Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 telah dijelaskan, bahwasannya pemerintah daerah merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam lingkup daerah yang terdiri atas kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya berdasarkan prinsip dan sistem negara Indonesia.
DPRD dan kepala daerah dalam hal ini diposisikan sebagai mitra sejajar dengan fungsi yang berbeda, yang mana DPRD mempunyai fungsi untuk merumuskan peraturan daerah (perda), anggaran dan pengawasan, sedangkan kepala daerah mempunyai fungsi untuk melaksanakan peraturan daerah dan kebijakan daerah.
Dalam perannya sebagai badan perwakilan, terlebih khusus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, implementasi mengenai peran dari DPRD disederhanakan dalam tiga fungsi yaitu antara lain fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Dengan adanya fungsi-fungsi tersebut yang telah dimiliki oleh DPRD sangat diharapkan dan mampu untuk melahirkan output yang baik dan maksimal agar terwujud adanya suatu peraturan daerah yang aspiratif dan responsif, anggaran belanja daerah yang efektif dan efisien, dan yang terakhir agar terwujud suasana pemerintahan daerah yang transparan dan akuntabel.
Namun, berdasarkan ketiga fungsi dari lembaga DPRD yang telah disebutkan diatas, pada kenyataannya ada beberapa oknum DPRD yang dinilai telah gagal dalam mempertanggungjawabkan fungsi-fungsi tersebut yang telah dimilikinya. Berbagai kritik dan keluhan telah banyak dilontarkan dari kalangan masyarakat seperti buruh, mahasiswa dan kaum intelektual lainnya. DPRD seharusnya dapat mengontrol jalannya pemerintahan agar senantiasa sejalan dengan keinginan rakyat, bukan malah sebaliknya seperti yang terjadi selama ini yang mana lembaga DPRD telah merusak citra dan kepercayaan masyarakat. Lembaga DPRD telah banyak melakukan penyimpangan seperti melakukan kasus korupsi dalam pembuatan anggaran dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya kasus korupsi yang menyeret anggota DPRD Kota Malang pada bulan September tahun 2018 lalu, yang mana sebanyak 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang telah ditangkap oleh pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan adanya kasus korupsi APBD-P pemerintah Kota Malang tahun anggaran 2015 yang menyebabkan proses pembangunan di Kota Malang terancam berhenti atau lumpuh total.
Dengan adanya kejadian tersebut telah memberi dampak akan kekhawatiran bagi masa depan pemerintahan daerah yang ada di Indonesia, mengingat pada saat ini banyak sekali dari aparatur pemerintahan yang telah terjerat tindak pidana kasus korupsi, yang mana dalam hal ini mereka akan menghalalkan segala cara agar mendapat keuntungan tanpa memperdulikan pihak siapakah yang akan ia rugikan. Adanya hal ini sangat disesalkan bagi semua pihak karena adanya perilaku kolektif yang bersifat menyimpang dan cenderung telah melanggar aturan hukum yang berlaku dari anggota DPRD. Elite politik yang seharusnya menjadi teladan dan panutan bagi masyarakat ternyata telah melakukan perilaku yang tidak terpuji dengan cara memperkaya diri sendiri.
Maraknya kasus korupsi dalam skala besar di kalangan anggota DPRD tidak bisa terus ditolerir. Contoh kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD Kota Malang harus menjadi peringatan dan pelajaran bagi seluruh anggota DPRD untuk berhenti melakukan tindak pidana korupsi. Berbagai tindakan dan langkah pencegahan perlu dilakukan untuk menghindari kejadian yang memalukan seperti ini terulang lagi di masa depan.
Optimalisasi peran DPRD merupakan keniscayaan yang harus segera dilakukan agar dapat menjalankan tugas, wewenang dan haknya dengan baik dan efektif sebagai badan legislatif daerah. Namun tidak kalah penting juga bahwasannya pemahaman anggota DPRD mengenai etika politik juga harus ditingkatkan agar peran DPRD dalam penyelenggaran pemerintahan daerah akan semakin optimal, sehingga dalam pelaksanaan fungsi pengawasan, legislasi dan penganggaran dapat dijalankan secara etis dan proporsional.
Oleh: Mumtaza Azzahiroh / Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang
Baca Juga
Artikel Terkait
News
-
See To Wear 2024 Guncang Industri Fashion Lokal, Suguhkan Pengalaman Berbeda
-
Harumkan Indonesia! The Saint Angela Choir Bandung Juara Dunia World Choral Championship 2024
-
Usaha Pandam Adiwastra Janaloka Menjaga, Mengenalkan Batik Nitik Yogyakarta
-
Kampanyekan Gapapa Pakai Bekas, Bersaling Silang Ramaikan Pasar Wiguna
-
Sri Mulyani Naikkan PPN Menjadi 12%, Pengusaha Kritisi Kebijakan
Terkini
-
Byeon Woo Seok Nyanyikan Sudden Shower di MAMA 2024, Ryu Sun Jae Jadi Nyata
-
Pep Guardiola Bertahan di Etihad, Pelatih Anyar Man United Merasa Terancam?
-
3 Drama Korea yang Dibintangi Lim Ji Yeon di Netflix, Terbaru Ada The Tale of Lady Ok
-
Review Ticket to Paradise: Film Hollywood yang Syuting di Bali
-
Ulasan Novel Under the Influence Karya Kimberly Brown, Kisah Cinta dan Kesempatan Kedua