Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Muhammad Fauzan
Ilustrasi nepotisme futsal (Pexels/Md Jawadur Rahman)

Di berbagai lapangan futsal komunitas, kisah yang memilukan sering kali terdengar—pemain yang rajin mengikuti latihan, menguasai teknik dasar futsal dengan baik, serta memiliki kondisi fisik yang prima, tetap tidak diberi kesempatan tampil.

Hal ini terjadi karena mereka tidak termasuk dalam lingkaran pertemanan dekat dengan pengurus atau kapten tim. Akibatnya, penentuan susunan pemain dan posisi dalam tim lebih banyak dipengaruhi oleh kedekatan hubungan personal daripada berdasarkan kualitas permainan.

Saya pernah mengalami hal serupa. Di sebuah tim komunitas amatir, saya aktif hadir dalam latihan selama tiga bulan, bahkan turut membantu dalam hal administrasi dan pengadaan perlengkapan. Namun, setiap kali ada pertandingan uji coba, saya selalu ditempatkan di bangku cadangan.

Sementara itu, teman-teman yang memiliki hubungan sosial lebih dekat dengan pengurus tetap menjadi pemain utama, meskipun performa mereka sedang menurun. Ini merupakan cerminan dari dinamika politik internal dalam tim futsal.

Futsal komunitas di Indonesia memang mengalami perkembangan yang pesat. Kompetisi seperti Women Pro Futsal League Indonesia 2025 menunjukkan betapa meningkatnya antusiasme dan profesionalisme dalam dunia futsal saat ini.

Namun demikian, di tingkat komunitas amatir, masih banyak tim yang belum memiliki sistem organisasi yang sehat. Tidak sedikit di antaranya yang belum menerapkan mekanisme objektif dalam penentuan formasi maupun rotasi pemain.

Evaluasi sering kali hanya didasarkan pada “siapa yang disukai pengurus.” Sistem seperti ini mencerminkan gaya kepemimpinan yang eksklusif dan nepotistik—pola yang kerap kali juga ditemukan dalam dinamika politik di dunia nyata.

Seorang teman dari Bekasi pernah mengatakan, “Kalau kamu tidak sering nongkrong bersama mereka, kamu tidak akan pernah dimainkan.” Ungkapan itu menggambarkan adanya pola relasi patron-klien dalam skala kecil, di mana kedekatan sosial menjadi faktor utama dalam pemberian kesempatan bagi seseorang di dalam tim.

Dalam semangat meritokrasi, seharusnya olahraga menjadi ruang bagi individu untuk menunjukkan kemampuannya. Gagasan ini sejalan dengan teori sosiologi organisasi informal yang menyatakan bahwa harmonisasi sosial dalam kelompok sering kali menjadi hambatan bagi individu yang sebenarnya memiliki potensi, terutama ketika proses pengambilan keputusan dilakukan secara tertutup.

Ketika anak muda terbiasa berada dalam lingkungan komunitas yang kental dengan praktik nepotisme, hal itu akan melahirkan pola pikir permisif terhadap ketidakadilan—yang pada akhirnya tidak jauh berbeda dengan sistem birokrasi yang korup di tingkat yang lebih luas.

Dampak dari budaya semacam ini tidak bisa dianggap remeh. Pemain yang memiliki potensi dapat merasa tidak dihargai, kehilangan motivasi, dan akhirnya memutuskan untuk keluar dari tim.

Situasi ini membuat tim mengalami stagnasi karena regenerasi tidak berjalan secara sehat. Padahal, esensi futsal tidak hanya terletak pada skor akhir, melainkan juga dalam proses kolektif yang membangun semangat solidaritas, kerja sama, dan rasa memiliki antaranggota tim.

Sebagai perbandingan, tim profesional seperti tim nasional umumnya menetapkan berdasarkan evaluasi teknis dan pertimbangan strategi.

Sebaliknya, pada tim amatir, pendekatan objektif ini masih sangat jarang digunakan. Tidak ada transparansi dalam penentuan susunan pemain, tidak ada rotasi yang adil, bahkan diskusi terbuka pun minim dilakukan. Padahal, semestinya komunitas futsal bisa menjadi ruang pembelajaran nilai-nilai keadilan dan demokrasi sejak dari tingkat paling dasar.

Beberapa upaya pembenahan bisa dilakukan agar budaya politik internal dalam tim futsal komunitas tidak semakin mengakar. Salah satunya adalah penerapan sistem rotasi yang adil di setiap pertandingan.

Dengan demikian, setiap anggota tim memiliki peluang bermain yang setara tanpa harus bergantung pada kedekatan personal dengan pengurus atau kapten.

