Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani
Ilustrasi anak dan orang tua

Orang tua adalah orang terdekat bagi anak, yang akan dijadikan contoh sebagai pembelajaran anak. Pertama kali anak berinterkasi adalah kepada orang tua.  Sebagai orang yang terdekat dan menjadi pembentukan awal dari pada kepribaadian anak, orang tua memiliki tanggung jawab memastikan anak telah mencapai tahapan tugas perkembangan pada tahapan usianya untuk siap berada di tengah-tengah lingkunganya. Interaksi antara orang tua dan anak membentuk kepercayaan dan konsep diri pada anak.

Jika interaksi ini berjalan dengan baik akan menimbulkan respon yang baik pada konsep diri dan kepercayaan diri anak. Namun, jika interaksi tidak berjalan dengan baik akan berdampak negative pada konsep diri anak. Perkataan dari orang tua akan melekat ada diri anak dan membuat konsep diri dari perkataan orang tua (labeling).

 Labeling adalah pemberian julukan kepada seseorang atas ciri-ciri yang melekat pada diri seseorang tersebut (nunung hidayah, 2014). Labeling membentuk prasangka atau persepsi diri terhadap perilaku terbentuk. Apa yang dikatakan orang tua seperti kata “bodoh” pada sang anak, akan membuat anak meyakini bahwa dirinya bodoh dan berperilaku mengikuti apa yang menjadi keyakinan dari perkataan orang tua.

Menurut Peggy Thoits (1999) orang yang diberikan label menyimpang (deviant) dan diperlakukan sebagai orang yang menyimpang, akan menjadi menyimpang. Sebagai contoh, jika seorang anak diberi label “Bodoh” maka pada akhirnya dia akan menjadi anak yang bodoh.

Lebeling memang sepele akan tetapi jika tidak diperhatikan akan menghasilkan dampak yang  besar. (Hidayah dan khusmadewi, 2020). Pelabelan yang dilakukan oleh orang tua seperti bodoh, mengakibatkan adanya beban pada diri anak.

Beban ini kemudian menjadi ganjalan bagi anak untuk bercerita kepada orang tua, kenapa tidak mendapatkan nilai yang bagus. Akhirnya menjadikan hambatan dalam komunikasi antara orang tua dan anak. Selain itu labeling juga dapat menggangu konsentrasi anak. Sehingga dapat menimbulkaan permasalahan yang lainya.

Seseorang akan terkunci dalam sifat label yang diberikan lingkungan kepadanya, terutama pelabelan yang negatif. Mereka cenderung menjadi sosok seperti yang dilabelkan dan akan berdampak pada psikologis seseorang. Sebagai contoh dampak psikologis misalnya: mudah sedih, putus asa, emosi yang tidak terkontrol, tidak mau berbicara, tempertantrum, dan memberontak (Hurlock, 1999)

Dampak Negatif Labeling

Menurut Wiley (dalam Calhoun dan Acocella, 1990) membentuk individu yang memiliki konsep diri yang positif memerlukan suatu proses yang melibatkan peran lingkungan yang dimulai sejak individu itu lahir dan diawal masa perkembangannya (Hendri, 2019).

Orang tua adalah seseorang yang mengiringi pertumbuhan anak, dari individu lahir dan mendampingi perkembangan anak. Pola asuh dari kedua orang tua membentuk konsep diri anak, adanya labeling yang bersifat negatif sangat dapat mempengaruhi konsep diri anak.

Labeling memberikan dampak negatif melalui konsep diri dan pandangan orang tua. Yang pertama yaitu konsep diri, Menurut Sigmund Freud, tokoh psikoanalisa, konsep diri berkembang melalui pengalaman, perilaku dari orang lain yang bersifat negatif dan berulang-ulang mempengaruhi konsep diri.

Jelas, jika orang tua melabeli anaknya dengan menyebutkan Nakal, maka anak akan membuat persepsi pada diri sendiri dan menyakininya jika dia adalah seorang anak yang nakal. Persepsi diri yang diyakini ini disimpan dan menjadi sebuah perilaku.

Yang kedua, Yaitu Persepsi orang tua, memandang anaknya “bodoh”. Seringkali anak melihat hasil akhir dari anaknya untuk mendapatkan yang bagus. Seperti, ketika sekolah mendapatkan nilai kecil atau belum mendapatkan nilai yang memuaskan, akan tetapi anak sudah berusaha, dengan giat belajar.

Akan tetapi karena mendapatkan nilai yang kecil orang tua memberikan penilaiaan kepada anak, bahwa dia adalah anak yang bodoh. Labeling ini kemudian menetap memberikan dampak negatif kepada anak.

Tidak mendapatkan dukungan atas usaha dari anak membuat anak merasa frustasi dan merasa tidak mendapaatkan penghargaan dari orang tua atas hasil kerja kerasnya untuk mendapatkan nilai yang besar, meski belum memuaskan. Sehingga perilaku usaha untuk meendaatkaan nilai yang bagus, tidak dilakukan anak dengan berfikir mungkin juga paling dimarahin, padahal sudah berusaaha menjadi pintar dengan belaar namun tidak dihargai.

