Jaran Kepang merupakan seni pertunjukan berupa tarian dengan menunggangi kuda yang terbuat dari anyaman bambu. Kuda tersebut dijepitkan antara dua kaki dengan penambahan aksesoris hingga bentuknya menyerupai kuda betulan. Jaran Kepang dilakukan oleh laki-laki yang terdiri dari empat orang, enam orang, hingga delapan orang. Pemainnya mengalami kesurupan atau kerasukan yang memang menjadi daya tarik dan perihal dasar pertunjukan Jaran Kepang. Perubahan kesurupan yang awalnya lembut menjadi makin liar mengikuti ritme musik pengiring yang makin cepat. Hal itu diawali dengan suara lecutan dari pecut atau cemeti.
Kesenian Jaran Kepang banyak dijumpai di daerah Jawa Timur terutama di Tulungagung, Blitar, Nganjuk, Kediri dan sekitarnya. Belum diketahui pasti dimana seni Jaran Kepang barasal. Pastinya bukan berasal dari satu wilayah saja. Jaran Kepang menjadi salah satu bentuk kesenian yang dipunyai masyarakat di pedesaan wilayah Jawa. Seni ini lahir di daerah warga yang berkultur agraris. Masyarakat yang mengutamakan hasil pertanian terkait kehidupan lingkungan dengan yang lainnya dibentuk melalui kegiatan ritual.
Di pedesaan wilayah Jawa tersebut masih meyakini adanya ritual selamatan. Ritual ini biasanya mendatangkan berbagai kesenian, seperti kesenian Jaran Kepang. Tradisi ini pun berkembang dalam masyarakat peralihan dari pertanian menuju urbanisasi. Hal itu disebabkan oleh politik ekonomi pertanian dan perdagangan pemerintah kolonial.
Mulanya, Jaran Kepang bukanlah seni pertunjukan namun sebagai tahap ritual simbolis seperti penolak bala, pengharap keberhasilan panen, peminta kesuburan pertanian, dan lainnya. Seiring perkembangan jaman, simbolisasi tetap bertahan meski terdapat beberapa fungsi yang telah berubah. Kini, Jaran Kepang dijadikan sebagai seni pertunjukan yang mengiringi acara tertentu, seperti pernikahan, sunatan, maupun tampil dalam acara pentas kesenian.
Di era modern kini, seni pertunjukan Jaran Kepang sudah mulai memudar. Sebelumnya, banyak yang menampilkan kesenian Jaran Kepang pada acara-acara tertentu. Namun, kini mulai kalah saing dengan hiburan yang lebih modern yang mencuri perhatian masyarakat. Banyak grup kesenian Jaran Kepang yang mulai bubar dan hanya beberapa yang bertahan. Pada dasarnya, beberapa kelompok seni ini masih menjaga kemurnian seni Jaran Kepang meskipun perubahan zaman tidak dapat dihindari.
Perubahan itu mendorong mereka untuk mengikuti permintaan pasar juga permintaan konsumen. Bagaikan suatu kebudayaan, seni pun juga berkembang secara dinamis. Tak dapat dipungkiri, permintaan tersebut seolah menuntut seni Jaran Kepang mengalami pembaruan. Meski sisi yang paling menarik memiliki daya magis yang tak boleh dihilangkan. Namun, negara dan agama tidak sepenuhnya menginginkan sisi berbau magis (kesurupan) tersebut menjadi hal yang paling utama dalam seni Jaran Kepang.
Pemenuhan kebutuhan dari seni pun bahkan menjadi sebuah realita kehidupan. Para pelaku seni Jaran Kepang berusaha sekeras mungkin dalam bertahan hidup juga mempertahankan tradisi kesenian. Mantan pelaku seni Jaran Kepang ataupun individu yang menyukai seni ini menjadikannya lahan mencari nafkah sebagai pengamen jalanan.
Hanya dengan berbekal hiasan tubuh dan pakaian yang khas Jaran Kepang dan tak lupa kuda yang terbuat dari anyaman bambu. Aksi ini dipertunjukan dengan tarian yang diiringi musik yang diputar dengan sound system mini dan suara lecutan pecut atau cemeti. Tak jarang aksi ini hanya memperoleh imbalan yang sedikit dibandingkan jerih payah yang dilakukannya.
Dalam hal ini, seni Jaran Kepang telah mengalami banyak perubahan yang tidak lagi berdasar pada fungsi ritual ketika sisi uatamanya yakni kesurupan telah dimimalisir. Upaya para pelaku seni ini sejalan dengan mempertahankan tradisi.
Dapat dilihat dari berbagai upaya seniman tersebut turun ke jalanan untuk mengamen. Seharusnya, pengamen jalanan yang merupakan pelestari kesenian Jaran Kepang pantas diberi penghargaan karena telah memperjuangkan kesenian khas Indonesia khususnya daerah Jawa Timur yang mulai memudar ditelan zaman. Dibalik himpitan ekonomi, mereka memperjuangkan pundi-pundi rupiah melalui seni Jaran Kepang demi bertahan hidup di negeri sendiri.
Pemerintah kurang peduli dengan keberadaan seni Jaran Kepang. Pemerintah harusnya turun tangan dengan memberi penghargaan kepada pengamen jalanan tersebut karena sudah mendedikasikan seni sebagai jalan hidupnya.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
13 Warisan Budaya Tanah Air Diakui UNESCO, Fadli Zon: Indonesia Siap Jadi Kiblat Budaya Dunia
-
Seni Menyampaikan Kehangatan yang Sering Diabaikan Lewat Budaya Titip Salam
-
Melihat Perjalanan Perupa Korsel Hyun Nahm di Indonesia Lewat Pameran Kawah Ojol
-
Destinasi Liburan Akhir Tahun, Menikmati Tradisi Natal di 3 Negara Asia
-
Etika Menjaga Kelestarian Destinasi Alam
News
-
Dari Kelas Berbagi, Kampung Halaman Bangkitkan Remaja Negeri
-
Yoursay Talk Unlocking New Opportunity: Tips dan Trik Lolos Beasiswa di Luar Negeri!
-
See To Wear 2024 Guncang Industri Fashion Lokal, Suguhkan Pengalaman Berbeda
-
Harumkan Indonesia! The Saint Angela Choir Bandung Juara Dunia World Choral Championship 2024
-
Usaha Pandam Adiwastra Janaloka Menjaga, Mengenalkan Batik Nitik Yogyakarta
Terkini
-
Janji Menguap Kampanye dan Masyarakat yang Tetap Mudah Percaya
-
Kehidupan Seru hingga Penuh Haru Para Driver Ojek Online dalam Webtoon Cao!
-
4 Rekomendasi OOTD Rora BABYMONSTER yang Wajib Kamu Sontek untuk Gaya Kekinian
-
Dituntut Selalu Sempurna, Rose BLACKPINK Ungkap Sulitnya Jadi Idol K-Pop
-
Ulasan Film The French Dispact: Menyelami Dunia Jurnalisme dengan Gaya Unik