Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Trismayarni Elen
Ilustrasi pakaian muslim gamis wanita (Instagram/@le_khari)

Bisnis fashion Indonesia khususnya pakaian jadi tetap bergairah di tengah lesunya ekonomi nasional dan global di tiga tahun terakhir ini. Konsumsi masyarakat pada produk pakaian pun menunjukkan angka yang cukup tinggi.

Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 untuk total konsumsi domestik kategori pakaian, alas kaki dan perawatan dengan nilai lebih dari Rp200 triliun. Angka ini termasuk di dalamnya industri fashion muslim.

Mengingat, jumlah pemeluk agama Islam di Indonesia 87% dari total penduduk. Bahkan sebuah data menunjukan bahwa konsumsi fashion muslim Indonesia hingga menembus angka Rp300 triliun di tahun 2022.

BACA JUGA: Hardiknas 2023 dan Cita-cita Ki Hajar Dewantara yang Masih Terus Terbengkalai

Selain itu, industri baju muslim Indonesia merupakan industri penyumbang pertumbuhan ekonomi paling tinggi terutama pada sektor ekonomi kreatif, (Nabilah, 2022).

Fenomena hijrahnya anak muda muslim Indonesia termasuk para influencer tanah air untuk menutup aurat memberi andil atas perkembangan pesat fashion muslim. Apalagi pada moment lebaran seperti tahun 2023 ini, yang diperkirakan 100 juta lebih penduduk akan mudik.

Pastinya para pemudik sudah mempersiapkan baju baru khususnya baju yang akan dikenakan pada saat shalat Idul Fitri dan saat berkumpul dengan keluarga, juga sebagai oleh-oleh untuk keluarga.

Sinergi Rantai Pasok Fashion Muslim

Jika mengacu pada rantai pasok bisnis fashion khususnya pakaian jadi, maka dimulai dari produsen kain yang dikenal dengan sebutan pabrik tekstil, yang memproduksi benang hingga menjadi bahan atau kain. Untuk wilayah Jabodetabek, supplier besar kain (bahan) berada di pasar Tanah Abang, pasar Cipadu, pasar Mayestik, dan pasar Baru/Baroe.

Berlanjut dengan produsen pakain jadi. Sesuai definisinya dikenal dengan sebutan pabrik garmen. Pabrik garmen di Indonesia selama ini lebih banyak memenuhi kebutuhan pasar global dengan berfokus pada ekspor. 

Dan yang terakhir produsen pakaian jadi skala kecil menengah, lebih dikenal dengan sebutan pabrik konveksi. Pelaku usaha konveksi masih didominasi Pulau Jawa, yang berpusat di daerah Tegal dan Tasikmalaya, dan menjadi kekuatan besar dari pasar pakaian jadi lokal.

Pengusaha Konveksi dan Surga Fashion Muslim

Meskipun mayoritas pengusaha konveksi Indonesia masuk kategori mikro dan kecil, namun jumlah pelaku bisnis yang banyak. Misalnya di wilayah Cipadu, meski berada di gang-gang sempit, namun mereka mampu menerima order potong dan jahit hingga ribuan helai pakaian setiap minggunya, dengan biaya yang murah.

Pedagang baju yang ingin memiliki merk/brand dengan nama sendiri bisa membeli bahan/kain sebelumnya, dan memberikan kepada pabrik konveksi rumahan untuk proses potong dan jahit. Sehingga menjadi surga bagi pedagang pakaian jadi tanah air, karena mampu memunculkan banyak sekali model, corak, dan motif.

Seperti yang dijual di pasar Tanah Abang dan pasar Cipulir, mampu menjual model-model pakaian yang secara kontinu berganti. Untuk momen Ramadhan misalnya, para pedagang baju daerah biasanya akan membeli barang dagangan 3-4 bulan sebelum hari Raya Idul Fitri, untuk dijual kembali ke daerah-daerah di seluruh Indonesia, seperti Sulawesi, Kalimantan dan Maluku.

Dampak Ekspor dan Impor Industri Fashion

Melihat begitu besarnya potensi pasar fashion muslim tanah air, tidak berlebihan jika harapan dari Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan agar Indonesia dapat menguasai pasar global melalui salah satunya pada sektor fashion muslim, mengingat Indonesia memiliki keragaman budaya, kearifan lokal, serta sumber daya manusia (SDM) yang mampu menginspirasi dunia. Dan Bapak Zulkifli Hasan juga berharap Indonesia menjadi pusat fashion muslim dunia di tahun 2024, (Sasongko, 2022)

Sayangnya nilai ekspor Indonesia untuk fashion muslim hingga tahun 2022 Indonesia hanya menempati urutan ke-13 eksportir pakaian muslim dengan pasar sekitar 1,86%, berada di bawah RRT, Bangladesh, dan Vietnam. Total nilai ekspor fashion muslim di tahun 2022 sebesar Rp43 triliun.

Dan kondisi pemulihan ekonomi dampak dari pandemi covid-19 yang belum usai dan konflik Rusia-NATO yang semakin memanas, memberi dampak buruk pada industri tekstil dan garmen tanah air, di mana penurunan signifikan ekspor kain dan pakaian jadi.

Terbukti, di kuartal I-2023 kondisi industri tekstil belum membaik, setelah sepanjang tahun 2022 lebih dari 80.000 karyawan/buruh tekstil kena dampak PHK, dan secara total ekspor pada Januari 2023 bila dibandingkan tahun 2022, masih -4% atau turun 4%, (Rizky, 2023).

BACA JUGA: Hardiknas 2 Mei, Memaknai Edukasi Inklusif Bagi Semua Orang di Era Digital

Ketika perusahaan tekstil dan garmen tersebut mencoba meningkatkan potensi pasar domestik, semakin tidak berdaya dengan maraknya impor ilegal produk tekstil, garmen, terutama produk baju bekas. Mengingat industri fashion akan kuat kaitannya dengan ketersediaan bahan baku pakaian yang berasal dari proses produksi perusahaan tekstil.

Oleh karena itu, harapannya pelarangan dan penindakan impor baju bekas yang ada saat ini harus terus dilakukan kepada semua yang berkaitan dengan pakaian dari hulu-hilir. Khususnya impor illegal kain/bahan baku pakaian jadi, karena membuat persaingan harga tidak sehat dan akan mengganggu bisnis Indonesia khususnya skala UMKM.

Penulis: Trismayarni Elen -- Pemerhati Bisnis dan Keuangan // Praktisi Akuntan // Dosen Ekonomi Akuntansi Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)

Trismayarni Elen