Rabu (5/8/2020) Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2020 terhadap triwulan II-2019 yang sedang mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 5,32 persen (y-on-y). Hampir semua lapangan usaha terjadi kontraksi pertumbuhan.
Sebagai contoh misalnya dari sisi produksi, Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan mengalami kontraksi pertumbuhan tertinggi (30,84 persen). Sementara itu dari sisi pengeluaran, Komponen Ekspor Barang dan Jasa serta Impor Barang dan Jasa mengalami kontraksi pertumbuhan masing-masing 11,66 persen dan 16,96 persen.
Meskipun demikian masih terdapat beberapa lapangan usaha yang ternyata mengalami pertumbuhan positif, diantaranya adalah Informasi dan Komunikasi (10,88 persen); Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang (4,56 persen); Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial (3,71 persen); Real Estate (0,07 persen); serta Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (2,19 persen).
Pertumbuhan positif yang terjadi di beberapa sektor lapangan usaha seharusnya bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menyangga perekonomian yang kian terpuruk. Terlebih lagi dalam menghadapi lonjakan angka pengangguran di masa mendatang. Erat kaitannya angka pengangguran dengan pertumbuhan ekonomi, belum lagi disusul dengan adanya rentetan kasus PHK yang marak terjadi imbas pandemi Covid-19 ini.
Menurut Kementerian Ketenagakerjaan, perkiraan jumlah penganggur di Indonesia mencapai 5,23 juta orang akibat dampak Covid-19. Sementara itu pada Februari 2020 lalu (sebelum Covid-19 memporak-porandakan perekonomian Indonesia), BPS mencatat ada sekitar 6,68 juta orang yang menganggur. Artinya sampai sejauh ini diperkirakan ada 10 juta lebih orang yang menganggur. Bahkan bisa saja lebih.
Apabila hal ini tidak disiasati sedemikian rupa jumlah pengangguran yang terus menumpuk akan menjadi boomerang tersendiri bagi negeri ini. Sehingga akan menghambat proses pemulihan perekonomian bagi Indonesia.
Meskipun saat triwulan III-2020 nanti perekonomian Indonesia diprediksi akan pulih seiring roda perekonomian yang terpaksa dijalankan, namun pemulihan tidaklah akan mudah seperti membalikkan telapak tangan. Hal ini lantaran adanya protokol kesehatan dan jaga jarak yang pastinya akan berdampak terhadap budaya kerja seperti biasa. Analaoginya, karena ada anjuran jaga jarak dan penerapan protokol kesehatan maka daya tampung tenaga kerja dalam suatu perusahaan akan berkurang. Sehingga hasil produksi tidaklah sama seperti dalam keadaan normal.
Sektor Pertanian sebagai Sektor Penyangga Perekonomian
Upaya lain harus segera diambil oleh pemerintah untuk mengurangi dampak pandemi ini terhadap pengangguran. Belajar dari sejarah, sektor pertanian merupakan sektor yang paling kuat dan tahan terhadap goncangan walau dalam keadaan bagaimanapun.
Saat krisis moneter 1998, sektor ini merupakan sektor yang paling bisa diandalkan. Banyak tenaga kerja terserap melalui sektor ini memasuki abad ke 20. Kemudian pertumbuhan ekonominya pun cenderung stabil dari waktu ke waktu. Maka dari itu, sudah saatnya pemerintah mengembalikan petani menjadi profesi yang diminati kembali terutama bagi kawula muda yang kehilangan pekerjaan atau justru malah belum bekerja.
Perekonomian Indonesia di dominasi oleh konsumsi rumah tangga seperti bahan makanan jadi maupun makanan instan. Hulu dari makanan itu tidak lain dan tidak bukan adalah dari sektor pertanian. Sehingga keberlangsungan permintaan produksi produk-produk pertanian akan terjamin.
Sebagai tambahan informasi, hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015, penduduk Indonesia diprediksi mencapai 269,6 juta jiwa. Tentu saja kebutuhan perut rakyat Indonesia harus dipenuhi. Darimana lagi jikalau bukan dari sektor pertanian yang akan menopang kebutuhan perut-perut rakyat di republik ini. Selain itu, sektor pertanian merupakan sektor yang relatif lebih mudah dalam hal penerapan protokol kesehatan apabila dibandingkan sektor industri dan pariwisata.
