Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | febrina nisa
Ilustrasi korupsi [Suara.com/Ema Rohimah]

Korupsi merupakan hambatan serius bagi pembangunan Indonesia. Pemberantasan korupsi telah menjadi prioritas di era reformasi saat ini. Pemerintah Indonesia mendukung banyak lembaga yang ditugaskan memerangi korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilan anti-korupsi nasional. 

Pemerintah telah memasukkan masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah (LSM) ke dalam proses reformasi untuk menciptakan berbagai jaringan aktor anti-korupsi. Pemerintah Indonesia juga mereformasi kerangka peraturan utama, seperti peraturan bisnis dan pengadaan publik. 

Korupsi tetap menjadi masalah serius. Seringkali, tindakan suap atau korupsi tidak terlihat oleh pihak berwenang Indonesia sebagai praktik korupsi. Oleh karena itu, meningkatkan pelatihan dan pengetahuan tentang jenis kegiatan yang merupakan korupsi adalah kunci dalam mengubah sikap ini.

Mekanisme pengawasan Indonesia menjadi tantangan selanjutnya untuk memberantas korupsi. Mekanisme pengawasan Indonesia diketahui sebagian besar telah kekurangan sumber daya. Banyak lembaga tidak memiliki kapasitas dan keterampilan canggih yang diperlukan untuk menangani kasus rumit korupsi dan penyalahgunaan pengeluaran publik, khususnya dalam teknik penyelidikan, pengawasan dan wawancara.

Ada juga kelangkaan pelatih yang mampu memberikan bimbingan dan instruksi yang diperlukan secara berkelanjutan dan konsisten. Upaya reformasi yang semakin rumit adalah komunikasi dan koordinasi yang lemah di antara lembaga-lembaga utama seperti Kejaksaan Agung (Kejaksaan Agung), Kepolisian Republik Indonesia (Polisi Nasional Indonesia) dan KPK.

Ini menghambat pertukaran informasi, kemampuan untuk mengumpulkan sumber daya dan pada akhirnya penuntutan kasus korupsi yang efektif.

Untuk itu penulis menawarkan adanya upaya dalam mengatasi wabah korupsi ini dengan melakukan enkulturasi yaitu membangun pemaknaan baru atau cara pandang baru, dan melakukan/melaksanankan enkulturasi yang baru tersebut.

Jika ini dirujukkan pada budaya korupsi, maka harus dibangun pemaknaan baru, yaitu sikap dan semangat anti-korupsi. Sikap antikorupsi ini ditularkan melalui enkulturasi budaya melalui lembaga-lembaga sosialisasi yang ada, semisal keluarga, media massa, tokoh masyarakat dan tokoh agama, aparat penegak hukum, dan lain sebagainya.

Kebiasaan dalam habitat korupsi yang selama ini kita lihat telah mengaburkan nilai baik dan buruk, serta menyalahi norma benar dan salah. Minimnya rasa bersalah para pelaku koruptor dikarenakan orang-orang sekelilingnya juga melakukan praktik yang sama.

Jika koruptor dipindahkan ke habitat baru yang menjunjung nilai integritas dan kejujuran, serta diiringi dengan hukuman yang nyata untuk para pelaku korupsi. Maka, yang dapat menghentikannya ialah komunitas yang baru, yaitu masyarakat anti-korupsi yang dibentuk oleh enkulurasi. Dari penanaman nilai anti-korupsi yang utuh dan seragam, menyebabkan universalitas dari sikap anti-korupsi akan sama besar dan pengaruhnya, seperti sikap anti totaliter/otoriter, anti diskriminasi gender, dan anti perbudakan yang telah diadopsi di seluruh dunia untuk mulai diterapkan di Indonesia demi melawan tindak perilaku korupsi ini.

febrina nisa