Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Gilang Harits M
George Wilhelm Friedrich Hegel seorang filsafat Jerman (dok. istimewa)

Filsafat sebagai ilmu pengetahuan pada umumnya selalu dipandang remeh oleh masyarakat. Tak jarang para filsuf dan filsafatnya selalu mendapatkan cemoohan dari masyarakat pada sejarahnya. Meskipun begitu, sebenarnya filsafat merupakan ilmu yang kritis. Filsafat tidak akan puas dengan satu jawaban, filsafat akan terus menanyakan pertanyaan tentang dunia sampai pertanyaan tersebut tidak dapat terjawabkan.

Pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan filsafat sendiri merupakan pertanyaan yang tidak perlu dipertanyakan, tidak boleh dipertanyakan serta diperdebatkan. Pertanyaan yang terus menerus inilah kemudian yang menyebabkan filsafat dikatakan sebagai ilmu kritis. Filsafat pun disadari, sebenarnya ada berdampingan dengan keseharian umat manusia.

Salah satu filsafat yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat sehari-hari adalah filsafat dialektika. Filsafat dialektika merupakan,filsafat milik George Wilhelm Friedrich  Hegel atau yang biasa disebut Hegel. Hegel merupakan seorang filsuf barat yang menonjol serta merupakan seorang pemikir yang paling berpengaruh. Filsafat Hegel merupakan filsafat yang dapat dikatakan sangat berpengaruh pada abad ke 19 Masehi.

Mengutip dari sebuah artikel berjudul ”Filsafat Dialektika Hegel : Relevansinya Dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945” oleh Suyahmo mengatakan bahwa dalam filsafat dialektika Hegel terdapat tiga fase yaitu Tesis-Antitesis-Sintesis. Fase dari filsafat dialektiktika dikatakan mempunyai sifat ontologis, maksudnya proses gerak pemikiran sama dengan proses gerak kenyataan.

Filsafat Dialektika Hegel

Dialektika berasal dari kata Yunani yang berarti “Berargumen”, merupakan sebuah aktivitas yang meningkatkan kesadaran diri dari pikiran dengan memberikan kepada semua objek pemikirannya tenpat yang tepat dan dikonsepsikan secara rasional dalam keseluruhan (Suyahmono, 2007 ; 146). Filsafat dialektika Hegel ini merupakan bentuk penyempurnaan dari para filsuf terdahulu yaitu Fichte dan Schelling.

Pemikiran dari Fichte dianggap oleh Hegel sebagai “idealisme subjektif” dan pemikiran Schelling dianggap sebagai “idealisme objektif”. Kemudian Hegel memandang filfasatnya sendiri sebagai bentuk sintesis dari kedua filsuf tersebut yang kemudian ia sebut sebagai “idealisme mutlak”

Dalam proses filsafat dialektika, Hegel memberikan tiga fase, yaitu “tesis” sebagai fase pertama yang kemudian menampilkan lawannya “antitesis” yang merupakan fase kedua, kemudian dari kedua fase tersebut timbulah fase ketiga yang disebut “sintesis” yang mendamaikan kedua fase seperti yang sudah dijelaskan diatas.

Filsafat dialektika ini contohnya dapat dilihat dari sejarah kemerdekaan Indonesia, yang mana fase tesis ditendai dengan adanya penjajah yang datang ke Indonesia. Kemudian muncul pemikiran bahwa penjajahan tersebut harus dihapuskan dan munculah tindakan pergerakan nasional yang menjadi fase antithesis. Sintesis dari dua tindakan penjajahan dan pergrakan kemerdekaan itulah yang kemudian menyebabkan Indonesia memperoleh kemerdekaan.

Relevansi Filsafat Dialektika Dengan Revolusi Industri  1760

Revolusi industri pertamakali lahir di Inggris pada tahun 1760-1830. Tahap tesis dari peristiwa revolusi industri terlihat dari banyak pertumbuhan penduduk yang tinggi di Inggris pada kala itu.

Hal tersebut kemudian menyebabkan hasil produksi tidak seimbang dengan jumlah permintaan yang melimpah. Kemudian banyaknya kaum intelektual yang mencoba memberikan temuan alat-alat industri baru seperti mesin uap yang telah ditemukan oleh James Watt.    

Banyaknya penemuan-penemuan baru tersebut merupakan tahapan antitesis dari peristiwa ini. Karena munculnya alat industri baru kemudian juga mnyebabkan banyaknya pengangguran akibat dari digantikannya tenaga manusia menjadi tenaga mesin industri.

