Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | devaki areta putrie
Ilustrasi pendidikan (Shutterstock/Cherries)

Sistem zonasi ibarat dua sisi mata uang. Di atas kertas, konsep sistem zonasi untuk penerimaan peserta didik baru (PPDB) terlihat menjanjikan. Namun demikian pada praktiknya di Indonesia, sistem zonasi malah menuai banyak protes dari masyarakat. Dari sini, muncul sebuah pertanyaan dasar dalam penerapan sistem ini: Apakah zonasi merupakan sebuah solusi ataukah bentuk masalah baru untuk dunia pendidikan di Indonesia? Mari kita bahas lebih lanjut.

Polemik Zonasi

PPDB sistem zonasi mulai dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2017. Sistem ini dirancang untuk mengentaskan kesenjangan yang terjadi di dunia pendidikan. Hal utama yang melatarbelakangi munculnya sistem zonasi adalah adanya dikotomi sekolah unggulan dan non-unggulan yang dapat memperlebar jurang kesenjangan di sektor pendidikan Indonesia. Sekolah unggulan biasanya berisi murid-murid dengan kemampuan akademik bagus dan/atau berasal dari keluarga yang lebih sejahtera, kebalikan sekolah non-unggulan. Padahal pada dasarnya, sekolah negeri menyediakan pelayanan publik yang seharusnya dapat diakses oleh masyarakat dari berbagai kalangan tanpa adanya eksklusivitas dan diskriminasi.

Konsep jarak tempat tinggal dengan sekolah yang sudah diterapkan sejak sistem PPDB rayonisasi kemudian berkembang menjadi sistem PPDB zonasi. Kedekatan rumah dengan sekolah dipandang akan menciptakan sebuah ekosistem pendidikan yang lebih baik. Murid tidak perlu menempuh perjalanan yang panjang, sehingga sampai di sekolah dengan pikiran yang masih fresh. Selain itu, komunikasi guru dan orang tua pun diharapkan jadi lebih efektif dan efisien.

Harapan utama dengan adanya sistem zonasi ialah percepatan pemerataan di sektor pendidikan. Dengan adanya sistem ini, karakter murid yang diterima di setiap sekolah akan lebih heterogen. Selain itu, akan ada murid dari jalur prestasi dan afirmasi. Dengan asumsi lingkungan pendidikan yang lebih baik, diharapkan murid dari berbagai latar belakang ini akan menerima pendidikan yang setara dan dapat menumbuhkan rasa kebhinekaan di lingkup sekolah.

Sistem zonasi yang awalnya terkesan mujarab dalam mengenyahkan permasalahan pendidikan di Indonesia ternyata masih mengalami banyak kendala pada praktiknya di lapangan. Masalah utama yang menonjol ialah tidak seimbangnya jumlah antara sekolah negeri dan calon peserta didik. Hal ini menimbulkan banyak murid yang terlempar dari sekolah tujuannya, bahkan ketika jarak rumahnya tidak tergolong jauh. Calon peserta didik yang terlempar akhirnya akan mendaftar ke sekolah swasta yang bisa jadi jaraknya pun jauh dari rumah. Ini justru berlawanan dengan tujuan awal dirancangnya sistem zonasi dengan prinsip kedekatan tadi. Dalam beberapa kasus ekstrem, malah ada perpindahan rumah secara tiba-tiba dari calon peserta didik ke lokasi dekat sekolah tujuan. Sebagian lagi ada yang menitipkan nama calon peserta didik ke KK saudaranya.  Hal ini mencerminkan sistem zonasi masih bisa dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu.

Masalah lain dari sistem zonasi antara lain yaitu timpangnya jumlah pendaftar di sekolah yang berada di daerah padat pemukiman dan sekolah yang sepi pemukiman. Sekolah yang sepi peminat akhirnya hanya menerima lebih sedikit peserta didik. Hal ini akan berimbas pada berkurangnya jam mengajar guru sehingga tidak bisa ikut sertifikasi. Lebih lanjut, sistem zonasi dapat memicu turunnya semangat belajar peserta didik, terutama yang rumahnya dekat dengan sekolah tujuan. Bisa jadi para peserta didik akan berpikir bahwa belajar tak belajar pun sama saja; toh akan tetap masuk ke sekolah tersebut karena rumahnya dekat.

Pemerataan Pendidikan di Indonesia

Jadi, apakah sistem zonasi ini buruk? Jawabannya adalah tidak. Sistem zonasi tidak buruk, hanya saja belum siap diterapkan di Indonesia. Walaupun pemerintah, khususnya Kemendikbud, telah bekerja keras mempersiapkan PPDB jalur zonasi, nyatanya sistem ini belum optimal. Sistem zonasi akan sangat mustajab apabila jumlah sekolah dapat menampung semua calon peserta didik. Dari perspektif yang lebih luas, akan lebih baik lagi apabila pembangunan sekolah dilaksanakan ke seluruh pelosok negeri agar pemerataan di sektor pendidikan segera terwujud.

Bicara tentang pemerataan pendidikan, kita dapat melihat potretnya dari Angka Partisipasi Sekolah (APS) dan Angka Partisipasi Murni (APM). Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa nilai APS terendah berada pada kelompok usia sekolah 16-18 tahun, yakni 72,36. Artinya, masih ada sekitar 27,64 persen anak usia 16-18 tahun yang tidak/sudah tidak mengenyam pendidikan.

Data lain menunjukkan bahwa nilai APM yang masih berada di bawah angka 80 persen adalah milik kelompok SMP dan SMA sederajat, masing-masing 79,40 dan 60,84. Artinya, masih ada sekitar 20,60 persen penduduk usia SMP dan 39,16 penduduk usia SMA yang belum dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan sesuai dengan jenjang pendidikannya.

Pemerataan pendidikan akan tercapai ketika nilai APM dan APS semakin mendekati 100. Memang hal itu akan membutuhkan proses yang panjang, karena memberantas kesenjangan di dunia pendidikan bukan sesuatu yang instan. 

Selain terus menyempurnakan sistem zonasi, sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan fokusnya pada pemerataan fasilitas pendidikan di setiap sekolah agar tidak ada dikotomi sekolah favorit dan non-favorit. Sistem akreditasi sekolah pun harus dititik beratkan pada kelayakan dan kinerja nyata sebuah sekolah, bukan hanya pemenuhan dokumen-dokumen administrasi. Selain itu, peningkatan kompetensi tenaga pendidik merupakan suatu keharusan. Dengan murid yang karakteristiknya beragam, seorang guru juga harus memiliki cara-cara kreatif dalam mengajar.

Kesuksesan sistem zonasi masih memerlukan penyempurnaan dan kolaborasi yang baik dari pihak pemerintah dan pemangku kepentingan pendidikan agar manfaatnya dapat dirasakan nyata oleh masyarakat.

(Ditulis oleh Devaki Areta Putrie, Statistisi Ahli Pertama BPS)

devaki areta putrie