M. Reza Sulaiman
Ratusan massa aksi di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, dipukul mundur oleh pihak kepolisian. (Suara.com/Faqih)

Jakarta kembali membara. Senin, 25 Agustus 2025, kawasan sekitar Gedung DPR RI berubah menjadi lautan massa yang menuntut satu hal: pembubaran parlemen.

Apa yang dimulai sebagai aksi damai dengan orasi-orasi panas, perlahan tapi pasti berubah menjadi medan pertempuran yang melumpuhkan jantung ibu kota. Ini adalah kronologi bagaimana hari yang panas di Senayan berubah menjadi sore yang chaos.

Siang: Perang Kata-kata dan Kedatangan ‘Pasukan’ STM

Memasuki siang hari, suasana di depan gerbang utama Gedung DPR sudah tegang. Di balik barikade kawat berduri dan ribuan aparat, massa aksi silih berganti naik ke mobil komando untuk menyuarakan amarah mereka. Dua nama besar di parlemen pun jadi sasaran utama.

Pertama, Ketua DPR Puan Maharani. Orator menagih janjinya yang dulu bilang pintu DPR selalu terbuka untuk rakyat.

"Kata Puan Maharani gedung DPR terbuka untuk pendemo. Tapi yang kita lihat, pintunya tertutup rapat, kawan-kawan!" pekik sang orator, yang langsung disambut teriakan "Buka, buka!" dari massa.

Setelah Puan, giliran Ahmad Sahroni yang kena sentil. Sindiran politisi NasDem yang menyebut ide pembubaran DPR datang dari "orang tolol sedunia" dibalas dengan tantangan.

Ratusan massa aksi di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, dipukul mundur oleh pihak kepolisian. (Suara.com/Faqih)

"Gedung DPR RI terlalu kecil untuk kita hancurkan. Kami tantang siapa pun yang ada di gedung ini!" seru orator lainnya.

Di tengah panasnya perang kata-kata itu, energi massa tiba-tiba mendapat suntikan baru. Rombongan pelajar STM yang ikonik datang merangsek ke barisan. Dengan yel-yel khas yang bikin merinding, mereka mengumumkan kehadirannya.

"Assalamualikum, waallaikum salam. STM datang, bawa pasukan!" teriak mereka kompak sambil berjoget, menambah riuh suasana yang sudah tegang.

Menjelang Sore: Saat Aparat Mulai ‘Gelap Mata’

Situasi yang tadinya hanya panas karena adu mulut, mulai pecah menjelang sore. Bentrokan-bentrokan kecil mulai terjadi di garis depan.

Di tengah kekacauan itu, seorang jurnalis foto dari Kantor Berita ANTARA, Bayu Pratama Syahputra, justru menjadi korban.

Ironisnya, Bayu dipukuli saat ia berlindung di belakang barisan polisi, posisi yang ia anggap paling aman untuk meliput.

"Saya ke barisan polisi supaya lebih aman, ternyata pas itu ada oknum 'mukulin' masyarakat, saya juga langsung dipukul tiba-tiba," cerita Bayu.

Ia menduga, pukulan itu mendarat di kepala dan tangannya karena ia mengarahkan kamera ke oknum aparat yang sedang melakukan kekerasan. Padahal, identitasnya sebagai pers sangat jelas.

Massa pelajar STM yang meluber ke jalan tol dalam demonstrasi 25 Agustus di DPR RI yang berakhir bentrok dengan aparat kepolisian. (Suara.com/Faqih)

"Saya sudah bilang kalau saya media, saya bawa dua kamera, masak tidak melihat? Terus saya pakai helm pers tulisannya besar 'ANTARA'," ungkapnya kecewa.

Puncak Chaos: Jebol Tol dan Hujan Bambu dari Atas

Kekerasan terhadap jurnalis itu seolah menjadi pertanda bahwa situasi akan makin tak terkendali. Puncaknya terjadi saat sekelompok massa melakukan manuver tak terduga. Mereka nekat menerobos masuk ke Jalan Tol Dalam Kota untuk menembus blokade polisi dari sisi lain.

Melihat ada rekan mereka yang berhasil lolos, massa yang tertahan di jalan utama langsung terprovokasi. Aksi saling dorong berubah menjadi serangan brutal.

Tiang-tiang bambu bekas bendera partai politik di pinggir jalan dicabut dan dijadikan senjata untuk menyerang barikade aparat.

Polisi yang mencoba mengejar massa di jalan tol dengan motor trail justru mendapat serangan dari arah tak terduga. Dari atas jembatan layang Senayan Park, sekelompok orang yang mayoritas beratribut ojek online mulai melempari petugas di bawah dengan bambu dan benda lainnya.

Seketika, kawasan Senayan berubah menjadi zona perang tiga front: di jalan arteri, di dalam tol, dan dari atas jembatan layang.

Hingga sore hari, Jalan Gatot Subroto lumpuh total. Asap gas air mata dan suara bentrokan menjadi penutup hari yang panjang dan mencekam di depan rumah wakil rakyat.