Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | ferdinand david aritonang
Ilustrasi petani (Kabarmedan)

Sektor terbesar dalam PDB Indonesia pada triwulan 1 2021 adalah industri pengolahan. Sektor industri pengolahan memiliki porsi 19,84 persen terhadap total PDB Indonesia. Porsi ini lebih besar dibandingkan sektor pertanian yang mencapai 13,17 persen.

Semakin menurunnya peran sektor pertanian salah satunya disebabkan banyaknya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Pembangunan infrastruktur, perumahan, dan kawasan industri menjadikan luas lahan pertanian semakin kecil. Lahan pertanian yang terus berkurang menimbulkan kekhawatiran terhadap ketersediaan bahan pangan di masa depan.

Proyeksi penduduk Indonesia tahun 2045 mencapai 319 juta jiwa. Apabila tidak dilakukan strategi peningkatan ketahanan pangan di Indonesia, maka di masa depan Indonesia akan menghadapi masalah kelaparan yang luar biasa.

Selama tiga tahun terakhir, produktivitas padi yang dihasilkan di Indonesia berada di sekitar 51-52 ku GKG/hektare. Pemerintah telah berupaya mengatasi permasalahan ketersediaan pangan dengan membentuk kawasan food estate di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara.

Upaya ekstensifikasi lahan pertanian tersebut akan menjadi sia-sia apabila tidak diikuti dengan peningkatan kualitas padi yang dihasilkan. Upaya intensifikasi melalui peningkatan produktivitas lahan menjadi salah satu cara dalam meningkatkan kualitas padi yang dihasilkan.

Badan Pusat Statistik (BPS) melalui survei ubinan melakukan pengukuran produktivitas tanaman pangan seperti padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, kacang tanah dan ubi jalar setiap memasuki masa panen. Survei ubinan menggunakan alat berukuran 2,5 m x 2,5 m dalam menghitung produktivitas hasil panen yang dihasilkan.  Produktivitas padi adalah produksi padi (padi sawah dan padi ladang) yang dihitung per satuan luas lahan. Produktivitas padi dihitung berdasarkan jumlah produksi padi dalam bentuk Gabah Kering Giling (GKG) per satuan luas lahan, yaitu kuintal per hektar.

Permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar petani Indonesia dalam upaya peningkatan produktivitas pertanian antara lain serangan hama dan penggunaan pupuk. Sebanyak 86,02 persen rumah tangga padi sawah di Indonesia mengendalikan serangan hama dengan cara kimiawi, sedangkan sisanya dengan cara mekanis, hayati, dan agronomis.

Dampak dari pengendalian hama secara kimiawi menyebabkan hama akan menjadi kebal (resisten). Selain itu, dalam jangka panjang dapat mencemari lahan pertanian. Para petani banyak menggunakan cara kimiawi dalam pengendalian hama karena praktis dan dapat mengendalikan hama dengan cepat.

Pemerintah perlu melakukan intervensi untuk meminimalisir penggunaan pembasmi hama secara kimiawi. Selain upaya peningkatan produktivitas, hal lain yang juga menjadi pokok permasalahan adalah menciptakan pertanian yang berkelanjutan atau pertanian yang ramah lingkungan.

Berdasarkan data BPS, tahun 2020 petani yang menggunakan cara hayati (pemangsa alami yang sesuai) hanya sebesar 1,03 persen. Jika dibandingkan dengan petani yang menggunakan cara kimiawi, angka tersebut sangat kecil. Padahal, di beberapa negara maju, pemerintahannya telah membatasi penggunaan bahan kimia dan cenderung untuk menggunakan cara hayati dalam membasmi hama.

Peningkatan Produksi

Tahun 2020, rumah tangga pertanian khususnya tanaman padi telah berupaya untuk meningkatkan hasil produksinya. Namun hanya 28,88 persen yang mendapatkan bantuan dari pemerintah, sisanya sebanyak 71,12 persen melakukan peningkatan produksi dengan non bantuan pemerintah.

Pemerintah tampaknya belum optimal dalam upaya meningkatkan hasil produksi para petani di Indonesia. Hal lain yang juga menjadi polemik bagi para petani adalah bibit padi yang digunakan. Dalam Analisis Produktivitas Padi di Indonesia 2020 yang dilakukan oleh BPS, diketahui bahwa terdapat 85,73 persen rumah tangga padi sawah dan 86,55 persen rumah tangga padi ladang yang tidak menerima bantuan benih.

Selain benih, kecenderungan petani padi di Indonesia juga tidak menerapkan sistem jajar legowo dalam menanam padi. Berdasarkan hasil penelitian dan beberapa riset disebutkan bahwa sistem menanam menggunakan metode jajar legowo 2:1 atau 4:1 mampu meningkatkan hasil produksi padi dibandingkan metode yang tidak menggunakan sistem jajar leogowo.

Faktanya, pada tahun 2020 di Indonesia hanya 20,16 persen rumah tangga padi yang menggunakan sistem tanam jajar legowo. Beberapa kelemahan yang kerap menjadi alasan para petani enggan untuk menerapkan sistem tanam jajar legowo adalah waktu yang dibutuhkan menjadi lama dan biaya yang dikeluarkan juga lebih besar daripada menanam seperti biasa.

Petani padi juga paling banyak menggunakan pupuk urea dibandingkan pupuk lainnya. Besaran pupuk yang digunakan mencapai 246,62 kg per hekatare untuk padi sawah dan 173,32 kg per hektare untuk padi ladang. Sama halnya dengan upaya pengendalian hama yang menggunakan cara kimiawi, penggunaan pupuk sebagai upaya meningkatkan kesuburan tanah juga dilakukan secara kimiawi. Upaya-upaya secara organik masih jarang ditemui, tercermin dari penggunaan pupuk kompos yang hanya sebanyak 45,54 kg per hektare. 

Pemerintah sebagai regulator perlu peka terhadap beberapa permasalahan yang dihadapi oleh para petani. Upaya sosialisasi dan pelatihan yang dapat meningkatkan keterampilan dan pengetahuan petani menjadi salah satu mimpi yang harus diwujudkan di masa depan. Peningkatan produktivitas tidak hanya tentang objek pertanian, yaitu benih, lahan, pupuk dan lain sebagainya, melainkan juga subjek (pelaku) usaha pertanian tersebut, yaitu petani. Indonesia harus mencetak petani-petani handal yang mampu meningkatkan hasil produktivitas dan menerapkan sistem pertanian berkelanjutan untuk menuju ketahanan pangan Indonesia.

ferdinand david aritonang