Sejak triwulan II 2016 hingga triwulan IV 2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu berada di atas 5 persen. Angka kemiskinan juga terus menurun setiap tahunnya, bahkan mencapai satu digit pada semester 1 2018 (9,82 persen). Namun, pada triwulan pertama 2020, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 2,97 persen dibandingan tahun sebelumnya. Angka kemiskinan pada semester pertama juga diperkirakan meningkat akibat dampak penyebaran virus Covid-19.
Angka terinfeksi positif virus Covid-19 di Indonesia tampaknya masih tinggi dan konsisten. Belum menunjukkan tanda-tanda adanya penurunan signifikan. Ekonomi Indonesia diperkirakan akan semakin memburuk selama belum ditemukannya vaksin virus Covid-19.
Pemerintah berusaha untuk mencegah terjadinya kemungkinan terburuk atas perekonomian Indonesia dengan rencana penerapan tatanan kehidupan New Normal (Normal Baru). Kebijakan new normal mengajak seluruh elemen masyarakat hidup dengan kebiasan-kebiasan yang baru seperti penggunaan masker, hand-sanitizer, social distancing, dan berbagai bentuk protokol kesehatan lainnya.
Kebijakan tersebut diharapkan dapat pelan-pelan memulihkan perekonomian Indonesia tanpa menyebabkan adanya peningkatan kasus positif Covid-19. Pemulihan ekonomi pasca Covid-19 diarahkan pada pembangunan rendah karbon.
Pembangunan rendah karbon telah diinisiasi oleh Bappenas pada Oktober 2017 dan diinternalisasi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Pembangunan rendah karbon merupakan proses identifikasi kebijakan pembangunan yang berfokus pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, dan pemenuhan pembangunan sektor lain yang secara bersamaan tetap berfokus pada kebijakan perubahan iklim berupa pelestarian dan peningkatan sumber daya alam.
Pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan menyebabkan sumber daya alam menjadi rusak dan terus berkurang. Kenikmatan sesaat karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi saat sekarang akan segera berakhir apabila tidak ada langkah nyata untuk memulai pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Besarnya biaya pemulihan akibat kerusakan lingkungan di masa depan mengakibatkan peningkatan biaya produksi. Di satu sisi, sumber daya alam sebagai modal produksi terus berkurang, sehingga di masa depan pertumbuhan ekonomi yang tetap konsisten menjadi sulit untuk dicapai.
Pasca krisis ekonomi 2008-2009, negara-negara di dunia mengarahkan pembangunan indutri secara masif tanpa memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Akibatnya, terjadi peningkatan emisi karbon sebesar 5,9 persen secara global. Kondisi tersebut menyebabkan beberapa masalah perubahan iklim seperti peningkatan suhu bumi, kenaikan permukaan air laut, dan lainnya.
Indonesia dengan jumlah populasi terbesar ke-4 di dunia juga menjadi salah satu pelaku peningkatan emisi karbon di dunia. Tahun 2015, Indonesia menjadi negara terbesar ke-4 penghasil emisi gas rumah kaca. Sumber utama peningkatan emisi gas rumah kaca di Indonesia adalah deforestasi, kebakaran hutan gambut, dan penggunaan energi bahan bakar fosil.
Pemerintah berupaya menurunkan emisi karbon sebesat 29–41 persen hingga 2030 sebagai komitmen mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Namun, di lain hal pemerintah bermaksud untuk meningkatan produksi minyak kelapa sawit dan produksi batubara.
Peningkatan produksi minyak kelapa sawit membutuhkan lahan baru yang lebih luas. Kebutuhan lahan baru tersebut diperoleh dengan pembukaan lahan hutan yang menyebabkan terjadinya deforestasi. Indonesia memiliki 10 persen hutan hujan tropis dunia yang mengandung banyak karbon.
Proses pembakaran hutan untuk membuka lahan perkebunan menyebabkan peningkatan emisi karbon sehingga berdampak terhadap memburuknya kondisi lingkungan hidup di Indonesia. Begitu juga dengan upaya pemerintah untuk menyalurkan listrik ke daerah-daerah terpencil melalui pembangunan pembangkit listrik bahan bakar batu bara yang menyebabkan peningkatan emisi karbon di Indonesia.
Pembangunan rendah karbon menjadi urgensi dalam tujuan pembangunan tatanan kehidupan new normal di Indonesia. Indonesia dapat memanfaatkan momentum dampak Covid-19 sebagai permulaan dalam membangun kehidupan yang ramah lingkungan.