Namun meskipun begitu hasil produksi barang pun bertambah berlipat ganda tiap produksinya. Kejadian tersebut yang kemudian dapat disimpulkan sebagai sintesis dari peristiwa ini, bahkan dampak dari revolusi industri ini masih dapat kita rasakan hingga kini.

Relevansi Filsafat Dialektika Dengan Peristiwa Revolusi Perancis

Sebelum adanya revolusi industri, Perancis dipimpin oleh seroang Raja bernama Louis XIV dengan semboyannya yaitu l’Etat, c’est Moi yang berarti “Negara adalah Aku” menjadi puncak absolutism di Perancis pada saat itu. Pada sebelum revolusi keadaan rakyat jelata di Perancis sangat terbebani oleh pajak yang tinggi.

Sebab pemerintah memberikan harga pajak yang tinggi kepada rakyat jelata. Ditambah keadaan perekonomian Perancis pada saat itu sedang tidak baik. Hal tersebut karena kaum bangsawan , khususnya Ratu Marie Antoinette yang hidup dalam kemewahan dan  hedonisme ditengah penderitaan rakyatnya.

Hedonisme, dan penderitaan rakyat ini yang menjadi fase tesis dari filsafat dialektika, yang kemudian memunculkan lawannya yaitu Antitesis.

Antitesis dari peristiwa ini ditandai dengan kemarahan rakyat Perancis yang kemudian menyerbu penjara Bastille pada tanggal 14 Juli 1789 yang dilanjutkan dengan menyerang istana Versailles yang merupakan istana Raja Louis XIV.

Fase sintesis dari peristiwa ini ditandai dengan Napoleon Bonaparte yang saat itu mempin rakyat datang dengan membawa semboyan revolusi yang berbunyi Liberte (kebebasan), Egalite (persamaan), Fraternite (persaudaraan) yang kemudian semboyan ini menjadi simbol warna bendera Perancis saat ini.

Revolusi Perancis pun diakhiri dengan dihukum gantungnya Raja Louis XIV dan Ratu Marie Antoinette yang dihukum penggal dengan guelottine.

Relevansi Filsafat Dialektika Dengan Peristiwa Restorasi Meiji

Restorasi Meiji yang terjadi pada tahun 1868 merupakan titik awal modernisasi di Jepang. Fase tesis dari peristiwa ini ditandai dengan Jepang yang menganut sistim Sakoku yaitu Jepang menutup diri selama kurang lebih 220 tahun. Sakoku inipun akhirnya dihapuskan melalui perjanjian Shimoda, yaitu kaisar Jepang yang menandatangani kerjasama dengan Rusia yang meliputi perdagangan navigasi dan teknologi.

Dari perjanjian tersebut lahirlah kesadaran bahwa Jepang telah tertinggal jauh dari Barat akibat dari sistim Sakoku yang pernah dianutnya dulu. Kesadaran Jepang ini yang kemudian menjadi fase antitesis dari  peristiwa ini.

Untuk mengejar ketertinggalan tersebut kemudian para samurai dan rakyat bersatu untuk meruntuhkan Shogun Tokugawa dan menyerahkan kembali kuasa pemerintahan kepada kaisar. Shogun Tokugawa pun runtuh dan kekuasaan dikembalikan kepada Kaisar Meiji pada saat itu,

Kaisar Meiji pun mengirimkan para pemuda untuk bersekolah di Barat yang kemudian ilmu yang  Mereka dapatkan dapat diadabtasi di Jepang. Kaisar juga berambisi untuk mengembangkan teknologi dan industri.

Keberhasilan Jepang dalam mengejar ketertinggalannya ini kemudian yang menjadi fase sintesis dari peristiwa restorasi Meiji.

Daftar Pustaka

  • Ong, Susy. 2020. Upaya Modernisasi Sebelum Era Modernisasi Di Jepang Restorasi Meiji Sebagai Hasil Kesepakatan Nasional. Vol. 4(1). Hlm : 91
  • Sungkar, Lubna. 2007. Peranan Golongan Borjuis Pada Revolusi Perancis Tahun 1789. Vol.XI(1). Hlm : 63-64
  • Suryo, Djoko.,Fajariah, Mutiara. 2020. Sejarah Revolusi Industri Di Inggris Pada Tahun 1760-1830.  Vol. 8(1). Hlm : 80-81
  • Suyahmo. 2007. Filsafat Dialektika Hegel : Relevansinya Dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Vol. 19(2). Hlm : 145-148
  •  

Gilang Harits M