Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Namira Salma Al
Eks Mensos Juliari Batubara kondisi tangannya diborgol saat menjalani pemeriksaan di KPK. (Suara.com/Welly Hidayat)

Di akhir tahun 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap terjadinya korupsi dalam internal Kementerian Sosial. Menteri Sosial, Juliari Batubara ditetapkan menjadi tersangka karena diduga menerima uang sebesar Rp17 Miliar dari dana bantuan sosial COVID-19.

Di tengah hingar bingar pengadaan barang dan jasa untuk menolong banyak orang, Juliari menemukan celah untuk menerima suap dan diduga telah melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ia bersama dengan MJS dan AW, sebagai Pejabat Pembuat Komitmen, ditetapkan sebagai tersangka.

Kasus korupsi ini akhirnya menjadi perhatian publik karena telah merugikan negara, melanggar etika, serta dianggap tidak bermoral karena dilakukan di masa pandemi. Tindakannya pun dikecam banyak pihak.

Berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi, kasus korupsi bantuan sosial ini dapat dikelompokkan sebagai tindak pidana korupsi yang melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan negara serta menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara. Penulis mencoba menganalisis kasus korupsi ini melalui perspektif etika administrasi publik, etika antikorupsi, dan etika profesi.

Perspektif Etika Administrasi Publik

Dilihat dari perspektif etika administrasi publik, kasus ini merupakan pelanggaran etika berat karena telah melanggar aturan dan standar dalam menjalankan fungsi pemerintahan.

Berdasarkan PERPRES No. 46 Tahun 2015 tentang Kementerian Sosial, dijelaskan bahwa Kementerian Sosila memiliki tugas untuk menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial serta penanganan fakir miskin dan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam hal ini, JB sebagai Menteri Sosial dinilai telah melanggar tugasnya dalam menyelenggarakan jaminan sosial.

Dalam menjalankan tugasnya, Kemensos juga memiliki pedoman dan nilai yang tercantum dalam Keputusan Menteri Sosial No. 30/HUK/2020 tentang Nilai-Nilai Kementerian Sosial. Nilai tersebut antara lain humanis, adaptif, dedikatif, inklusif dan responsif.

Dalam membantu pemerintah menangani dampak Pandemi, Kemensos mengadakan Program Jaring Pengaman Sosial dalam bentuk bantuan sosial kepada masyarakat yang secara ekonomi terdampak langsung. Hal ini tentu telah menggambarkan nilai adaptif dan responsif yang tercantum dalam peraturan tersebut karena Kementerian Sosial telah tanggap memberi bantuan sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Namun, sayangnya, dalam pelaksanaannya program ini tidak menggambarkan keempat nilai lain dalam peraturan tersebut.

Pertama, tidak menggambarkan nilai humanis karena Menteri dan jajarannya telah melakukan korupsi yang dianggap tidak bermoral untuk dilakukan saat semua orang sedang membutuhkan bantuan.

Kedua, tidak menggambarkan nilai dedikatif karena dalam pelaksanaannya JB menetapkan jumlah fee untuk tiap paket sembako. Padahal, nilai dedikatif yang seharusnya dilakukan adalah bekerja dengan dedikasi dan tidak hanya menganggap pekerjaan tersebut sekedar bisnis.

Ketiga, dalam pelaksanaannya tidak menggambarkan nilai inklusif karena Kemensos tidak melibatkan semua pemangku kepentingan.

Perspektif Etika Profesi

Dilihat dari perspektif etika profesi, JB dinilai telah melakukan pelanggaran berat terhadap etika profesi yang ia emban. Saat dilantik, seorang Menteri telah mengucapkan janji publik melalui sumpahnya, yaitu:

“Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, akan setia kepada UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 serta akan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya demi darma bakti saya kepada bangsa dan negara. Bahwa saya dalam menjalankan tugas tugas dan jabatan akan menjunjung tinggi etika jabatan, bekerja dengan sebaik-baiknya, dengan penuh rasa tanggung jawab.”

Sumpah jabatan tersebut secara implisit dan eksplisit telah menggambarkan kode etiknya sebagai seorang menteri selama ia menjabat, dengan menjunjung tinggi tanggung jawab, integritas dan kepercayaan sebagai darma baktinya kepada bangsa dan negara.

Prinsip tersebut berhubungan dengan pelayanan publik yang dilakukannya termasuk pengadaan dan pemberian bantuan sosial bagi masyarakat yang terdampak COVID-19 dari segi ekonomi. Dalam hal ini, JB sebagai Menteri Sosial telah melanggar sumpah dan etika profesi yang diembannya dengan tidak berlaku jujur, tidak menjalankan peraturan perundang undangan sebagaimana seharusnya dan tidak menjalankan tugas dan jabatan dengan sebaik-baiknya.