Selain itu, evaluasi berkala perlu dilakukan secara sistematis. Performa setiap pemain selama latihan, mulai dari aspek teknik, kerja sama tim, hingga kedisiplinan, perlu dicatat dan menjadi bahan diskusi dalam forum tim. Dengan proses yang terbuka seperti ini, keputusan strategis mengenai susunan pemain dapat diambil secara adil dan objektif.

Lebih lanjut, sistem percobaan atau trial bisa diterapkan dengan metode rotasi acak pada awal permainan. Kinerja pemain kemudian dievaluasi secara berkala, misalnya setiap 10 menit, berdasarkan kontribusi dalam bertahan, menciptakan peluang, dan menjaga tempo permainan. Pemain yang memberikan kontribusi positif patut diberi kesempatan bermain lebih banyak.

Penentuan posisi sebaiknya dilakukan berdasarkan hasil nyata di lapangan. Dengan sistem yang adil dan transparan, tim komunitas akan lebih sehat, kompetitif, dan bermakna secara sosial.

Dari perspektif yang lebih luas, budaya permainan yang tidak profesional ini mencerminkan bagaimana anak muda mulai terbiasa mempercayai sistem berbasis koneksi dibandingkan kemampuan. Ini menjadi hal yang mengkhawatirkan ketika nilai-nilai sosial yang tidak adil dibiarkan tumbuh sejak dini.

Futsal semestinya menjadi media untuk belajar tentang sportivitas, kebersamaan, dan keadilan sosial—bukan ajang eksklusif yang tertutup hanya untuk kelompok tertentu.

Masalah utama yang muncul adalah tertutupnya mobilitas sosial sejak awal. Ketika anak muda enggan memberikan ruang bagi mereka yang berada di luar lingkaran pertemanan, maka peluang bagi munculnya talenta lokal menjadi semakin kecil. Hal ini akan menghambat kreativitas tim dan membuat komunitas stagnan dalam jangka panjang.

Secara nasional, berdasarkan data dari Women Pro Futsal League Indonesia 2025, meningkatnya jumlah kompetisi perempuan menunjukkan adanya penghargaan terhadap nilai sportivitas yang seharusnya juga mendorong penerapan prinsip profesionalisme sejak dari tingkat komunitas.

Jika komunitas perempuan mampu menilai performa secara objektif, maka tidak ada alasan bagi komunitas muda untuk mengabaikan prinsip yang sama.

Ukuran lapangan futsal memang hanya berukuran sekitar 25 × 16 meter, namun di dalamnya dapat tumbuh sebuah budaya yang mencerminkan wajah masyarakat yang lebih luas.

Penentuan formasi pemain tidak seharusnya dijadikan alat dominasi kelompok. Sebaliknya, ia dapat menjadi ruang pembelajaran kecil tentang meritokrasi sosial, di mana kerja keras dihargai, kemampuan diakui, dan sistem berjalan secara adil bagi semua.

Pengalaman pribadi saya juga membuktikan hal itu. Setelah bergabung dengan tim baru yang menerapkan sistem rotasi dan evaluasi terbuka, suasana permainan menjadi jauh lebih menyenangkan.

Semua anggota merasa dihargai, kekompakan tim meningkat, dan performa permainan pun membaik karena setiap pemain sadar bahwa kesempatan bermain diberikan berdasarkan kontribusi nyata. Ini adalah bukti bahwa sistem internal yang sehat dapat menjadi fondasi kuat untuk membangun komunitas yang inklusif, produktif, dan berkelanjutan.

Politik internal dalam tim futsal amatir sejatinya tidak semata-mata soal siapa yang dimainkan, tetapi tentang nilai-nilai dasar yang ingin kita tanamkan—apakah kita mengedepankan keadilan atau tetap mempertahankan sistem pertemanan eksklusif.

Dari lapangan kecil inilah kita bisa mulai membentuk budaya yang positif, agar generasi muda terbiasa menjunjung tinggi meritokrasi dan tidak terjerumus dalam praktik nepotisme saat memasuki ruang publik yang lebih luas.

Mari kita ubah cara pandang terhadap futsal menjadi ruang pembelajaran nilai-nilai kesetaraan sosial dan kebersamaan yang inklusif.

Ayo suarakan semangat sportivitas dan keadilan bersama #FutsalAXISNationCup, karena #SuaraParaJuara tidak hanya terdengar di lapangan, tetapi juga dalam nilai yang kita bangun bersama. Selengkapnya di https://anc.axis.co.id dan https://axis.co.id.

Muhammad Fauzan

Baca Juga