Tak hanya di Sumatera dan Aceh, di desaku, Kencong, Jember, juga kebagian bencana banjir. Gubukku menjadi salah satu dari 25 rumah warga yang terendam air bah setinggi 50 sampai 150 sentimeter. Banjir kali ini disebabkan jebolnya tangkis Sungai Tanggul. Tangkis sepanjang 50 meter dan bantaran sungai sepanjang 35 meter yang dibangun selama dua pekan dan masih berumur satu minggu itu kini jebol lagi diterjang air bah semalam.
Sebagian besar barang-barangku lenyap dibawa banjir. Bahkan, nasibku juga hanyut seiring deru arus air bandang. Rencana yang disusun dalam beberapa bulan oleh segenap dua keluarga besar menjadi berantakan. Bagaimana tidak? Acara paling sakral yang hanya sekali berlaku dalam hidupku tiba-tiba gagal total.
Undangan sudah disebar. Para keluarga dari pihak calon istriku sebentar lagi hadir. Sound system paling terkenal di kotaku kini telah terpajang di samping pentas besar dekat pelaminan. Kursi-kursi telah tertata rapi. Lampu-lampu telah terpasang. Tak lupa, pawang hujan jauh-jauh hari telah diundang. Sedangkan aku sendiri telah berhari-hari belajar mengucapkan qabiltu nikahaha watazwijaha bimahril mazdkur halan kepada seorang ustaz. Dan ternyata guyuran hujan semalam telah membalik agenda kami 180 derajat.
Ibu-ibu tetangga dan famili yang awalnya ramai saling canda sembari menata kue dan menyiapkan suvenir, serta anak-anak mereka yang gaduh keriangan bermain kejar-kejaran dan petak umpet, kini telah menjadi sunyi senyap. Sepi sekali. Para tetangga sibuk menyelamatkan diri beserta barang-barang berharga miliknya.
Saat tragedi seperti ini, mendahulukan kepentingan diri sendiri mendominasi jiwa mereka. Dan itu artinya segala tetek bengek acara pernikahanku bernasib nahas. Kue, suvenir, dokumen, dan sebagian properti pernikahan hanyut. Sebagian kursi hijau hasil sewaan itu juga terbawa arus banjir. Di rumah kini hanya tinggal aku, Bapak, Ibu, dan paman-bibiku dari Blitar.
“Bagaimana jika acaranya ditunda sampai banjir ini surut?” Aku mendekat dan bertanya kepada Bapak yang sedang sibuk mengantongi barang-barang yang tersisa.
“Ditunda bagaimana maksudmu? Inilah hari yang kita tunggu-tunggu selama tiga tahun. Ini hari terbaik untuk pernikahan kamu. Kamu kan juga ikut waktu Bapak ke rumah Mbah Joyo? Tidak mudah menentukan hari baik untuk pasangan pengantin. Butuh tirakat. Butuh perhitungan khusus yang menggabungkan nama dan kelahiran antara kamu dan calonmu,” jawab Bapakku sembari sekali-kali mengelap tangan kanannya yang basah. Jari tangan kirinya mengapit rokok kretek.
“Apa pun yang terjadi acara ini tetap akan dilanjutkan. Setelah calonmu serta rombongan nanti datang, kita langsung undang penghulu untuk menikahkanmu. Ini demi kamu. Hubunganmu sama calonmu biar langgeng,” imbuh Bapakku sambil menjentikkan puntung rokok.
“Bukankah kata ustazku setiap hari itu milik Tuhan dan barang pasti semua itu baik, Pak?” Sambil mendekat di samping Bapak, aku kembali bertanya.
“Aaaakh... sekarang bukan saatnya berdebat. Cari cara tuh bagaimana biar hujan segera reda dan banjir jadi surut!”
Dengan berdiam seribu kata, aku membalikkan tubuh. Aku berlalu meninggalkan Bapak. Seisi dada bergemuruh. Pikiran tetap berkecamuk. Banyak beban yang menggelayut.
“Nikah di tengah banjir seperti ini Bapak bilang hari terbaik. Hari terbaik kok malah menuai bencana,” gerutuku dalam hati. Aku tak habis pikir. Benar-benar tak habis pikir.
Sesuatu hal yang juga tak lepas dari pemikiranku adalah cara Bapak yang egois dalam merayakan resepsi pernikahan. Bapak yang kerjanya hanya pasang gigi palsu tetap ngotot hendak mengundang orkes dangdut kelas atas dengan satu artis bintang tamu yang kerap kali tampil di layar televisi. Sehingga aku dan Ibu harus menguras keringat mengemis belas kasihan para saudara untuk rela memberi pinjaman uang. Sekali lagi aku tak habis pikir.
