Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Devaki Areta Putrie
Ilustrasi wanita sedih (freepik)

Selama masa pandemi ini, PBB melaporkan peningkatan kejadian kekerasan domestik terhadap perempuan. Peningkatan kasus tersebut bahkan mencapai 30 persen di beberapa negara. Sungguh miris jika mengingat hal ini mengindikasikan sebuah kemunduran dari pencapaian target 5.2 dari SDGs yakni menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan pada semua level.

Berbicara mengenai kekerasan terhadap perempuan tak akan jauh dari istilah Intimate Partner Violence atau IPV. Walaupun sering disamakan dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), sebenarnya kedua istilah ini cukup berbeda. Dalam KDRT, cakupan korban kekerasan yang dimaksud lebih luas; termasuk anak, orang tua, maupun anggota keluarga lain dalam rumah tangga. Sementara korban dalam IPV adalah pasangan intim, baik dalam hubungan pernikahan ataupun tidak.

Memahami Intimate Partner Violence

Perilaku yang termasuk IPV tidak terbatas pada kekerasan fisik saja. Namun demikian, sebagian masyarakat hanya dapat menerima tipe ini karena bentuk kekerasan lainnya sering kali dianggap tidak terlalu relevan oleh norma yang ada. Setidaknya ada tiga tipe selain kekerasan fisik yang mencerminkan IPV.

Pertama adalah kekerasan seksual, yang salah satu bentuknya berupa pemaksaan hubungan intim atau hal seksual lain oleh salah satu pasangan. Hal ini sering kali dimaklumi dalam masyarakat ketika tidak ada kekerasan fisik yang terlibat, apalagi jika korban dan pelaku IPV sudah terikat dalam pernikahan.

Kedua adalah kekerasan psikologis, antara lain termasuk aksi menghina dan meremehkan secara terus-menerus, mengancam, ataupun intimidasi yang dilakukan dengan membanting barang-barang ketika marah terhadap pasangan. Selain kedua kekerasan tersebut, perilaku terlalu mengontrol juga bentuk lain dari IPV. Perilaku seperti ini biasanya dilakukan dengan mengisolasi pasangan dari teman dan keluarga. Umumnya hal ini tercermin dari sikap melarang pasangan untuk mendapat akses pada pendidikan, pekerjaan, sumber keuangan, ataupun perawatan medis.

Jenis-jenis kekerasan tersebut sering kali tidak berdiri sendiri. Seseorang dapat menjadi korban berbagai bentuk kekerasan secara bersamaan oleh pasangannya. Walaupun wanita maupun pria sama-sama berisiko menjadi korban IPV, kasus kekerasan terhadap wanita cenderung lebih umum. Bahkan kekerasan yang dilakukan wanita sering kali merupakan bentuk pembelaan diri dari pasangan prianya.

Di Indonesia, Komnas Perempuan mencatat bahwa kasus kekerasan teradap perempuan yang dilaporkan di Catatan Tahunan 2020 meningkat dari tahun sebelumnya. Berdasarkan data yang terkumpul, sekitar 75,4 persen kasus tersebut terjadi di ranah personal—alias dilakukan oleh orang terdekat. Ada sebanyak 6.555 kasus kekerasan yang dilakukan terhadap istri dalam laporan tersebut. Sementara itu bentuk kekerasan terhadap wanita yang paling menonjol adalah kekerasan fisik dengan proporsi sebesar 43 persen, disusul oleh kekerasan seksual dan kekerasan psikologis, masing-masing sebesar 25 dan 19 persen.

Mungkin sebagian orang akan bertanya-tanya, mengapa seorang wanita tidak langsung meninggalkan pasangannya ketika ia menjadi korban IPV? Sesungguhnya dari sudut pandang korban, itu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Dalam penelitiannya yang bertajuk “Mengakhiri Kekerasan Terhadap Wanita”, Heise dan Ellsberg menunjukkan bahwa kebanyakan perempuan yang mengalami IPV bukanlah korban yang pasif.

Mereka justru secara aktif berusaha untuk memaksimalkan keselamatan diri dan anaknya dengan bertahan ataupun menuruti tuntutan pasangannya yang kemudian oleh beberapa pihak ditafsirkan sebagai kurangnya respon terhadap IPV.

Alasan-alasan yang diduga menghalangi wanita korban IPV untuk meninggalkan pasangannya antara lain yaitu ingin mengutamakan keamanan anak, tidak mandiri secara ekonomi, kurangnya dukungan dari keluarga, atau bahkan perasaan cinta dan harapan bahwa suatu saat pasangannya akan berubah.