Pola Asuh

Individu yang memiliki konsep diri negetif membuat seorang anak akan memandang dirinyan negative, seperti lemah, tidak berguna, tidak percaya diri dan tidak merasa dikendalikan oleh orang lain. Maka perlu adanya pola asuh yang tepat untuk membuat anak memiliki konsep diri yang positif. Tahap perkembangn awal sangat memengaruhi konsep diri pada sang anak. Terdapat 3 macam pola assuh pada anak :

1. Pola asuh otoriter

Pada pola asuh otorriter keputusan anak dalam berperilaku berdasarkan dari kemauan orang tuanya. Pola asuh ini hanya menjadikan anak sebagai objek pelaksanan dari perintah oran tua. Dalam hal ini sulit bagi anak untuk menuangkan kebebassnya dalam bertindak dan mengambil keputusan.

Orang tua yang otoriter cenderung akan memberikan labeling negatif pada anak jika tidak sessuai dari perintah atau anak membuat kesalahan. Pola asuh ini membuat anak menjadi penakut dan anak merasa tidak dihargai. Seorang anak merasa tidak dihargai karena inisitif yang dilakukan oleh anak tidak didukung oleh orang tua dan hanya memberikan dukungan dari apaa kata orang tua.

2. Pola asuh demokratis

Dalam pola asuh yang demokratis dengan memberrikan bimbingan kepada sang anak. Anak yang tidak mendpatkan bimbingan akan menjadi seenaknyaa saja. Perlu adanya bimibingan sehingga anak mendaatkan dukungan dari orang tua, merasa dihargai dan mendapatkan kepercyaan dirinya. Pola asuh demokratis lebih tepat digunakan utuk memberikan konsep diri yang positif paada anak.

Dalam pola asuh ini juga tidak membandingkan pencaaian dan keberhasilan orang lain dengan anak sendiri, akan tetapai mendukung saang anak atas potensi dari dirinya.

Jika terdapat kesalahan pada anak tidak langsung dengan memberikanya labeling negatif yang membuat anak merasa frustasi akan tetai mendapatkan pengarahan. Tidak adanya labeling negatif pada anak dari orang tua sendiri membantu anak untuk mendapatkan kepercayan dirinya sendiri dalam berperilaku.

3. Pola asuh permisif

Pada pola asuh ini orang tua cenderung mengabaikan anaknya, keadaan seeerti ini merasa anak merasa diabaikan. Kebebasan penuh tanpa adanya arahan dan bimbingan dari orang tua, meski tanpa adanya lebeling akan tetai akan membuat anak tetap merasa dirinya kurang berharga dan tidak mendapatkan dukungan dan penghargaan dari orang tua, sehingga membuat konsep diri yang negatif pada diri anak.

Konsep diri adalah sesuatu yang diyakini oleh anak, yang beraslah dari ligkungan sekitar anak, terutama orang tua. Orang tua memiliki  peran dalam perkembangan anak dan memiliki kewajiban dalam membantu anak untuk dapat pencapai tugah tahapan perkebanganya.

Adanya kesan negatif, seperti laeling akan membuat anak mempunyai konse diri yang negatives, konsep diri yang negatif jelas merusak dari kesehatan mental anal, permasalahan permasalahan dari anak dapat bertambah dan cenderung memiliki kepercayaan diri yang rendah.

Pola asuh demokratis adalah cara yang tepat guna membangun konsep diri yang positif pada anak, dengan memberikan dukungan dan juga pengarahan pada anak, tanp memberikanya labeling negatif pada anak. Kesehatan mental penting bagi semua orang, baik anak-anak mapun orang dewasa.

Perlu adanaya Support System yang baik bagi anak untuk pertumbuhan dan perkembangan untuk menghasilkan konsep diri yang positif, agar mampu berada ditengah-tengah masyrakat dengan baik. Tanpa adanya kesan negatif ari orang tua, yang membuat anak memiliki rasa kurang percaya diri. Hindari memberikan labeling negatif kepada anak.

Referensi:

  • Hidayah, R., & KHUSUMADEWI, A. (2020). STUDI TENTANG RESILIENSI PESERTA DIDIK KORBAN LABELLING. Jurnal BK UNESA, 11(3).
  • Hendri, H. (2019). Peran Pola Asuh Orang Tua Terhadap Pembentukan Konsep Diri Pada Anak. Jurnal At-Taujih, 2(2), 56-71.
  • Rahmat, S. T. (2018). Pola asuh yang efektif untuk mendidik anak di era digital. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, 10(2), 143-161.
  • Khoisiyah, N. H. (2014). Gambaran Respon Psikologis Remaja yang Mendapat Labeling di SMK Perdana Kota Semarang. FIKkeS, 7(2).
  • Linda, N. EFEK LABELING ORANGTUA TERHADAP PERTUMBUHAN POLA FIKIR ANAK.
  • Syamsinar, S. (2019). Analisis Faktor Pengaruh Pemberian Label (Labelling) terhadap Minat Belajar Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA SMA Negeri 3 Pangkep (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar).
  •  

Oleh: Anwar Fuad

Baca Juga