Sudah berulang kali Ibu menasihati dan aku mencoba memberi masukan kepada Bapak bahwa utang yang ditanggung selama ini belum lunas terbayar. Bapak justru menjadi berang. Bayar utang urusan belakangan, katanya. Satu lubang belum tertutup malah menggali lubang baru dengan ukuran lebih besar.
Dan sebenarnya Bapak juga sudah tahu, setiap digelar orkes dangdut dipastikan mengundang para pemuda dan gangster mabuk sambil joget. Bahkan, sering pula mengakibatkan perkelahian yang berujung kematian. Lagi pula, kenapa Bapak tidak jaga perasaan Kiai Mahfudz, pengasuh pesantren yang hanya berjarak tujuh puluh lima meter dari rumah ini. Apa kata beliau dan masyarakat?
“Makanya, mungkin justru inilah yang terbaik bagi kita. Kembalikan saja kepada Yang Maha Kuasa. Ucapkan innalillahi wa inna ilaihi raji’un! Perbanyak istigfar! Insyaallah, ada hikmah di balik musibah ini,” pamanku yang jadi guru ngaji di Blitar itu menyulut lentera di hatiku.
Sekitar setengah jam kami berbincang seusai salat Asar di masjid pesantren Kiai Mahfudz. Letak pesantren Kiai Mahfudz terbangun di hamparan dataran lebih tinggi daripada pemukiman penduduk.
“Memang benar, kebanyakan daerah dilanda banjir itu karena salah satunya disebabkan curah hujan yang tinggi, hutan gundul, erosi tanah, pendangkalan sungai, rusaknya saluran air dan bendungan, maupun yang lain. Tapi lebih banyak lagi, terjadinya bencana, baik banjir, gempa bumi, angin topan, longsor, tsunami, dan lainnya, itu disebabkan karena kita yang terlalu banyak dosa, terlalu banyak menghirup napas di tengah kemaksiatan. Makanya, akhirnya Tuhan memerintahkan bencana itu untuk mengingatkan kita agar kembali ke jalan-Nya. Ini artinya, Tuhan masih cinta dan sayang kepada kita. Kita ditegur lewat bencana agar tidak kebablasan dalam gelimang dosa,” lanjut Paman sambil duduk di serambi masjid. Tanda hitam di keningnya mengisyaratkan beliau seorang ahli sujud.
“Jika pun bencana ini sebatas ujian dari Tuhan kepada kita, kita harus tabah menerima dan tawakal. Mungkin ini cara Tuhan untuk mengangkat kita ke derajat yang lebih tinggi dan mulia. Kita jangan seperti telur yang sekali banting langsung hancur. Tapi sebaiknya kita meniru mental bola tenis, semakin keras dibanting justru semakin tinggi memantul,” tambah Paman lagi. Tangan kanannya memegang kitab suci dan tangan kirinya memutar tasbih.
Sementara aku mencoba menyelami petuah-petuah mutiara hikmah yang ia uraikan. Sesekali aku memejamkan mata, membiarkan kalam bijak tersebut meresap dan tertanam dalam kekuatan hati.
Baca Juga
-
5 Tablet dengan RAM Besar Ramah Kantong, Spek Dewa Harga Mulai Rp 1 Jutaan
-
4 HP dengan Kamera Selfie Terbaik Rp 1 Jutaan, Bisa Bantu Ibu Rumah Tangga Ngonten Facebook
-
Realme Narzo 90 Baru Debut di India: Usung Baterai Badak, Triple Sensor Mirip iPhone 16 Pro
-
Fakta Baru dari Bocoran Redmi K90 Ultra: Baterai Jumbo Cepat Penuh
-
4 Rekomendasi Tablet RAM 8 GB Murah 2025, Spek Gahar dengan Harga Mulai Rp 2 Jutaan
Artikel Terkait
Cerita-fiksi
Terkini
-
Bukan Meninggalkan, Hanya Mendefinisikan Ulang: Kisah Anak Nelayan di Era Modern
-
Hidupmu Bukan Konten: Melawan Standar Sukses Versi Media Sosial
-
Hada Cable Car Taif: Menyusuri Pegunungan Al-Hada dari Ketinggian
-
Bagaimana Budaya Membentuk Cara Kita Berpikir dan Merasa
-
Udah Rajin Nge-gym tapi Hasilnya Zonk? Jangan-jangan 7 'Blunder' Ini Biang Keroknya!