Faktor yang Dikaitkan dengan IPV

Faktor yang menyebabkan IPV bervariasi dari level individu hingga level masyarakat. Salah satu faktor individu yang diduga berpengaruh ialah rendahnya pendidikan. Lebih jauh lagi, kemungkinan terjadinya IPV dapat meningkat ketika seseorang menikah di usia yang terlalu muda.

Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2019, proporsi perempuan umur 20 – 24 tahun yang berstatus kawin atau hidup bersama sebelum usia 15 tahun mengalami peningkatan selama 3 tahun terakhir.

Sementara itu, perempuan di rentang usia tersebut yang menikah sebelum usia 18 tahun ada sebanyak 10,82 persen. Saat wanita menikah di usia muda, biasanya ia tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Dalam beberapa kasus, mereka malah tidak bisa bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Di beberapa daerah, sudah biasa jika perempuan diharuskan melakukan pekerjaan rumah tangga saja tanpa bisa berkarir.

Dari sisi pelaku IPV, pendidikan yang rendah juga meningkatkan risiko untuk melakukan IPV terhadap pasangan. Selain itu pelaku bisa jadi pernah menyaksikan kekerasan dalam pernikahan orang tuanya, mengalami kekerasan ketika masih kecil, ataupun mengonsumsi alkohol/narkoba.

Beberapa pria memiliki pemahaman yang salah bahwa kekerasan yang dilakukan kepada istri maupun anak adalah hal wajar ketika hal itu dilakukan sebagai bentuk pendisiplinan. Ironisnya, beberapa wanita pun juga memaklumi kekerasan yang ia alami karena pemahaman ini.

Pemakluman pada kekerasan terhadap wanita ini pun sering kali bertahan di level masyarakat yang lebih luas. Budaya patriarki yang menempatkan pria di posisi dominan serta pandangan bahwa wanita memiliki status ekonomi dan sosial yang lebih rendah juga dapat menjadi faktor yang meningkatkan risiko terjadinya IPV. Hal-hal tersebut sebenarnya mengindikasikan belum tercapainya kesetaraan gender.

Salah satu indikator untuk mengkaji kesetaraan gender ialah Indeks Pembangunan Gender atau IPG. Data BPS menunjukkan  IPG Indonesia pada tahun 2019 berada pada angka 91,7.

Artinya pria memiliki akses pembangunan yang lebih baik dalam memperoleh kesehatan, pendidikan, dan pendapatan dibandingkan dengan wanita. Angka ini mengalami kemajuan dari periode sebelumnya walaupun kesetaraan gender di Indonesia tetap belum teraih.

Pemberdayaan Wanita sebagai Langkah Awal

Beberapa penelitian telah menyarankan pemberdayaan wanita sebagai langkah awal untuk menurunkan kasus IPV. Penelitian Shculer dkk. menyebutkan bahwa pengembangan peran ekonomi wanita dan kesadaran akan hak-haknya akan mengurangi risiko terjadinya IPV.

Seorang wanita dengan sumber penghasilan sendiri cenderung memiliki lebih banyak pilihan. Ketika memiliki distribusi yang cukup besar pada ekonomi keluarga, seorang wanita bisa jadi akan ikut berperan dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangganya.

Apabila mengalami IPV yang sudah di luar kendali, wanita tersebut cenderung lebih mudah meninggalkan pasangannya daripada yang tidak mandiri secara ekonomi. Sumbangan pendapatan perempuan di Indonesia sudah mengalami peningkatan setiap tahun sejak 2010. Walau demikian, data menunjukkan bahwa sumbangan pendapatan perempuan masih berkisar 36,70 persen (BPS, 2018).

Di samping berdaya dari sisi ekonomi, wanita juga perlu meningkatkan kesadaran akan hak-haknya. Setiap wanita harus memahami bahwa segala bentuk kekerasan baik itu jenis fisik, seksual, maupun psikologi yang dilakukan oleh pasangannya bukanlah hal yang patut dimaklumi.

Sungguh miris apabila wanita yang berhak akan rasa aman justru merasa takut dan cemas terhadap pasangannya sendiri. Peran seorang pria dan wanita dalam rumah tangga harusnya selaras dan saling melengkapi, bukannya didominasi oleh salah satu pihak apalagi sampai melibatkan tindak kekerasan.

Hal lain yang perlu disadari oleh setiap wanita adalah mereka berhak mendapatkan akses atas pendidikan, finansial, pekerjaan, ataupun kesehatan yang setara dengan pria. Pendidikan dan pekerjaan yang baik cenderung meningkatkan self esteem seorang wanita.

Wanita pun berhak untuk mendapatkan akses pendidikan, finansial, pekerjaan, ataupun kesehatan yang setara dengan pria. Kesadaran seperti ini akan mempermudah langkah awal dalam memerangi IPV.

Devaki Areta Putrie