Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Aqilla Fadia Haya
Potret Pendidikan Indonesia di Tengah Pandemi Corona

COVID-19 datang menguji kemampuan negara di dunia. Banyak pelajaran berharga yang dapat dipetik dari pandemi ini, salah satunya sektor pendidikan. Pendidikan juga mendapat imbasnya sehingga dilaksanakannya PJJ (Pendidikan Jarak Jauh) se-Indonesia.

Sebelum adanya PJJ, pendidikan layak untuk daerah 3T (Daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar) ataupun daerah pelosok terasa berat. Belakangan pendidikan di daerah pusat mulai menjalankan kelas daring dengan mudah, kepemilikan gawai serta akses internet yang lancar sudah menjadi keuntungan dalam menjalankan PJJ.

Lalu bagaimana dengan PJJ di daerah pelosok? Gawai menjadi benda mewah, kuota yang cukup mahal seperti pembayaran listrik bulanan dan belum lagi akses internet yang belum tentu menjangkau daerah tersebut.

Sejak kemerdekaan pendidikan merupakan salah satu tujuan nasional, hal tersebut terdapat pada pembukaan UUD 194. Landasan pokok keberadaan sistem pendidikan nasional tercantum dalam batang tubuh UUD 1945 yaitu Bab XIII, Pasal 31, ayat (1) yang menyatakan bahwa, setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.

Melansir dari tirto.id, Program Wajib Belajar sudah ada sejak tahun 1950, di mana pemerintah melakukan percobaan Wajib Belajar 6 tahun, dilanjutkan tahun 1984, pemerintah mencanangkan Gerakan Wajib Belajar (Wajar) 6 tahun (SD), lalu di tahun 1994 Wajar 9 tahun (SMP), dan terakhir tahun 2015 Wajar 12 tahun (SMA).

Indonesia adalah negara kepulauan, banyak tantangan untuk dapat mencapai pemerataan pendidikan dengan mudah, walaupun negara ini sudah menjamin seluruh warga negaranya dapat mengenyam bangku pendidikan formal secara keseluruhan, tetapi tetap saja daerah 3T  akan menjadi urutan terakhir mendapat pendidikan yang layak, baik secara fisik maupun nonfisik.

Seperti yang terjadi baru-baru ini dilansir dari halaman Kompas, kisah Pak guru Avan yang mengajar dari rumah ke rumah karena siswa tak punya ponsel. Pak guru Avan, dia adalah guru di SD Negeri Batuputih Laok 3, Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Melalui unggahan di akun Facebooknya, Avan menceritakan pengalamannya tersebut, di mana siswa-siswanya tidak punya sarana untuk belajar di rumah. Mereka tidak mempunyai smartphone, juga tidak punya laptop. Walaupun misalnya punya, dana untuk membeli kuota internet akan membebani wali murid, tulis Avan.

Avan paham betul pandemi ini diminta agar jaga jarak, dan untungnya Kabupaten Sumenep masih zona hijau, beliau jadi yakin bisa memberikan pengajaran dari rumah ke rumah, tentu jarak per-rumah pun jauh, namun Avan percaya memang ini adalah tugasnya sebagai guru.

Sejak pandemi menyerang, pendidikan formal yang harusnya bersifat inklusif dan publik menjadi sektor privat yang bersifat eksklusif untuk daerah 3T yang harus melaksanakan PJJ.

Menurut riset Hootsuite, pengguna internet di Indonesia mencapai 64% dari total populasi keseluruhan, yaitu setara 175 juta jiwa tahun ini, dan juga diprediksi menempati posisi ketiga terbesar di dunia dalam penggunaan perangkat mobile, tetapi tetap saja masalah pendidikan yang timpang ini masih terus terjadi di Indonesia sampai saat ini, terutama untuk pendidikan daerah 3T. 

Ini juga menjadi pertanyaan untuk penggalakannya Indonesia yang akan memasuki revolusi industri 4.0, benarkah Indonesia sudah siap?

Banyak film serta program dokumenter yang menampilkan perjuangan para tenaga pendidik yang ditempatkan ke daerah 3T untuk menyalurkan aspirasi dan keluhan soal masalah kependidikan ini.

Salah satu program dokumenter yang menampilkan kegiatan belajar dan mengajar di daerah pelosok adalah Lentera Indonesia yang pertama kali tayang tahun 2013.

Adapula sederet film yang menampilkan masalah tersebut diantaranya, Laskar Pelangi (2008), Batas (2011), Tanah Surga Katanya (2012), Sokola Rimba (2013), serta film yang nanti akan tayang Guru-Guru Gokil (2020). Semua tayangan tersebut menceritakan  bagaimana pendidikan di daerah pelosok.

Dikutip dari CNBC Indonesia, tahun ini besaran anggaran pendidikan mencapai 508,1 triliun, atau 20% dari belanja APBN 2020 yang nilainya Rp. 2.540,4 triliun. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati pernah melontarkan pernyataan soal korupsi anggaran pendidikan yang masih terjadi, khususnya di daerah.

Beliau juga mengatakan anggaran pendidikan 508 triliun tahun ini, 200 triliun di alokasikan untuk gaji, tunjangan serta sertifikasi para guru melalui Dana Alokasi Umum,  di mana bantuan sekolah dan guru makan 80% dari anggaran pendidikan dan sisanya dikelola oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim.

Memang sulit menjangkau dan menyetarakan pendidikan di daerah 3T dengan pendidikan di daerah pusat, terlebih masalah geografis serta rintangan pemberian dananya. Banyak guru PNS maupun honorer enggan mengajar di daaerah pelosok akibat upah yang tidak mencukupi untuk hidup.

Pemerintah juga mengupayakan agar upah guru setara dengan pengabdiannya, namun karena satu dan lain hal oleh tangan jahat ataupun luput dari mata pemerintah banyak guru yang terlantar di pelosok mengandalkan hidup dari pekerjaan sampingan selain jadi guru. Banyak guru di negeri ini yang terpaksa melakukan lebih dari satu pekerjaan untuk pemenuhan kebutuhan terutama guru di daerah 3T.

Sejak pandemi ini hinggap di paru-paru negeri, semua sektor memang mengalami kesulitan. Berita baik untuk sektor pendidikan, dikutip dari liputan6 bahwa pemerintah tak akan pangkas dana pendidikan, Kepala Kebijakan Fiskal (BKF), Febrio Kacaribu, mengatakan 20% dana pendidikan tersebut sudah menjadi mandat konstitusi, sehingga tidak dapat diubah.

Semoga dengan begitu, Pak guru Avan lain di luar sana menerima hal baik tersebut dan dana pendidikan ini sampai kepada yang seharusnya menerima dan perbaikan fasilitas pendidikan terutama fasilitas pendidikan di daaerah 3T dapat terlaksana dengan baik.

Oleh : Aqilla Fadia Haya / Mahasiswi S1 Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Aqilla Fadia Haya