Dalam tatanan kehidupan new normal penduduk belajar untuk lebih mementingkan kesehatan di dalam bekerja. Kehidupan yang mengutamakan kebersihan, penggunaan energi terbarukan dan pembangunan infrastruktur berkelanjutan ramah lingkungan merupakan tujuan yang ingin dicapai bersamaan dengan pemulihan ekonomi.
Kota-kota besar di Indonesia seperti Bandung dan Jakarta memiliki tingkat polusi yang tinggi dibandingkan kota-kota lain di Indonesia. Penyebabnya adalah jumlah kendaraan berbahan bakar fosil yang berlimpah.
Hutan-hutan di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Papua Barat mengalami penyusutan setiap tahunnya akibat pola pertanian yang tidak berkelanjutan. Cara-cara tersebut dapat meningkatkan deforestasi sehingga menyebabkan peningkatan emisi karbon.
Proses urbanisasi yang masif akibat ketimpangan pembangunan antara perdesaan dan perkotaan menyebabkan munculnya kemacetan dan urban sprawl. Berkurangnya keanekaragaman hayati laut dan sumber daya air akibat penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan juga menjadi urgensi untuk segera menerapkan pembangunan rendah karbon.
Di dalam mengimplementasikan pembangunan rendah karbon, pemerintah telah mengidentifikasi sumber pendanaan dalam mencapai target tersebut. Investasi yang dibutuhkan mencapai 446,5 miliar dolar Amerika (34,6 persen PDB) selama periode 2020-2024. Upaya-upaya lainnya berupa riset analisis komprehensif ketimpangan investasi yang dibutuhkan untuk mencapai pembangunan rendah karbon dan analisis dinamika spasial.
Jika rencana pemerintah untuk memulihkan perekonomian pasca Covid-19 melalui pembangunan rendah karbon berjalan dengan baik, maka misi pemerintah untuk mencapai Indonesia emas pada 2045 dapat tercapai.
Adanya pembangunan rendah karbon akan berdampak terhadap penurunan emisi gas karbon hingga 43 persen pada tahun 2030, tingkat kematian akibat polusi udara dapat berkurang hingga 40 ribu, penambahan lapangan pekerjaan sebanyak 15,3 juta dan pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 6 persen tiap tahunnya hingga 2045 serta mencegah kehilangan lahan hutan sebanyak 16 juta ha tahun 2045. Pembangunan rendah karbon menjadi fondasi dasar dalam kehidupan new normal.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Sebut WHO Rancang Pandemi Baru, Epidemiolog UI Tepis Ucapan Dharma Pongrekun: Itu Omong Kosong
-
Negara Kaya Wajib Bantu Negara Berkembang? Ini Tuntutan AHF di WHO Pandemic Agreement
-
Kartu Prakerja Catat Prestasi Signifikan Hingga Dapat Puja-puji Dunia
-
Dharma Pongrekun Sebut Penyebab Tanah Abang Sepi Akibat Pandemi Covid-19
-
Kawal Masyarakat Indonesia Selama Pandemi Covid-19, 10 Tahun Jokowi Catat Kemajuan Pesat Bidang Telemedicine
News
-
Harumkan Indonesia! The Saint Angela Choir Bandung Juara Dunia World Choral Championship 2024
-
Usaha Pandam Adiwastra Janaloka Menjaga, Mengenalkan Batik Nitik Yogyakarta
-
Kampanyekan Gapapa Pakai Bekas, Bersaling Silang Ramaikan Pasar Wiguna
-
Sri Mulyani Naikkan PPN Menjadi 12%, Pengusaha Kritisi Kebijakan
-
Tingkatkan Kompetensi, Polda Jambi Gelar Pelatihan Pelayanan Prima
Terkini
-
Ulasan Novel Dari Arjuna untuk Bunda, Kisah Luka Seorang Anak
-
Erick Thohir Evaluasi Kinerja STY, Singgung Pemain Naturalisasi di Timnas
-
Regenerasi Terhambat: Dinasti Politik di Balik Layar Demokrasi
-
Ulasan Buku Al Ghazali karya Shohibul:Jejak Spiritual Sang Hujjatul Islam
-
G-Dragon Ekspresikan Ikatan Kuat dengan Fans di Lagu Baru 'Home Sweet Home'