Tantangan Sektor Pertanian
Akan tetapi petani-petani yang masih eksis saat ini justru didominasi oleh penduduk usia yang tergolong cukup tua. Hasil survei BPS pada Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018 mencatat bahwa 50 persen lebih petani Indonesia berusia 45-64 tahun. Bahkan 13 persen berusia di atas 65 tahun. Sedangkan sekitar 35 persennya dibawah 45 tahun. Hal ini mungkin saja akan berdampak pada sisi produksi dan produktivitas hasil pertanian.
Muncul dugaan bahwa sektor pertanian kurang diminati oleh kawula muda. Hal ini karena adanya anggapan bahwa sektor pertanian identik dengan pendapat yang kecil dan kemiskinan. Jika dilihat dari tren Nilai Tukar Petani (NTP) pun angkanya hanya berkisaran 99-104 poin saja. Atau dengan kata lain untungnya menjadi petani itu kecil bahkan bisa saja merugi.
Hal-hal yang perlu diupayakan pemerintah agar sektor ini kembali dilirik adalah dengan pengendalian harga melalui impor harus lebih cermat terutama pada saat musim panen. Seringkali harga jual hasil pertanian kerap kali terpukul lantaran waktu yang bersamaan antara kebijakan impor dan masa panen.
Kemudian jalur distribusi juga perlu di perhatikan pemerintah. Distribusi hasil pertanian sering tidak merata. Menumpuk di satu daerah, terjadi kelangkaan di daerah lain. Hal itu menyebabkan harga produk pertanian jatuh di daerah yang terdeteksi menjadi sentra pertanian. Sebaliknya daerah yang mengalami kelangkaan harganya melambung tinggi.
Selain itu upaya lain yang dapat di dukung oleh pemerintah adalah dengan cara modernisasi pertanian menuju pertanian 4.0. Infrastruktur pertanian seperti irigasi atau embung, alat-alat dan mesin pertanian yang modern perlu diadakan segera untuk memanfaatkan peluang revolusi industri yang sedang ramai diperbincangkan. Sehingga lambat laun akan ada ketertarikan dari kawula muda khusunya untuk menekuni sektor pertanian.
Sektor pertanian sudah sepatutnya menjadi prioritas utama ditengah pandemi yang tak kunjung usai. Terlebih lagi sektor ini mampu menyumbang sekitar 12 persen Produk Domestik Bruto (PDB) bagi tanah air atau peran terbesar ke tiga setelah sektor industri manufaktur dan perdagangan. Semoga sektor pertanian tidak hanya akan mampu menampung tenaga kerja dan pemulihan ekonomi nasional, melainkan mampu menciptakan kestabilan geopolitik nasional.*
*Penulis adalah staf Seksi Produksi BPS Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat
Artikel Terkait
-
Pertemuan Bersama Menko Airlangga, Sekjen OECD Percaya Keanggotaan Indonesia Mampu Dukung Visi Indonesia Emas 2045
-
Daftar Perusahaan Pupuk Palsu, Bikin Petani Rugi Hingga Rp3 Triliun
-
Cara Perusahaan BUMN Sulap Desa jadi Kawasan Industri Holtikultura Modern
-
Menertawai Standar Hidup Layak BPS Rp1 Juta Per Bulan, Driver Ojol: Buat Makan Aja Kurang!
-
Dorong Aktivitas Ekonomi, Pemerintah Kejar Pembangunan KEK dan PSN
News
-
Satukan Dedikasi, Selebrasi Hari Guru di SMA Negeri 1 Purwakarta
-
Dari Kelas Berbagi, Kampung Halaman Bangkitkan Remaja Negeri
-
Yoursay Talk Unlocking New Opportunity: Tips dan Trik Lolos Beasiswa di Luar Negeri!
-
See To Wear 2024 Guncang Industri Fashion Lokal, Suguhkan Pengalaman Berbeda
-
Harumkan Indonesia! The Saint Angela Choir Bandung Juara Dunia World Choral Championship 2024
Terkini
-
Menggali Xenoglosofilia: Apa yang Membuat Kita Tertarik pada Bahasa Asing?
-
Joko Anwar Umumkan Empat Film yang Akan Dirilis Sepanjang Tahun 2025-2026
-
Berakhir dengan Rating Tertinggi, Ini 4 Penjelasan Ending Drama Korea Family by Choice
-
Walau Sukses Tantang Max Verstappen, Lando Norris Ragu Bisa Juara Dunia
-
Menggali Makna Kehidupan dalam Buku Seni Tinggal di Bumi Karya Farah Qoonita