Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ruslan Abdul Munir
Dialog kritis Suara.com x CORE Indonesia dilaksanakan sebagai bentuk respons dari gempuran tarif AS yang membuat perekonomian Indonesia semakin berada di ujung tanduk (Dok. Pribadi/Ruslan Abdul Munir)

Situasi ekonomi global tengah diguncang oleh kebijakan tarif yang diumumkan Presiden Amerika Serikat pada awal April lalu.

Suara.com bekerja sama dengan Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menggelar diskusi publik bertajuk “Gempuran Tarif AS: Ekonomi Indonesia di Ujung Tanduk? Dialog Kritis Mencari Solusi" pada Selasa (20/5/2025).

Kegiatan ini menjadi ruang dialog penting untuk membahas kebijakan tarif yang diumumkan Presiden Amerika Serikat pada 2 April 2025, serta dampaknya terhadap perekonomian Indonesia khususnya Jawa Barat yang menjadi pusat ekspor utama ke AS.

Acara dimulai dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari akademisi, pelaku industri dan UMKM, rekan-rekan media lokal dan nasional, hingga mahasiswa dari perwakilan universitas.

Para narasumber yang hadir merupakan pakar di bidang ekonomi, di antaranya Mohammad Faisal, Ph.D. (Direktur Eksekutif CORE Indonesia), Ning Wahyu Astutik (Ketua DPD APINDO Jawa Barat), dan Prof Dr. Rini Indiastuti (Guru Besar Ekonomi Industri & Perbankan UNPAD).

Pematerian pertama disampaikan oleh Mohammad Faisal, Ph.D. Beliau menjelaskan bahwa dampak yang paling terasa dari kebijakan tersebut mencakup terganggunya aktivitas ekspor dan impor, tekanan terhadap nilai tukar rupiah, serta menurunnya minat investasi asing maupun domestik.

Menurutnya, situasi ini bisa berakibat serius bagi perekonomian nasional bila tidak ditangani dengan langkah antisipatif yang cepat dan terukur.

Selain itu beliau juga menggarisbawahi bahwa konflik dagang AS-Tiongkok menciptakan ketidakpastian besar bagi perekonomian global.

Faisal juga menyampaikan bahwa perlambatan pertumbuhan global, ditambah tekanan inflasi di negara maju, berdampak langsung pada menurunnya permintaan ekspor Indonesia.

Beberapa usulan rekomendasi dari Faisal guna menjaga industri domestik dan stabilitas makroekonomi serta perluasan pasar ekspor adalah dengan melakukan penguatan industru domestik, menjaga stabilitas makroekonomi, mendorong penetrasi pasar AS serta diversifikasi pasar ekspor.

Sementara itu, Ketua DPD Apindo Jawa Barat, Ning Wahyu Astutik, tampil membawakan perspektif dari sisi pelaku usaha. Dalam penyampaiannya, beliau secara tegas menyuarakan keresahan kalangan pengusaha yang saat ini.

Beliau mengatakan bahwa pelaku usaha saat ini berhadapan dengan ketidakpastian yang tinggi, bukan hanya karena kebijakan luar negeri, tetapi juga karena persoalan domestik yang belum terselesaikan.

Beliau mengkritisi ketidakjelasan regulasi di Indonesia yang kerap tidak sinkron antarkementerian dan lembaga. Ketidaksinkronan ini, menurutnya, membuat pelaku usaha bingung dan kesulitan dalam menjalankan bisnis secara efisien.

Lebih lanjut, Ning menyebut bahwa perizinan usaha di Indonesia masih kurang transparan dan kerap kali birokratis. Masalah di sektor ketenagakerjaan pun tidak luput dari sorotan, terutama karena sering dijadikan bahan politisasi oleh para aktor politik.

Kondisi ini diperburuk dengan adanya intervensi yang berlebihan terhadap hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja. Di lapangan, ia menambahkan, masih banyak terjadi praktik premanisme dan pungutan liar yang justru menghambat iklim usaha yang sehat, khususnya di wilayah Jawa Barat.

Guru Besar Ekonomi Industri dan Perbankan Universitas Padjadjaran, Prof. Rini Indiastuti, memfokuskan paparannya pada kondisi spesifik industri Jawa Barat.

Ia menegaskan bahwa tren peningkatan ekspor dari provinsi ini memberikan kontribusi signifikan terhadap PDRB, khususnya melalui sektor tekstil, pakaian jadi, otomotif, dan alas kaki yang sebagian besar pasarnya adalah AS dan negara-negara ASEAN. Namun, tren positif ini kini terancam.

Sejumlah perusahaan telah mengalami kerugian bahkan menutup usahanya dan melakukan pemutusan hubungan kerja akibat peningkatan tarif dan mahalnya bahan baku impor.

Kebijakan tarif AS dinilai memiliki dampak ganda, baik negatif maupun positif. Di satu sisi, kenaikan harga bahan baku akibat ketergantungan impor menurunkan daya saing produk dalam negeri.

Namun di sisi lain, ada peluang positif berupa realokasi industri dari Tiongkok ke Indonesia sebagai bagian dari penataan ulang rantai pasok global. Beberapa perusahaan besar seperti Wuling dan BYD telah merencanakan pembangunan atau perluasan pabriknya di Jawa Barat untuk menopang produksi ekspor.

Prof. Rini juga menyampaikan beberapa tantangan bagi Jawa Barat adalah dalam hal peningkatan skills angkatan kerja, penguasaan teknologi untuk otomatisasi dan skala ekonomi, mengembangkan ekosistem industri yang sehat, melalui kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan sektor bisnis.

Selain itu yang tak kalah penting adalah efisiensi biaya industri, dengan dukungan dan insentif pemerintah untuk pelaku usaha agar mampu beradaptasi pada perubahan rantai pasokan global. Serta efisiensi perusahaan skala menengah kecil terkendala oleh upah minimum yang meningkat dan biaya logistik dan lainnya. 

Pemilihan Kota Bandung sebagai lokasi kegiatan ini dinilai sangat relevan, mengingat Jawa Barat merupakan salah satu kontributor ekspor terbesar nasional, terutama di sektor tekstil, garmen, dan otomotif.

Diskusi ini pun menjadi momentum yang penting untuk menyatukan pandangan antara pengambil kebijakan, pelaku usaha, dan akademisi agar mampu merumuskan langkah konkret dan berkelanjutan. 

Melalui diskusi ini, seluruh narasumber sepakat bahwa meski tantangan ekonomi ke depan tidak ringan, Indonesia masih memiliki peluang besar untuk memperkuat pondasi ekonominya.

Namun peluang tersebut hanya bisa diraih jika ada keberanian dan kemauan kuat untuk melakukan reformasi struktural, mengubah strategi, membenahi tumpang tindih regulasi, dan menciptakan iklim usaha yang adil dan transparan bagi semua pihak.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Ruslan Abdul Munir