Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Zumar Awwabul K
Ilustrasi siswa putus sekolah/ dok: google

Sektor pendidikan terkena imbas yang luar biasa dari pandemi Covid-19. Hampir setahun, anak-anak terpaksa belajar dari rumah dengan menggunakan peralatan teknologi digital. Metode belajar mengajar yang terbilang baru ini tentu harus didukung ketersediaan infrastruktur pendidikan secara daring, seperti perangkat smartphone, laptop hingga fasilitas internet.

Namun selama pembelajaran jarak jauh, banyak siswa justru putus sekolah. Dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), jumlah anak yang putus sekolah meningkat drastis terhitung sejak Januari-tahun 2021. Angka putus sekolah ini kebanyakan menimpa anak-anak dari kalangan keluarga miskin.

Berikut ini 5 temuan KPAI terkait kasus anak putus sekolah di masa pandemi:

1.Siswa putus sekolah karena menikah

Jumlah siswa yang berhenti sekolah karena menikah jumlahnya mencapai 33 peserta didik dari kabupaten Seluma, Kota Bengkulu dan Kabupaten Bima. Rata-rata siswa yang menikah berada di kelas XII, yang beberapa bulan lagi ujian kelulusan sekolah.

Karena masih PJJ, maka mayoritas yang sudah menikah tanpa sepengetahuan pihak sekolah. Wali kelas atau guru Bimbingan Konseling (BK) baru mengetahui setelah dilakukan “home visit” karena tidak pernah lagi ikut PJJ.

Angka 33 di awal tahun 2021 merupakan angka yang cukup tinggi. Pada tahun 2020 dari hasil pengawasan penyiapan sekolah tatap muka diperoleh data angka putus sekolah mencapai 119 kasus, yang wilayahnya meliputi Kabupaten Bima, Sumbawa Barat, Dompu, Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Utara, kota Mataram, Kota Bengkulu, Seluma, Wonogiri, Jepara, dan kabupaten Bandung.

2.Siswa putus sekolah karena bekerja

Sejumlah siswa SMK dan SMP terpaksa bekerja karena orangtua terdampak secara ekonomi selama pandemi. Sehingga anak harus membantu ekonomi keluarga. Ada 1 siswa SMPN di Cimahi bekerja sebagai tukang bangunan demi membantu ekonomi keluarganya. Dan 1 siswa di Jakarta yang bekerja di percetakan membantu usaha orangtuanya karena sudah tidak memiliki karyawan sejak pandemi dan sepinya orderan cetakan.

3.Siswa putus sekolah karena menunggak SPP selama berbulan-bulan

Kasus menunggaknya iuran SPP yang mengadu ke KPAI jumlahnya cukup tinggi, terhitung mulai Maret 2020 s.d. Februari 2021 ada 34 kasus. Dari 34 kasus tersebut, 3 diantaranya berasal dari sekolah yang sama. Hampir 90% kasus berasal dari sekolah swasta dan 75% kasus berada dari jenjang SMA/SMK.

Penunggak sekolah terjadi karena dampak pandemic di mana ekonomi keluarga dari anak-anak tersebut terdampak secara signifikan, memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit, sehingga bayar SPP yang dikorbankan. Rata-rata yang mengadu sudah tidak membayar SPP 6-11 bulan, factor ekonomi keluarga yang terpuruk selama pandemic menjadi penyebab utama.

Pihak sekolah swasta yang juga turut terdampak dari penunggakan tersebut, umumnya melayangkan surat tagihan kepada orangtua siswa dan memberikan syarat harus membayar dengan mengangsur. Namun, karena memang tidak ada uang untuk membayar sama sekali, maka banyak orangtua memutuskan mengeluarkan anaknya dari sekolah.

4.Kecanduan game online

Saat pengawasan di kota Cimahi, KPAI mendapatkan data bahwa ada 2 anak kelas 7 SMP yang berhenti sekolah karena kecanduan game online, satu diantaranya berhenti sementara (cuti) selama 1 tahun untuk proses pemulihan secara psikologi.

Kisah dari para guru di beberapa daerah juga menunjukkan fakta yang mengejutkan, bahwa anak-anak yang pagi hari tidak muncul di PJJ online ternyata masih tidur karena main game online hingga menjelang subuh.

5.Siswa meninggal dunia

Hasil pemantauan kasus siswa putus sekolah karena meninggal dunia terjadi di salah satu SMAN di Kabupaten Bima karena terseret arus ketika bencana banjir Januari lalu, dan satu lagi berasal dari salah satu SMK Swasta di Jakarta yang meninggal karena kecelakaan motor. Jadi secara data KPAI, ada 2 siswa yang meninggal pada semester genap tahun ajaran 2020/2021.

Zumar Awwabul K

Baca Juga