Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Ragil jiwandono
Tradisi Besutan Khas Jombang (kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Latar belakang terbentuknya tradisi Besutan pada tahun 1910 berasal dari pemikiran seorang petani yang bernama Pak Santik asal Diwek. Ketika Jombang sebagai daerah agraris sedang mengalami musibah karena kekurangan hasil panen, maka Pak Santik berinisiatif menambah penghasilan dengan cara mengamen yang mana berpindah tempat dari satu keramaian ke keramaian lainnya untuk menyuguhkan pementasan (Ditwdb, 2019).

Awal terbentuknya tradisi Besutan terdiri atas empat pemain atau berkelompok, yaitu Pak Santik, Pak Amir, Pak Pono, dan Marpuah. Ketika mengamen, nama panggung Pak Santik menjadi Besut dengan gambaran tokoh yang memiliki sikap kritis, cerdas, terbuka, transformatif, dan perhatian, sehingga dari situ lebih dikenal dengan tradisi Besutan.

Selain itu, juga terdapat pendapat bahwa Besutan sebenarnya berasal dari kata besut yaitu be (mbeto) dan sut (maksut) dalam bahasa Indonesia diartikan dengan membawa maksud atau tujuan, sehingga adanya tradisi Besutan menceritakan sebuah perjuangan nasionalisme dalam melawan penjajah untuk meraih kemerdekaan bagi bangsa Indonesia (Putri dan Irma, 2016:33).

Hal tersebut didorong dengan pementasan tanpa menggunakan busana atas yang melambangkan kemiskinan yang diderita oleh rakyat. Besut hanya penggunaan kain putih untuk menutup perut, di mana warna tersebut dalam keyakinan masyarakat Jombang dipercayai sebagai lambang niat kesucian dan keikhlasan dalam perjuangan yang diharapkan mampu menggenggam tujuan dengan diikat tali lawe yang meilit di perut yang bermakna kesatuan yang utuh dan kuat. Ciri khas dari tokoh Besut ialah wajah dengan penuh bedak sehingga menjadi sebuah komedi bagi penontonnya, tak luput topi panjang ke atas bewarna merah bersimbol keberanian yang tinggi.

Lakon tradisi Besutan menghadirkan Besut, Rusmini, Sumo Gambar, Man Gondo, dan Pembawa Obor, sedangkan tokoh lainnya akan dimunculkan tergantung kebutuhan ceritanya. Besut dengan menonjolkan kegagahannya dan Rusmini yang cantik menjadi sepasang suami istri dengan menggunakan busana khas Jombangan, sedangkan Sumo Gambar berperan sebagai sosok lelaki antagonis yang cintanya bertepuk sebelah tangan oleh Rusmini dengan menggunakan baju khas Madura.

Selain itu, Man Gondo yang berperan sebagai paman Rusmini selalu berpihak kepada Sumo Gambar karena cinta kekayaannya dengan menggunakan pakaian Jawa Timuran. Apapun peran yang dimainkan, tentunya terdapat pesan yang membangkitkan nasionalisme masyarakat Indonesia dengan adanya perbedaan karakter dan busana mendorong adanya  ajaran nilai saling menghargai akan kebudayaan setiap daerah.

Sebelum memainkan peran, tradisi Besutan akan selalu diawali dengan ritual Pembawa Obor yang di belakangnya terdapat Besut dengan memejamkan mata dalam artian tidak boleh banyak tahu, mulutnya tersumbat susur dalam artian tidak boleh berpendapat, dan berjalan merayap mengikuti arah obor bergerak.

Hal ini memiliki makna bahwa Besut hidup terjajah, terbelenggu, dibutakan, dan selalu menuruti kemauan penguasa. Tetapi, ketika terdapat peluang untuk bangkit. Besut merebut obor dengan meloncat berdiri yang kemudian memadamkan apinya, sehingga mata terbuka, mulut bebas, dan pementasan akan segera dimulai (Madji dalam Firmansyah, 2015:2325).

Hal tersebut memiliki makna bahwa dimana Besut menjadi pelopor dalam kebangkitan di tengah kegelapan panggung dengan menyanyikan tembang yang berisi pantun serta syair sindiran yang menggambarkan keadaan sosial ekonomi masyarakat di bawah zaman penjajahan dan feodalisme, kesulitan yang dihadapi rakyat dalam kehidupan sehari-hari dengan mendambakan sebuah kemerdekaan (Ibid, 2017:14).

Daftar Rujukan

  • Agung, Leo. 2013. Sejarah Intelektual. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
  • Ditwdb. 2019. Besutan Jombang, Besutan Berasal dari Kata Besut. Dalam https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/besutan-jombang-besutan-ber asal-dari-kata-besut/, diakses pada tanggal 1 November 2020 pukul 18.00 WIB.
  • Endraswati, Suwardi, dkk. 2013. Folklor dan Folklife dalam Kehidupan Dunia Modern: Kesatuan dan Keberagaman. Yogyakarta: Pustaka Timur.
  • Firmansyah, Fahmi. 2015. Perancangan Pusat Edukasi dan Rekreasi Budaya Jombangan di Jombang (Tema: Association with Other Arts, on Dance Architecture). Malang: Tugas Akhir Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Ragil jiwandono