Perspektif Etika Antikorupsi

Dilihat dari perspektif etika antikorupsi, JB dinilai sangat merugikan masyarakat Indonesia. Etika antikorupsi dapat dinilai secara normatif, deskriptif dan sosial politik. Normatif maksudnya korupsi adalah hal yang buruk dari segi dampak yang dihasilkan, tujuan dilakukan, dan tindak pidana korupsi itu sendiri. Dalam hal ini, korupsi yang dilakukan JB dinilai sangat merugikan dari dampak hingga tujuan dilakukan. Dilihat dari segi deskriptif berarti korupsi memiliki kecerdasan sendiri yang mengharuskan kita mengerti seluk beluk mengapa seseorang bisa mendapatkan kesempatan untuk melakukan korupsi.

Berdasarkan Teori GONE (Greed, Opportunity, Needs, Expose), terdapat 4 penyebab mengapa seseorang mampu melakukan tindak pidana korupsi. Pertama, keserakahan (greed). Kedua, kebutuhan (needs). Berdasarkan PP No. 60 Tahun 2020, gaji pokok seorang Menteri sebesar Rp5.040.000,00/perbulan dan mendapatkan penghasilan dari berbagai tunjangan. Kemudian berdasarkan Keppres No. 68 Tahun 2001, seorang Menteri mendapatkan tunjangan Rp13.608.000,00/bulan dan tetap mendapatkan dana operasional yang terpisah.

Dari peraturan tersebut dapat dilihat bahwa gaji seorang Menteri sebenarnya telah cukup mendanai kebutuhan sehari-hari. Sehingga teori keserakahan (greed) dan kebutuhan (needs) yang ada dalam teori GONE tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan korupsi. Ketiga, pengungkapan (expose). Keempat, kesempatan (opportunity).

Dalam pengadaan barang dan jasa bantuan sosial COVID-19, skema yang digunakan pemerintah adalah skema penunjukan langsung terhadap vendor yang akan digunakan untuk pengadaan bantuan sosial tersebut. Skema penunjukan langsung tentu memiliki banyak celah. Hal tersebut dilihat JB, MJS, AW, AIM dan HS sebagai celah untuk melakukan korupsi. Sehingga teori kesempatan (opportunity) dalam GONE dinilai menjadi penyebab terjadinya kasus korupsi bansos.

Dari teori GONE di atas, JB dinilai telah mendapatkan kesempatan untuk melakukan korupsi, namun kita tetap harus melihat faktor lain yang mempermudah JB untuk melakukan tindakan tersebut. Sebelum menjabat sebagai Menteri, JB sempat menjadi anggota DPR Komisi VI yang menangani perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, UKM dan BUMN.

Berdasarkan hal tersebut, JB dinilai telah mengerti seluk beluk pengadaan barang dan jasa, aturan di dalamnya, hingga link untuk menemukan vendor yang sesuai harapannya sehingga mempermudah JB untuk meloloskan tindak pidana korupsi. Tidak hanya itu, peraturan dalam pengadaan barang dan jasa dengan skema penunjukan langsung pun dinilai masih memiliki celah untuk melakukan tindakan korupsi. Sehingga, perlu adanya evaluasi menyeluruh mulai dari peraturan yang berlaku hingga pelaksanaannya. 

Referensi

  • Bahri, D. S. (2020, 12 21). Program Jaring Pengaman Sosial Kementerian Sosial. Retrieved from https://kemsos.go.id/ar/program-jaring-pengaman-sosial-kementerian-sosial
  • Jannah, S. M. (2020, 12 17). Kasus Mensos Juliari Membuktikan Bansos Memang Sebaiknya Tunai. Retrieved from https://tirto.id/kasus-mensos-juliari-membuktikan-bansos-memang-sebaiknya-tunai-f7Wk
  • Kemensos. (2020). Rencana Strategis Kementerian Sosial 2020 - 2024. Jakarta: Kemensos.
  • KPK. (2014). Buku Saku Gratifikasi. Jakarta: KPK.
  • Ramadhan, A. (2020, 12 15). Kasus Korupsi Mensos Juliari, Bansos Berbentuk Sembako Dinilai Perlu Dikaji. Retrieved from https://nasional.kompas.com/read/2020/12/09/14500411/kasus-korupsi-mensos-juliari-bansos-berbentuk-sembako-perlu-dikaji?page=all
  • RI, D. J. (2011). Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kemendikbud.

Namira Salma Al

Baca Juga