerah Lombok, Jakarta, Sulawesi, Banyuwangi, hingga Bali.  Dalam instalasi terbarunya di Bali Utara yang dinamai “Kurma Amerta”.  Targetnya, sebanyak 399 patung penyu yang terbuat dari logam bekas akan menjadi media tumbuhnya karang di bawah laut.

Proyek Artificial Reef adalah perwujudan dari cinta yang dalam kepada laut dan kehidupan. Teguh menyebutnya sebagai ajakan diam-diam untuk menyatu kembali dengan alam. Ini adalah seni yang bukan hanya untuk dilihat, tapi untuk dirasakan dan menggerakkan.

Hafna Azkia