Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Anggy Fitri
Ilustrasi disabilitas / difabel (pixabay.com)

Dewasa ini, hubungan antara beberapa negara menjadi hal yang tidak akan pernah luput menjadi perbincangan oleh media-media. Soeprapto dalam Hubungan Internasional Sistem, Interaksi, dan Perilaku (1997:12), menyebutkan makna hubungan internasional pertama kali diciptakan oleh Jeremy Bantham dengan menganggap sebagai satu kesatuan disiplin yang memiliki ruang lingkup serta konsep-konsep dasar.

Pendapat ini diperjelas dengan UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, pengertian hubungan internasional diartikan sebagai kegiatan yang meliputi aspek regional dan internasional yang kegiatannya dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat maupun internasional, meliputi lembaga negara, organisasi politik, LSM, badan usaha atau warga negara. Hubungan internasional berkaitan dengan politik, sosial budaya, ekonomi, dan bidang lainnya yang saling berhubungan di antara negara.

Perwita dan Yani dalam Pengantar Ilmu Hubungan Internasional (2005:4) menyebutkan bahwa suatu negara tidak akan mampu menutup diri dari luar, serta bertujuan untuk mempelajari perilaku antar negara yang terwujud dalam kerja sama, konflik, maupun interaksi.

Adanya pola interaksi hubungan internasional antara negara dapat dipengaruhi oleh adanya pergeseran atau perubahan isu-isu yang sedang berkembang di tingkat internasional sebagaimana yang dipaparkan oleh Yuniarti dalam “Perubahan Pola Hubungan Internasional Abad 20 dan Pengaruhnya terhadap Realisme versus Idealisme” (2010:1). Oleh karena itu, hubungan internasional berlangsung secara dinamis, yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan sosial dan perubahan kondisi lingkungan atau alam.

Pasca Perang Dingin, isu mengenai sendi-sendi dasar hak asasi manusia (HAM) mulai diangkat, begitupula mengenai paradigma disabilitas yang mengalami pergeseran ke arah lebih baik yaitu semakin diperhatikan dan dipertimbangkan dalam segala sektor.

Perhatian internasional dapat terlihat dari adanya beberapa organisasi yang peduli akan keberadaan penyandang disabilitas dengan mengadakan deklarasi, seperti ILO, WHO, ICF, dan lainnya termasuk Indonesia yang turut berusaha mengangkat derajat HAM dengan mengadakan kerja sama antar beberapa negara baik bilateral maupun multilateral seperti ASEAN.

Dari segi bilateral dapat dilihat dari kerja sama Amerika Serikat dan Indonesia yang mengutamakan dalam pembangunan (melalui USAID) termasuk bidang sosial yaitu kesejahteraan bagi penderita disabilitas di Indonesia.

Penyandang Disabilitas di Indonesia

Sebelum mengalami pergeseran paradigma, penyandang disabilitas sering kali disebut dengan istilah penyandang cacat. Namun istilah tersebut dianggap bersifat diskriminatif yang dapat merendahkan HAM orang lain, sehingga dirumuskanlah istilah penyandang disabilitas agar lebih humanis dan menghormati sesama individu yang bermartabat.

Menurut Rajagukguk dan Saiman dalam kerja sama ILO—RI dalam Mempromosikan Hak Kesempatan Kerja yang Adil bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia (2018:5-6) menuliskan bahwa penggunaan kata penyandang disabilitas mulai diberlakukan di Indonesia pada bulan Oktober tahun 2011 yang kemudian diperkuat dengan adanya Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas dalam UU No. 19 Tahun 2011.

Kesejahteraan bagi penyandang disabilitas menjadi isu global yang marak dibicarakan terutama setelah adanya Resolusi PBB No. 61 Tahun 2006 tentang Convention on the Right of Persons with Disabilities (CRDP). Dengan hal ini membawa pergeseran paradigma maupun pendekatan akan penyandang disabilitas.

Awalnya penyandang disabilitas hanya dilihat dari segi kesehatan atau medis mengenai kekurangan individu, namun berubah menjadi pendekatan sosial yang menjadi bagian dari keragaman umat manusia di bumi serta dapat dilihat dari segi ekonomi akan haknya untuk mendapatkan kelayakan hidup dan bekerja.

Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya untuk meningkatkan dan menghormati hak bagi penyandang disabilitas, hal ini diwujudkan melalui UU No. 4 Tahun 1997 yang berisi bahwa kedudukan, hak, kewajiban, dan peran penyandang disabilitas sama dengan warga negara lainnya. Sehingga begitu pentingnya peran penyandang disabilitas dalam pembangunan nasional. Kemudian dijelaskan kembali dalam Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Kesejahteraan Sosial Penyandang Disabilitas.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Susenas tahun 2000, penyandang disabilitas bekerja di beberapa aspek (23,9% di perdagangan, 18,6% di industri, 17% di pertanian, dan 13% di sektor lainnya). Kemudian hasil survei terbaru yaitu tahun 2010 oleh ICF di 14 provinsi terdapat 74,4% penyandang disabilitas yang bekerja dan 25,4% bekerja, dikutip dari Irwanto, dkk “Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia: Sebuah Desk-Review” (2010:31).

Sejarah Terjalinnya kerja sama Amerika Serikat (USAID) dan Indonesia

Hubungan kerja sama bilateral antara Amerika Serikat dan Indonesia secara resmi diawali dengan penempatan Kedutaan Besar di masing-masing negara. Amerika Serikat terlebih dahulu dengan mendirikan Kedutaan Besar di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1949 dengan menunjuk Horace Merle Cochran sebagai Duta Besar Amerika Serikat pertama di Indonesia, sedangkan Indonesia menunjuk Dr. Ali Sastroamidjojo sebagai Duta Besar Indonesia pertama di Amerika Serikat pada tanggal 20 Februari 1950.

Menurut Deplu AS dalam Pemerintah Amerika Serikat, Garis Besar Ekonomi Amerika Serikat (2004:168), menyatakan bahwa dalam melakukan hubungan kerja sama dalam bidang pembangunan, Amerika Serikat memiliki perwakilan melalui United States Agency for International Development (USAID). USAID terbentuk pada tanggal 3 November 1961 yang didasari oleh adanya kebijakan Marshall Plan tentang bantuan kepada pihak luar negeri pasca Perang Dunia II. Adanya USAID yang diresmikan Presiden John F. Kennedy menjadi lembaga bantuan pertama Amerika Serikat yang menekankan pada upaya pembangunan ekonomi dunia.

kerja sama pertama kalinya antara USAID dan Indonesia terjadi ketika pemberian bantuan kepada Indonesia pada akhir tahun 1961 untuk mengatasi masalah pertumbuhan penduduk Indonesia yang semakin meningkat. Sari dalam “Peran United State Agency for International Development (USAID) dalam Konservasi Laut di Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau” (2018:7-10), menyebutkan alasan Indonesia menjadi negara yang mendapatkan bantuan dari USAID ialah karena Indonesia menganut paham demokrasi yang selaras dengan salah satu misi USAID yaitu fokus pada pemerintahan yang demokrasi dengan pembangunan terbuka, tanggap, dan akuntabel lembaga dalam melayani kebutuhan publik.

Pemerintah Indonesia dan USAID telah menyepakati perjanjian hibah melalui Country Partnership Strategy periode 2009-2014 yang meliputi bidang kesehatan, pendidikan, pemerintahan, ekonomi, dan geografi yang dijadikan dalam penandatanganan Assistance Agreement.

Bantuan diberikan sesuai dengan kepentingan untuk mempertahankan supremasi secara politik. Dalam melakukan kerja sama dengan luar negeri, maka pembangunan tidak hanya terfokus pada isu anggaran atau kebutuhan dana, melainkan lebih ke arah seperti: 1) kerja sama dalam pembangunan kapasitas teknologi dan pengetahuan, 2) pemanfaatan investasi dan infrastruktur, serta 3) kerja sama internasional dengan memenuhi perjanjian dan mendukung peran aktif dalam forum internasional seperti yang dikemukakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Pengembangan Kerangka Dialog kerja sama Bilateral dalam Rangka Optimalisasi Sumber Pendanaan Luar Negeri Bilateral (2012:48-57).

Kerja sama Amerika Serikat (USAID) dan Indonesia dalam Kesejahteraan Penyandang Disabilitas

Adanya kerja sama Amerika Serikat melalui USAID dengan Indonesia dikembangkan ke arah sosial dan ekonomi dalam mengatasi kesejahteraan penyandang disabilitas. Hal ini karena adanya ketimpangan antara peraturan dengan fakta di lapangan. Oleh karena itu perlunya langkah-langkah inklusif perlu digaungkan dengan tujuan mendukung penyandang disabilitas agar dapat berperan aktif dalam lingkungan masyarakat sehingga dapat berkontribusi untuk pembangunan nasional. Namun terlihat secara jelas ketika memasuki tahun 2017 karena isu penyandang disabilitas sedang marak diangkat menjadi isu global.

