Hingga tanggal 16 Mei 2020, jumlah orang yang terjangkit virus corona sudah mencapai angka 17.000 lebih. Terdapat penambahan 3.000 kasus positif sejak tanggal 7 Mei 2020 dan kini hanya 9 provinsi di Indonesia yang sudah tidak memiliki kasus positif. Kondisi ini sangat memprihatinkan, sedangkan hingga sekarang belum juga ditemukan vaksin dan obat untuk mengatasi virus corona.
Sudah lebih dari 2 bulan social distancing diberlakukan, dan ditambah beberapa provinsi menjalankan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), dengan harapan bisa segera mengatasi peningkatan jumlah orang yang positif virus ini. Namun, setelah sekitar 1 bulan dimulainya PSBB tidak juga menunjukan angka penurunan jumlah positif.
Lagi-lagi pemerintah seperti kebingungan bagaimana menghadapi permasalahan pandemi ini. Ditambah di jajaran kabinet yang mengeluarkan statement dan aturan yang berlawanan dengan aturan yang sebelumnya dikeluarkan satu dengan lainnya. Sama di saat awal-awal kemunculan virus corona di Wuhan, alih-alih pemerintah meyakinkan diri terbebas dari virus corona, ternyata sekarang menunjukan betapa bingungnya penanganan pandemi ini.
Seperti informasi yang dikeluarkan tanggal 6 Mei yang lalu ketika Menhub mengizinkan semua moda transportasi kembali beroperasi, namun mudik tetap dilarang. Dan beberapa waktu lalu, kepadatan terjadi di bandara Soeta. Ini benar-benar mendatangkan kebingungan yang baru. Tidak jelas arahnya apakah menyelamatkan ekonomi ataukah nyawa masyarakat yang lebih luas? Ataukah keduanya?
Sejak awal yang menjadi permasalahan kebingungan pemerintah adalah ekonomi, baik kekuatan ekonomi dari sisi keuangan pemerintah juga perekonomian masyarakat Indonesia. Terlihat terjangan gelombang besar PHK dan tutupnya usaha-usaha menjadi gambaran betapa ekonomi Indonesia sangat rapuh. Bagaimana analisa dan saran para ekonom kita?
Ekonomi Terbelenggu Politik
Tidak sedikit ekonom andal yang dimiliki negeri ini, yang merupakan jebolan Perguruan Tinggi ternama dan berkualitas di Indonesia. Pakar ekonomi itu mempunyai dasar ilmu secara teori dan praktek yang mumpuni, ada yang dari manajemen juga akuntansi serta bidang ilmu ekonomi lainnya.
Namun, dalam situasi ini, ekonom yang dimiliki Indonesia seperti tidak memiliki arti. Terbukti ekonomi negara kocar-kacir, seperti tidak memiliki strategi dalam mengatasi krisis. Bagaimana mengambil sebuah kebijakan antara penyelamatan ekonomi ataukah jiwa masyarakat Indonesia?
Sudah diketahui secara luas, dan disadari banyak kalangan, bahwa perekonomian dipengaruhi perkembangan politik. Karena politik pula yang menyeret ekonom-ekonom kita dianggap kehilangan kekritisan dalam menganalisa dan menyikapi kondisi ekonomi bangsa. Bahkan tidak sedikit ekonom yang terang-terangan terjun ke politik praktis, termasuk dari kalangan akademisi.
Sehingga ketika muncul permasalahan di negara ini, kemudian ada ekonom di luar pemerintah yang mengkritisi sebuah kebijakan, maka akan dianggap orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah atau anti pemerintah. Sedangkan yang setuju dengan kebijakan pemerintah dianggap orang-orang yang tidak memiliki kekuatan karena pemikiran mereka dipengaruhi kepentingan-kepentingan politik yang berujung pada perebutan kekuasaan.
Ekonomi seperti terbelenggu politik ini membuat pertimbangan dan analisa pakar ekonomi seperti tumpul. Hal ini karena kuatnya keterkaitan antara ekonomi dan politik. Sayangnya pakar ekonomi yang terjun ke politik praktis banyak yang tidak memahami perkembangan dunia politik sehingga membaca data hanya bersumber pada ekonomi, begitu pula dengan politikus.
Banyak politikus ketika bicara ekonomi, sesungguhnya tidak paham dengan ilmu dan perkembangan ekonomi itu sendiri. Sehingga ketidaktepatan dalam membuat kebijakan sangat terlihat jelas.
Terlihat jelas banyak kasus yang terjadi, ketika beberapa orang yang memiliki kemampuan secara materi yang baik memberikan bantuan kepada masyarakat kemudian diberi label nama mereka sebagai calon pemimpin di masa yang akan datang, baik pemimpin daerah maupun negara. Sehingga muncul stigma negatif dari masyarakat bahwa ekonomi kita hanyalah sebuah pergerakan politik yang erat kaitannya dengan perebutan kekuasaan.
