Bimo Aria Fundrika
Ilustrasi dampak positif energi terbarukan.[Pixabay/Geralt]

Indonesia resmi meluncurkan peta jalan dekarbonisasi industri dengan target emisi nol bersih pada 2060. Dokumen ini dipandang sebagai langkah krusial untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan tuntutan global terhadap standar emisi yang semakin ketat.

Peta jalan yang diperkenalkan dalam Annual Indonesia Green Industry Summit (AIGIS) 2025 ini menargetkan sembilan subsektor utama penyumbang emisi: semen, besi dan baja, pupuk, kimia, pulp dan kertas, tekstil, kaca dan keramik, otomotif, serta makanan dan minuman.

Saat ini, hampir separuh emisi industri berasal dari energi langsung, 16 persen dari listrik yang dibeli, dan 38 persen dari proses kimiawi produksi.

Jika dijalankan konsisten, strategi dekarbonisasi ini bisa memangkas 66,5 juta ton CO2e pada 2035 dan hampir 290 juta ton CO2e pada 2050. Pendekatannya mencakup efisiensi energi, substitusi bahan bakar, elektrifikasi dengan energi rendah karbon, modernisasi proses, hingga penerapan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon.

Ilustrasi energi baru terbarukan (EBT). (ICDX)

Lebih dari sekadar agenda lingkungan, peta jalan ini menjadi instrumen ekonomi. Transisi energi akan menentukan apakah industri Indonesia mampu bersaing di pasar global, menarik investasi, sekaligus membuka lapangan kerja hijau. Tanpa transformasi, produk nasional berisiko tertinggal dari standar emisi yang kini diterapkan di berbagai negara.

Pemerintah menjanjikan tindak lanjut konkret. Laporan teknis akan diterbitkan September 2025, diikuti laporan kebijakan pada Maret 2026. Regulasi resmi berupa Peraturan Menteri akan mulai berlaku 2026, diterapkan bertahap sesuai subsektor industri.

Peta jalan ini dirancang sebagai dokumen hidup yang terus diperbarui, menegaskan bahwa dekarbonisasi bukan sekadar visi jangka panjang, tetapi strategi industri yang akan mengubah arah pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa dekade mendatang.