Scroll untuk membaca artikel
Bimo Aria Fundrika | Zulhijjah Ratnauly
Ilustrasi seorang volunteer merawat bumi (Pexels/Mikhail Nilov)

Kalau ditanya arti “merdeka”, banyak dari kita langsung terbayang masa lalu: pejuang angkat senjata, teriak “Merdeka!”, lalu kibarkan bendera. Tapi buat anak muda hari ini, merdeka punya makna lain.

Bukan lagi soal mengusir penjajah, melainkan membebaskan diri dari hal-hal yang diam-diam juga menjajah: sampah, polusi, dan budaya konsumtif yang bikin bumi ngos-ngosan.

Menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) 2024, Indonesia menghasilkan 34,63 juta ton sampah per tahun. Sayangnya, baru 15,53 juta ton yang berhasil dikelola. Sumber. Sementara itu, Jakarta bahkan sempat tercatat sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Sumber.

Di saat bersamaan, e-commerce tumbuh pesat dan budaya “belanja demi diskon” makin susah dibendung. Ini bukan sekadar gaya hidup; ini bentuk penjajahan baru—yang ironisnya kita pelihara sendiri.

Lebih Keren Kalau Nggak Nyampah

Ilustrasi seseorang membawa tumbler (Pexels/Ivan Samkov)

Anak muda sering dicap “cuma main HP”, padahal justru lewat HP kita bisa bikin gerakan. Dari konten edukasi tentang ecobrick sampai kampanye viral #BawaTumblermuSendiri, semua lahir dari kreativitas digital.

Yang keren itu bukan cuma outfit of the day, tapi juga kebiasaan bawa botol minum sendiri. Bayangin, lagi nongkrong di mall, haus, terus lo sodorin botol ke mbak kasir buat diisi ulang. Simpel, sehat, ramah lingkungan, dan lo nggak perlu malu. Jangan pernah ngetawain orang yang bawa botol ke mana-mana, justru itu keren. Ingat, limbah plastik dari minuman sekali pakai datangnya dari kita juga.

Kebebasan sejati ada saat kita nggak lagi dikuasai rasa malas untuk mikir, “Ah, cuma satu plastik kok.” Karena dari “cuma satu plastik” itulah gunung sampah tumbuh. Merdeka itu saat kita bisa bilang: “Gue nggak butuh plastik itu.”

Bernapas Itu Hak Asasi

Ilustrasi beraktivitas menggunakan sepeda (Pexels/RITESH SINGH)

Kebayang nggak, gimana absurdnya kalau di masa depan orang Indonesia harus beli oksigen kayak beli air mineral? Kedengarannya kayak film fiksi, tapi polusi bikin hal itu bukan mustahil.

Data IQAir 2025 menunjukkan, Jakarta sempat mencatat indeks kualitas udara (AQI) mencapai 122 (kategori tidak sehat untuk kelompok sensitif). Artinya, udara yang kita hirup sehari-hari sudah tidak lagi aman. https://www.iqair.com/id/indonesia/jakarta

https://megapolitan.kompas.com/read/2025/07/05/07133591/kualitas-udara-jakarta-hari-ini-tidak-sehat-untuk-kelompok-sensitif#:~:text=KOMPAS.com%20%2D%20Pada%20tanggal%205,buruk%20dari%20kualitas%20udara%20ini.&text=Baik%20(AQI%200%2D50):,parah%20pada%20kesehatan%20dan%20lingkungan.

Tapi, generasi muda bisa ikut jadi solusi lewat gaya hidup. Naik sepeda bukan cuma olahraga, tapi lifestyle. Pilih transportasi umum bukan karena miskin gaya, tapi karena sadar bumi butuh napas. Bahkan kalaupun tetap harus naik kendaraan pribadi, setidaknya kita bisa mulai bagi tumpangan (carpooling) biar emisi nggak numpuk.

Merdeka berarti bebas dari ketergantungan pada kendaraan pribadi yang bikin udara kita abu-abu. Karena bernapas itu hak asasi, dan kita semua berhak menghirup udara bersih.

Belanja Boleh, Tapi Jangan Jadi Budak Diskon

Ilustrasi diskon penjualan baju (Pexels/Stanislav Kondratiev)

Siapa sih yang nggak pernah kalap waktu lihat “diskon 7.7” atau “free ongkir seharian”? Rasanya tangan otomatis klik “check-out”. Tapi sadar nggak, barang-barang itu ujung-ujungnya cuma numpuk?

Contoh paling dekat: baju. Kita sering beli baju baru biar nggak dibilang itu-itu mulu, padahal lemari sudah penuh. Akhirnya apa? Baju lama jadi sempit, kusam, atau sobek. Paling banter diturunin jadi kain lap, lalu kalau kain lap sudah jelek, berakhir di tong sampah. 

Padahal, menurut laporan United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2021, industri fesyen menyumbang sekitar 2-8% emisi karbon global setiap tahun. Angka ini bahkan lebih besar daripada gabungan emisi penerbangan internasional dan kapal laut. Jika pola konsumsi tidak berubah, emisi dari sektor fesyen diproyeksikan bisa menghabiskan seperempat anggaran karbon dunia pada 2050. Jadi, setiap kali kita ambil kaos obral tanpa mikir, ada jejak polusi yang ikut kita “beli”. https://www.unep.org/news-and-stories/story/putting-brakes-fast-fashion

https://earth.org/fast-fashion-and-emissions-whats-the-link/

Merdeka dari overconsumption itu artinya berani bilang, “cukup.” Nggak perlu punya 30 kaos kalau yang dipakai itu-itu aja. Lebih keren kalau bisa mix and match baju lama, thrifting, atau bikin DIY dari barang yang udah ada.

Dan yang paling penting: berhenti gengsi sama kebiasaan baik buat bumi. Misalnya bawa botol sendiri, pakai ulang totebag, atau belanja seperlunya aja. Jangan malu, jangan minder. Justru yang berani keluar dari kebiasaan konsumtif itulah yang benar-benar merdeka. Karena sejatinya, lo punya kendali atas barang-barang, bukan barang-barang yang ngatur lo.

Manifesto Generasi Merdeka

Ilustrasi manifesto generasi merdeka (Pexels/Santi Drm)

Kita mungkin bukan generasi yang turun ke medan perang, tapi kita tetap punya medan perjuangan: bumi ini sendiri. Suara anak muda hari ini adalah deklarasi sederhana tapi lantang:

Kami merdeka kalau…

  • Bisa hidup tanpa nyampah sembarangan.
  • Bisa bernapas tanpa takut udara beracun.
  • Bisa belanja tanpa jadi budak diskon.

Itulah “kemerdekaan” ala anak muda: sederhana, tapi nyata. Karena pada akhirnya, kemerdekaan sejati bukan hanya terbebas dari penjajah, tapi juga dari kebiasaan yang merusak bumi. Kalau dulu para pejuang mengorbankan jiwa raga demi tanah air, sekarang giliran kita menjaga tanah air supaya tetap layak dihuni. Jadi, tugas anak muda hari ini bukan sekadar meneriakkan “Merdeka!”, tapi membuktikan lewat aksi nyata bahwa kita benar-benar bebas: bebas dari sampah, bebas dari polusi, dan bebas dari overconsumption.

Zulhijjah Ratnauly

Baca Juga