Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Muhammad Feraldi
Ilustrasi aktivitas media sosial (sumber: Unsplash)

Kontestasi politik di negara ini selalu meninggalkan sisa-sisa yang bekasnya tak hilang dalam hitungan bulan. Tak hanya sampah plastik atau kertas dari stiker, poster, dan baliho yang terpampang di sudut jalanan, pelaksanaan pemilu di tingkat daerah hingga nasional juga meninggalkan fenomena—­­atau lebih tepat jika disebut masalah—yang mengakar di masyarakat.

Kalau ditarik mundur, sejak pemilu tahun 2014 masyarakat Indonesia selalu dihadapkan dengan masalah pascapemilu yang sama: polarisasi.

Perbedaan pilihan saat pemilu nyatanya tidak disikapi dengan bijak oleh masyarakat. Setelah gelaran selesai, masyarakat masih saja mengungkit siapa calon yang kita pilih seolah-olah pilihan tersebut menjadi identitas yang melekat.

Keadaan ini bagai menabur garam di atas luka karena Indonesia masih belum selesai dengan konflik horizontal yang berkaitan dengan identitas, terutama SARA.

Pada akhirnya polarisasi masyarakat menjadi tak terhindar dan tak kunjung reda, sedangkan elit politik yang kala itu bertarung bisa jadi sudah berkawan dan duduk di sofa yang sama.  

The Echo Chamber Effect

Polarisasi yang terjadi di dunia nyata sedikit banyak bersumber dari gesekan-gesekan di media sosial. Diakui atau tidak, media sosial berpengaruh besar terhadap keadaan saat ini. Ia mewadahi terciptanya masyarakat yang terkotak menjadi dua kelompok. Dengan demikian, timbullah sentimen kami vs kalian di tengah masyarakat.

Selain berdampak kepada perdebatan horizontal, polarisasi juga mematikan iklim diskusi dan mendorong individu yang sempit pemikirannya (close-minded person).

Mayoritas pengguna media sosial saat ini cenderung hanya mau menerima gagasan yang ia percaya dan berkumpul dengan orang-orang yang sepemikiran, atau disebut sebagai echo chamber effect.

Echo chamber effect adalah sebuah metafora yang menggambarkan keadaan bahwa seseorang menutup semua ide yang berseberangan dari yang dipercaya dan hanya meyakini segala sesuatu yang mengamini kepercayaannya. Kemudian ketika ia menemui informasi atau gagasan yang berseberangan, ia langsung menilai bahwa informasi tersebut tidak valid.           

Lebih Jauh dari Polarisasi

Efek ini sangat bisa dirasakan ketika kita berhadapan langsung dengan orang-orang yang terjebak di dalam echo chamber. Orang-orang tersebut akan mengisolasi diri dari pandangan luar sehingga sulit bagi kita untuk men-challenge argumen mereka. Kebenaran di mata orang-orang tersebut juga akan semakin subjektif karena hanya didasari apa yang ia mau.   

Dampak dari echo chamber effect tidak hanya memperparah polarisasi, tetapi juga merusak ekosistem digital kita. Mari tengok bagaimana teori konspirasi bisa tumbuh subur dan dipercayai banyak orang, termasuk grup whatsapp kita sendiri. Atau bagaimana seseorang bisa membenci suatu pihak hanya karena ia ngikut sikap sosok yang ia idolai.

Dalam konteks pandemi, nakes yang sudah berjibaku demi keselamatan manusia pun tak luput dari objek pesakitan masyarakat yang menutup mata dan terjebak dalam echo chamber.

Keberanian Men-challenge Pendapat Pribadi

Salah satu yang dapat mencegah kita dari jebakan echo chamber effect adalah dengan berani menerima—atau setidaknya tidak menutup diri—pendapat yang berseberangan dengan kita. Cobalah untuk mem-follow akun-akun dengan narasi berbeda dari yang kita yakini.

Langkah ini saya rasa cukup membantu menjaga kewarasan kita dalam menilai benar-salah dan baik-buruknya suatu hal. Selain itu, penilaian kita pun akan teruji validitasnya, meski pada akhirnya kebenaran memang akan selalu bersifat relatif di era post-modern ini.

Muhammad Feraldi