Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | dewi kumaratih
Ilustrasi pajak. (Shutterstock)

Covid-19 tengah melanda hampir seluruh dunia termasuk Indonesia. Semua negara di seluruh dunia dibuat panik dengan adanya virus ini. Virus ini menyebabkan banyak perubahan dan kerugian di negara-negara seluruh dunia salah satunya kerugian ekonomi.

Khususnya di Indonesia, bukannya berangsur membaik melainkan terdapat peningkatan terhadap kasus yang terjadi di Indonesia. Dikutip dari kompas.com (10/06/20) kasus yang terkonfirmasi mencapai 34.316, dengan rincian 20.228 pasien dirawat, 1.959 meninggal dan 12.129 pasien dinyatakan sembuh. Tidak hanya itu bahkan telah dikonfirmasi jika Indonesia telah memecah rekor lagi yaitu dengan bertambahnya kasus yang terkonfirmasi dalam satu hari mencapai 1.241.

Tidak main-main dampak yang ditimbulkan virus ini membuat pemerintah kebingungan . bagaimana tidak, virus ini menimbulkan kerugian hamper di berbagai sector diantaranya, kesehatan, pariwisata, perekonomian, dan sector lainnya.

Akibatnya, pemerintah terpaksa harus membuat berbagai kebijakan untuk memutus rantai penyebaran virus corona. Beberapa kebijakan yang telah diterapkan yaitu diantaranya adalah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), physical distancing, penggunaan masker, penerapan hidup bersih, dan lain sebagainya.

Dari kebijakan yang telah diterapkan tentunya ada efek samping yang ditimbulkan, khusunya di sektor perekonomian. Dikutip dari Kompas.com (15/04/20) Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan bahwa perekonomian Indonesia kemungkinan akan mencapai titik terparah pada kuartal 2 atau kuartal ketiga. Di mana pada saat itu ekonomi Indonesia akan mentapai titik nol atau bahkan negatif.

Maka dari itu pemerintah sedang giat untuk melakukan antisipasi defisit negara yaitu salah satunya adalah dengan memnfaatkan pajak digital.

Sehubungan dengan diterapkannya kebijakan pemerintah untuk tidak melakukan aktifitas diluar rumah yang tidak begitu penting, penggunaan teknologi pun juga meningkat. Banyak masyarakat yang memanfaatkan teknologi untuk perdagangan dan transaksi online karena dinilai praktis.

Dikutip dari  CNBC Indonesia (06/06/20) pengamat pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Bawono Kristiaji menilai penerapan pajak digital bisa menjadi urgensi untuk menutup defisit perekonomian negara seiiring dengan meningkatnya pengguna dan penyedia layanan digital yang beroperasi di Indonesia. selain itu pemungutan pajak digital bisa digunakan untuk menutup defisit APBN negara.

Pemerintah sendiri sebenarnya telah meresmikan pemungutan pajak digitas sejak 1 Juli 2020 dengan Perpu No.1 Tahun 2020. Dikutip dari pajjaku.com, jumlah pajak yang dikenakan adalah sebesar 10% dari nilai yang dibayarkan oleh pembeli atau penerima barang dan/atau jasa.

Bahkan Direktur Eksekutif Institute for Development and Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad memberian dukungan atas kebijakan pemerintah tersebut. Pihaknya menilai bahwa penarikan pajak 10% sudah cukup moderat dan proporsional.

Meskipun Peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini dinilai dapat menjadi stimulus adanya defisit perekonomian Indonesia, banyak elemen masyarakat yang merasa diberatkan dengan adanya pajak digital ini.

Karena sebelumnya mereka tidak memikirkan mengenai pajak yang harus dibayarkan ketika mereka melakukan transaksi digital tetapi sekarang mereka harus mempertimbangkannya dahulu sebelum melakukan transaksi digital.

Oleh karena itu pemeritah hendaknya menguji lebih mendalam menganai peraturan pajak digital agar tidak ada pihak yang diberatkan dan masyarakat bisa melakukan transaksi digital secara nyaman.

Tauhid Ahmad, memberikan solusi agar sebaiknya pajak digital tidak hanya dilimpahkan kepada pembeli saja, melainkan perusahaan yang terkait dapat ikut dibebankan oleh pajak yang diberlakukan, seperti dikutip dari pajakku.com.

dewi kumaratih

Baca Juga