Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Trismayarni Elen
Ilustrasi minyak goreng. [Istimewa]

Pemerintah Indonesia resmi melarang ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) beserta produk turunannya mulai Kamis (28/4/2022. Kebijakan ekspor yang berubah-ubah akan memunculkan masalah lain, dan justru memberi kesan pemerintah kurang jeli dalam melihat sebuah permasalahan terkait langka dan tingginya harga minyak goreng sawit di dalam negeri.

Hal yang perlu dicermati adalah data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) per tahun 2021 bahwa total produksi minyak sawit Indonesia pada tahun 2021 sebanyak 51,3 juta ton dimana kebutuhan ekspor sebesar 65 persen dan sisanya 35 persen atau setara 8,95 juta ton untuk kebutuhan konsumsi lokal.

Akar masalahnya adalah ketika harga dan kebutuhan minyak sawit dunia tinggi, dan Indonesia sebagai lumbung sawit mengambil kesempatan dengan baik untuk ekspor dengan harapan akan berpengaruh positif dan  signifikan bagi neraca perdagangan Indonesia serta bagi proses pemulihan ekonomi Indonesia.

Namun, ternyata kondisi ini dimanfaatkan dengan tidak baik oleh mafia atau kartel (di mana kerja jamaah antara pengusaha dan pejabat pemerintahan), sehingga membuat ketersediaan minyak goreng langka di pasar dan dijadikan celah menaikkan harga.

Dampaknya, sejak akhir tahun 2021 harga minyak goreng semakin melejit membuat pengusaha kecil terlilit kondisi sulit, dan puncaknya pada awal tahun 2022 hingga Maret 2022 terjadi antrian pembeli minyak goreng. 

Konsumsi Minyak Goreng di Indonesia 

Menurut data dari Kementerian Perindustrian RI bahwa kebutuhan minyak goreng sawit tahun 2021 dalam negeri terdiri dari kebutuhan curah industri sebanyak 32 persen, curah rumah tangga sebesar 42 persen, kemasan sederhana 4 persen, dan kemasan premium sebesar 22 persen.

Sesuai Permendag No. 6 Tahun 2022, yang dimaksud dengan curah adalah minyak goreng sawit yang dijual kepada konsumen dalam kondisi tidak dikemas dan tidak memiliki label/merk. Minyak goreng kemasan sederhana merupakan minyak goreng sawit yang dikemas dengan kemasan lebih ekonomis. Sementara itu, minyak goreng kemasan premium adalah minyak goreng sawit selain kemasan sederhana.

Minyak Goreng Bagi Pedagang Kaki Lima

Pedagang kaki lima seperti warung pecel ayam/lele juga pedagang gorengan membutuhkan minyak goreng sekitar 3-5 liter setiap harinya. Banyak dari mereka yang terpaksa tidak berjualan ketika kelangkaan minyak goreng, meski kondisi ini sudah terjadi sejak bulan Oktober tahun 2021 di mana harga minyak goreng yang merangkak naik.

Sejak awal Covid-19 hingga tahun 2021, hampir setengah atau sekitar 500 dari lapak pecel lele/ayam juga seafood yang berada di Jabodetabek gulung tikar, (Hamdani, 2021). Dan ketika kondisi pandemi surut dan membaik, alih-alih berharap bisa bangkit untuk menutupi kerugian ketika pandemi, namun yang didapat justru  kenyataan pahit dimana masalah minyak goreng yang langka dan tingginya harga.

Selain itu pedagang gorengan di pinggir jalan dan di warung-warung juga sulit sekali mengambil keuntungan dengan kenaikan harga minyak goreng, di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang belum stabil.

Minyak Goreng Bukan Hanya Masalah Ibu-ibu Rumah Tangga

Gugatan yang dilayangkan pedagang pecel lele ke Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu yang lalu, mengisyaratkan bahwa masalah minyak goreng sangat berdampak besar bagi para pedagang kaki lima karena minyak goreng adalah bahan baku usaha mereka. 

Kata-kata yang dilontarkan Ibu Megawati Soekarno Putri terkait ibu-ibu yang antri minyak goreng (minyak goreng) pertengahan Maret 2022. Dan beberapa hari yang lalu, Presiden ke-5 RI yang sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan pun kembali melontarkan pernyataan yang menyinggung masyarakat ekonomi menengah ke bawah yaitu ibu-ibu yang berduyun-duyun membeli baju baru sedangkan sebelumnya para ibu-ibu rela antre minyak goreng. 

Pernyataan dan kata-kata tersebut sangatlah disayangkan karena seperti tidak memahami bagaimana kondisi masyarakat Indonesia yang berada pada ekonomi menengah ke bawah.

Apalagi jika dikaitkan dengan ibu-ibu yang membeli baju baru dengan antrian minyak goreng, maka sangatlah tidak tepat. Mengingat saat ini memang momen Ramadan dan menjelang Idulfitri. Tradisi yang sudah melekat di masyarakat Indonesia terutama umat Islam bahwa momen lebaran identik dengan baju baru. Dan bisa diyakini banyak dari para ibu juga mempertimbangkan soal harga dalam membeli baju tersebut.

Kata-kata Ketua Umum PDI Perjuangan tersebut sangat bertolak belakang dengan kata-kata Menteri Keuangan Sri Mulyani tahun 2021 di momen Ramadan, di mana Menkeu justru menyarankan masyarakat untuk berbelanja baju untuk lebaran dengan tujuan untuk menaikkan aktivitas bisnis pada level mikro kecil di saat kondisi ekonomi Indonesia belum pulih.

Apakah Larangan Ekspor Adalah Solusi?

Dampak dari langka dan tingginya harga minyak goreng ini dirasakan oleh semua elemen masyarakat khususnya masyarakat kecil baik untuk kebutuhan rumah tangga juga usaha, karena ulah para mafia.

Gerak cepat pemerintah menangkap mafia minyak goreng pun tidak mampu membuat harga minyak goreng menjadi stabil. Karena sejak penangkapan hingga sekarang harga minyak goreng di pasaran masih sangat tinggi.

Namun, larangan ekspor minyak sawit juga akan berdampak buruk bagi usaha kecil dari hulu ke hilir, karena secara langsung justru berdampak buruk bagi penjualan Tandan Buah Segar (TBS) dan perkebunan kelapa sawit, dan pengusaha perkebunan kelapa sawit skala kecil, hingga distributor skala kecil.

Maka, larangan ekspor masih berupa hipotesis atau sekadar uji coba kebijakan pemerintah. Pasalnya, pemerintah seperti mengembalikan pada mekanisme pasar dengan larangan ekspor berharap membuat stok dalam negeri akan minyak goreng menjadi melimpah dan harga minyak goreng bisa turun. Hal ini lagi-lagi dampak akhir yang merasakan beratnya sebuah kondisi dan kebijakan adalah masyarakat kelas bawah dan usaha mikro kecil. 

Sehingga yang harus dilakukan adalah membereskan jalur distribusi minyak goreng akibat adanya penimbunan oleh mafia minyak goreng tersebut, agar pemerintah tidak perlu memberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk minyak goreng, karena BLT minyak goreng sifatnya sementara dan justru memberi jalan pengusaha kakap baik pabrikan juga distributor untuk tetap menaikkan harga. 

Penulis: Trismayarni Elen, S.E., M.Si 

Praktisi dan Akademisi Akuntan // Pemerhati Bisnis dan Keuangan UMKM

Trismayarni Elen