Pertaruhan Kesehatan dibalik Ekonomi
Jadi tidak mengherankan, karena stigma negatif itu pula membuat masyarakat seakan sudah hapal dengan kondisi ini, bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah seperti hanya mengedepankan kepentingan-kepentingan golongan tertentu, sehingga bagi masyarakat bahwa pertaruhan hidup mereka sudah pasti harus mereka sendiri yang memikirkan.
Seperti pada aturan PSBB yang semula hanya pasar dan toko retail yang menyediakan kebutuhan bahan pokok yang boleh buka, namun pada kenyataannya sentra-sentra bisnis masih banyak yang buka. Ini terlihat bahwa pengusaha level menengah dan besar pun masih banyak yang tidak memikirkan bagaimana perkembangan Covid-19 ini dan dampak-dampaknya. Bagi mereka kepentingan ekonomi mereka di atas segalanya. Dan pada akhirnya bisa dikatakan PSBB gagal.
Sebab pertimbangan ekonomi yang tidak matang, membuat tenaga medis mendekati titik frustasi menghadapi pasien yang terus berdatangan. Sedangkan nyawa mereka yang menjadi taruhannya. Hal ini dikarenakan pasien terinveksi virus corona semakin meningkat, juga karena keterbatasan perlengkapan yang mereka butuhkan seperti Alat Pelindung Diri (APD).
Pada sisi lain Tsunami PHK di depan mata, terjangan kebangkrutan UMKM tidak terelakan. Begitu menyedihkan kondisi bangsa ini karena pertimbangan ekonomi dan keuangan negara yang meleset, sedangkan ketahanan bisnis ditingkat menengah kebawah yang dipegang swasta sudah mendekati titik yang sulit dipertahankan.
Mengerahkan Kekuatan Bertahan
Dalam situasi sulit dan kritis seperti ini, ada baiknya pemerintah memanggil pakar ekonomi meskipun terlihat seperti berseberangan politik. Pada masa pandemi ini semua harus menanggalkan kepentingan politiknya, karena saat ini bukan kondisi biasa, pandemi ini sudah masuk pada kondisi luar biasa, yang membutuhkan pemikiran dan tenaga dari semua kalangan. Paling tidak untuk menenangkan masyarakat luas, bahwa situasi ini akan dihadapi bersama seluruh lapisan masyarakat.
Pemerintah tidak perlu malu meminta pakar ekonomi di luar pemerintah, untuk sama-sama mengambil jalan apa yang harus ditempuh. Bisa jadi ekonom-ekonom yang berseberangan dengan pemerintah punya analisa dan terobosan yang bisa mengatasi secara cepat, mungkin tidak menghilangkan angka pasien positif saat ini, paling tidak bagaimana mengatasi keadaan agar masyarakat dan aktifitas bisnis tetap dapat bertahan, tanpa harus mengorbankan lebih banyak lagi tenaga medis.
Oleh: Trismayarni Elen S.E., M.Si / Praktisi dan Akademisi Akuntan
Baca Juga
Artikel Terkait
-
MHU Perkuat Kemandirian Ekonomi Masyarakat Lewat Program Pemberdayaan Berkelanjutan
-
Bawaslu Ungkap 5 Pelanggaran Pilkada Maluku: Politik Uang hingga Pencoblosan Surat Suara Sisa
-
Cak Imin Akui BPJS Kesehatan Belum Bisa Diklaim untuk Pengobatan Judol di Beberapa RS
-
Kabar Gembira, Kenaikan PPN 12 Persen Berpotensi Diundur Pelaksanaannya
-
Pasca Quick Count, Megawati Soroti Campur Tangan Kekuasaan di Pilkada
News
-
Membludak! Floating Market Pertama di Surabaya Diserbu Pengunjung
-
Satukan Dedikasi, Selebrasi Hari Guru di SMA Negeri 1 Purwakarta
-
Dari Kelas Berbagi, Kampung Halaman Bangkitkan Remaja Negeri
-
Yoursay Talk Unlocking New Opportunity: Tips dan Trik Lolos Beasiswa di Luar Negeri!
-
See To Wear 2024 Guncang Industri Fashion Lokal, Suguhkan Pengalaman Berbeda
Terkini
-
3 Rekomendasi Milk Cleanser dari Brand Lokal Terbaik, Harga Mulai 8 Ribuan!
-
Ulasan Film 'Bila Esok Ibu Tiada', Ada Rahasia di Balik Senyum Ibu
-
Menggali Budaya dari Hidangan Sulawesi Selatan dalam Novel Kisah dari Dapur
-
Kupas Identitas Kyudai Garaki di Boku no Hero Academia, si Dokter Terburuk!
-
Ulasan Novel Takbir Rindu di Istanbul, Memperjuangkan Cinta atau Cita-Cita?