Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Aqilla Fadia Haya
Uang Rupiah

Awalnya, pelaksanaan redenominasi ditargetkan bisa terealisasi pada 1 Januari 2020. Namun landasan hukumnya belum juga keluar. Wacana redenominasi pun kembali dilanjutkan, namun pembahasan payung hukumnya tak pernah selesai hingga berakhirnya masa kerja DPR periode 2014-2019. Sejak 2018 hingga 2020, RUU Redenominasi Rupiah 2020 tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). Kini rencana redenominasi kembali dilanjutkan di tengah pandemi COVID-19. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024.

Redenominasi akan membuat nominal rupiah lebih sederhana. Nantinya Rp 1.000 akan diubah menjadi Rp 1, menyederhanakan tiga digit. Redenominasi bukanlah sanering atau pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan uang. Redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju ke arah yang lebih sehat. Sedangkan sanering adalah pemotongan uang dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat, di mana yang dipotong hanya nilai uangnya.

Dalam redenominasi, baik nilai uang maupun barang, hanya dihilangkan beberapa angka nol-nya saja. Dengan demikian, redenominasi akan menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula penyederhanaan penulisan alat pembayaran (uang) dan menyederhanakan dalam penulisan catatan akuntansi/pembukuan tanpa memberikan kerugian.

Pengalaman negara lain menunjukkan keberhasilan redenominasi menuntut stabilitas makroekonomi, inflasi yang terkendali, nilai tukar mata uang, dan kondisi fiskal.

Nilai tukar nominal dan nilai tukar riil menunjukkan nilai tukar di mana satu mata uang dapat dibeli untuk mata uang lain. Nilai tukar nominal adalah kurs yang ditampilkan di bank dan penukar uang. Nilai tukar riil sedikit lebih rumit dan menunjukkan berapa kali barang yang dibeli secara lokal dapat dibeli di luar negeri. Menurut data Bank Indonesia tercatat tanggal 23 Oktober 2020, Rupiah berbanding US Dollar seharga 14,770.49, pada kurs beli dan 14,623.52 pada kurs jual.  

Bisa dibayangkan, untuk saat ini saja nominal yang masih bisa kita belanjakan adalah paling kecil sekitar Rp. 500 untuk pembelian permen di warung kelontong, dan kisaran Rp2000 untuk membeli cemilan kecil di swalayan, untuk wilayah Jabodetabek.

Cukup banyak digit atau nominal yang dikeluarkan untuk konsumsi jumlah kecil. Hal ini menyebabkan redenominasi cukup diperlukan dalam sejumlah kepentingan atau kegiatan tertentu yang menyangkut nilai nominal bukan nilai riilnya.

Dilansir dari CNBC News, Turki menjadi salah satu negara yang dianggap sukses menerapkan redenominasi. Namun, tidak semua negara berhasil menerapkan kebijakan ini, tak terkecuali seperti Zimbabwe yang gagal total dan dolar Zimbabwe kini punah.

Zimbabwe melakukan tiga kali redenominasi yaitu pada 2006, 2008, dan 2009. Pada 2006, harga dolar dolar Zimbabwe di redenominasi tiga digit. Uang ZWN 1.000 berubah menjadi ZWN 1, seperti yang rencananya diterapkan di Indonesia. Namun karena melimpahnya uang beredar akibat pencetakan uang gila-gilaan, inflasi Zimbabwe tidak terkendali.

Pada 2007, inflasi Zimbabwe sempat mencapai 1.000%. Belum lagi bank sentral sama sekali tidak punya independensi, dengan menyebut inflasi sebagai barang haram. Dunia usaha tidak boleh menaikkan harga, yang kemudian malah memicu merebaknya aktivitas ekonomi 'bawah tanah'. Di pasar gelap, US$ 1 bisa dihargai sampai ZWN 600.000.

Kemudian pada 2008, redenominasi dilakukan kembali dan dolar Zimbabwe mengalami perubahan kode dari ZWN menjadi ZWR. Di mana ZWN 10.000.000.000 berubah menjadi ZWR 1. Akan tetapi, redenominasi jilid II tidak mengubah kenyataan bahwa dolar Zimbabwe adalah uang yang tiada berharga. Sebab, bank sentral tetap harus mencetak uang sebanyak-banyaknya untuk membiayai rezim pemerintahan Presiden Robert Mugabe.

Saat redenominasi jilid II berlaku, penggunaan mata uang asing menjadi semakin biasa di negara itu. Karena dolar Zimbabwe yang nyaris tidak berharga sama sekali. Lalu pada 2009, dolar Zimbabwe lagi-lagi mengalami redenominasi dengan perubahan kode dari ZWR menjadi ZWL. Langsung 12 nol dipangkas, jadi ZWR 1.000.000.000.000 setara dengan ZWL 1.

Redenominasi ketiga pun tidak sukses, karena ekonomi Zimbabwe praktis sudah menggunakan Dollar AS sebagai mata uang yang berlaku sehari-hari. Uang beredar yang terlalu banyak membuat inflasi Zimbabwe pada 2008 sempat mencapai 250.000%.  Mesin ATM sampai tidak bisa mengeluarkan uang karena jumlah nol yang kebangetan banyaknya.  Akhirnya Zimbabwe menyerah.

Pada 2014, bank sentral Zimbabwe menyatakan bahwa Dollar AS, Rand Afrika Selatan, pula Botswana, Poundsterling Inggris, Euro, Dollar Australia, Yuan China, Rupee India, dan Yen Jepang adalah alat pembayaran yang sah. Kemudian pada pertengahan 2015, bank sentral Zimbabwe secara resmi menonaktifkan Dollar Zimbabwe dan beralih ke Dollar AS sebagai mata uang utama.

Jadi, inti dari keberhasilan redenominasi adalah mengendalikan inflasi. Ketika inflasi bisa terkendali, maka redenominasi akan sangat membantu untuk menjangkar ekpektasi. Namun ketika rakyat hilang kepercayaan terhadap kondisi ekonomi, maka redenominasi tidak akan banyak membantu.

Keberhasilan redenominasi sangat ditentukan oleh berbagai hal. Komitmen nasional juga dibutuhkan di sana. Redenominasi biasanya dilakukan ketika ekspektasi inflasi berada di kisaran rendah dan pergerakannya stabil. Stabilitas perekonomian terjaga dan ada jaminan terhadap stabilitas harga serta adanya kebutuhan dan kesiapan masyarakat, menurut BI, akan berbahaya jika nominal redenominasi 1,5 rupiah tersebut dibulatkan menjadi 2 rupiah setara 2.000 rupiah.

Selain itu, sangat penting juga bagi pulau-pulau terluar dan pedalaman Indonesia untuk memiliki pecahan uang terkecil ini. Redennominasi memang perlu, tapi lebih perlu lagi kita menjadikan pelajaran Redenominasi Zimbabwe akibat tidak stabilnya ekonomi, distribusi yang tidak merata dan pencetakan uang terlalu banyak, agar redenominasi menghasilkan hal positif bagi perekonomian Indonesia seperti redenominasi di Turki yang berlangsung 10 tahun prosesnya secara benar-benar matang.

Oleh : Aqilla Fadia Haya, Mahasiswa Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta

Aqilla Fadia Haya