Pemerintah Indonesia dan USAID mengadopsi dan mengimplementasikan Strategi Icheon, sebuah kebijakan regional Asia-Pasifik untuk menangani isu disabilitas dengan 10 tujuan pembangunan inklusif, salah satunya yaitu inklusif disabilitas telah terintegrasi dalam program kerja Penanggulangan Bencana (BP). Dalam mengembangkan ketenagakerjaan inklusif, USAID mendirikan Mitra Kunci Initiative pada bulan Januari 2017 yang berjangka waktu lima tahun. Program kerja dilakukan dengan meningkatkan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dengan menyediakan pelatihan keterampilan, infomasi, pengalaman, dan tentunya pelayanan yang relevan untuk umur sekitar 18-34 tahun di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Di tahun 2019 USAID mendukung mitra forum komunitas difabel, berupaya mewujudkan ketenagakerjaan yang inklusif di Indonesia. Adapun kerja sama yang dilakukan oleh USAID yaitu Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dengan menyusun panduan ketenagakerjaan inklusif. USAID mengadakan beberapa program, seperti workshop yang menjunjung kesetaraan gender dan inklusi sosial, dimana di dalamnya meyakini bahwa penyandang disabilitas akan mampu berkarya sama seperti orang lainnya asal diberi bantuan dan kesempatan.

Dalam pasal 53 UU No. 8 Tahun 2016 menjelaskan  bahwa minimal 2% orang-orang disabilitas dari total pekerja wajib diterima oleh badan pemerintah pusat maupun daerah dan badan usaha milik nasional maupun daerah, sedangkan untuk perusahaan swasta minimal 1%. Lebih lanjutnya terdapat dalam Pasal 145 yang mengatur sanksi bagi seseorang maupun kelompok yang menghalangi hak penyandang disabilitas untuk bekerja, dikutip dari artikel USAID Mitra Kunci “Merangkul Penyandang Disabilitas dalam ketenagakerjaan Inklusif” (2019).

Adapun dibuka bursa kerja inklusif di ajang Festival Kaum Muda yang bekerja sama dengan USAID tahun 2019 dengan pemerintah provinsi Jawa Tengah yang memberikan peluang besar bagi penyandang disabilitas terutama di daerah Kebumen seperti yang dikemukakan oleh artikel karya Sudjatmiko “Kaum Difabel Bisa Mengikuti Pencarian Kerja” (2019).

Selain itu juga dibuka fase dua yang dilakukan oleh SINERGI yang merupakan program dari USAID-Mitra Kunci Initiative, hal ini menggunakan model pengembangan ketenagakerjaan inklusif berbasis pasar kerja dengan membentuk Kelompok Aksi (POKSI) Ketenagakerjaan Inklusif di Jawa Tengah dengan melibatkan pilar pemuda termasuk penyandang disabilitas, pengusaha, lembaga pelatihan kerja, dan pemerintah daerah. Hal ini memberikan akses kerja bagi 2.000 kuota penyandang disabilitas yang termuat dalam artikel Transformasi “SINERGI Upayakan Akses Informasi Kerja bagi 16.000 Kaum Muda Kurang Mampu dan Rentan di Jawa Tengah” (2019).

Tahun 2020, Meirina dalam artikel “Konjen AS di Surabaya Promosikan Hak-hak Penyandang Disabilitas” (2020) melaporkan bahwa ketika terdapat seminar disabilitas di Surabaya, Konsulat Jenderal Amerika Serikat mempromosikan hak-hak penyandang disabilitas untuk memiliki potensi dan hak yang sama dalam berpartisipasi dii angkatan kerja. Hal ini tidak hanya dilakukan dalam proses menyuarakan, melainkan juga dengan pemberian pelatihan kerja yang bekerja sama dengan salah satu tabloid di Surabaya dan melalui program USAID.

Terjalinnya kerja sama antara Amerika Serikat melalui USAID dan Indonesia sejak tahun 1961 dengan pemberian hibah atau bantuan kepada Indonesia yang mengalami kesusahan, hal ini berlanjut hingga saat ini yang membantu dalam menyejahterakan penyandang disabilitas guna mendapatkan hak bekerja yang layak.

Melalui beberapa program tentang ketenagakerjaan inklusif, USAID dan Indonesia melakukan upaya-upaya seperti pelatihan keterampilan, infomasi, pengalaman, dan tentunya pelayanan. Sehingga dengan adanya hal tersebut dapat terlihat adanya sejarah perkembangan pergeseran paradigma penyandang disabilitas ke arah yang lebih baik lagi dan mampu menegakkan HAM.

Anggy Fitri