M. Reza Sulaiman
Ilustrasi Oyster atau Tiram. (Unsplash)

Di dunia solusi krisis iklim, ada satu praktik yang sering banget disebut-sebut sebagai "jawaban ajaib": akuakultur alias budidaya perairan. Teorinya sih keren banget, kita bisa dapat sumber makanan sehat sekaligus menekan jejak karbon.

Tapi ternyata, praktiknya nggak sesimpel itu. Selama bertahun-tahun, para ilmuwan justru "ribut" soal apakah akuakultur ini beneran pahlawan atau malah jadi penjahat baru. Dan "terdakwa" utamanya? Si tiram yang sering kita lihat di menu-menu restoran mahal.

Dilema Si Tiram: Pembangun Cangkang vs. Pelepas Karbon

Jadi, kenapa sih tiram ini jadi bahan perdebatan? Logika lamanya begini:

Sisi Jahatnya: Saat tiram membangun cangkangnya yang keras itu, proses kimianya (kalsifikasi) ternyata ikut melepaskan karbon dioksida (Co2) ke air. Belum lagi, saat bernapas (respirasi), dia juga mengeluarkan Co2.

Jadi, dulu banyak yang mikir kalau budidaya tiram dalam skala besar justru bisa menambah emisi karbon.

Plot Twist dari Riset Terbaru: Ternyata Dia 'Tukang Bersih-bersih' yang Hebat!

Nah, di sinilah letak plot twist-nya. Sebuah riset terbaru yang diterbitkan di jurnal super bergengsi Proceedings of the National Academy of Sciences datang dengan temuan yang membalikkan semua tuduhan itu.

Tim peneliti dari Tiongkok melakukan eksperimen keren selama 120 hari. Mereka menaruh tiram di tangki-tangki besar dan mengamati perubahan karbon di airnya. Dan hasilnya? Bikin melongo!

Ternyata, ada satu "kekuatan super" tiram yang selama ini terlewatkan. Saat menyaring makanannya (fitoplankton), tiram ini memicu sebuah proses di mana produksi organik di sekitarnya jadi meningkat.

Proses ini menyerap karbon 2,39 kali lebih banyak daripada karbon yang tersimpan di cangkangnya!

Nggak cuma itu, air di dalam tangki tiram juga jadi lebih basa. Artinya, kemampuan air untuk menyerap Co2 dari udara jadi lebih tinggi. Jadi, si tiram ini nggak cuma "bersih-bersih" di dalam air, tapi juga bantu "menyedot" polusi dari udara.

Kepadatan Itu Kunci: Jangan Kebanyakan, Nanti Malah Nggak Efektif

Riset ini juga menemukan satu fakta penting: kepadatan itu kunci. Ternyata, menaruh tiram sebanyak-banyaknya di satu tempat itu bukan ide yang bagus.

Kepadatan Moderat: Ini yang paling efektif. Kepadatan yang pas justru bisa meningkatkan produktivitas fitoplankton dan memaksimalkan penyerapan karbon.

Kepadatan Berlebihan: Kalau terlalu padat, tiram-tiram ini malah akan berebut makanan dan menekan pertumbuhan fitoplankton. Hasilnya? Efisiensi penyerapan karbonnya justru menurun.

Ini adalah pelajaran penting bagi para pembudidaya: more isn't always better.

Kesimpulannya Gimana?

Riset ini seolah memberikan "surat pengampunan" bagi si tiram. Ia bukan lagi "penjahat" karbon, tapi justru salah satu "pahlawan" potensial dalam perang melawan krisis iklim.

Budidaya tiram yang dikelola dengan baik ternyata bisa memberikan manfaat ganda: sumber pangan yang berkelanjutan dan kontribusi nyata dalam menyerap emisi.

Jadi, lain kali kamu makan tiram, kamu bisa menikmatinya dengan sedikit rasa bangga. Kamu bukan cuma lagi makan seafood enak, tapi juga mendukung "pahlawan" kecil yang diam-diam sedang membantu membersihkan planet kita.

Penulis: Muhammad Rian Sabiti