Di ujung barat Nusantara, ada sebuah tanah yang indah dan kuat: Aceh. Provinsi yang sejak dulu dikenal sebagai “Serambi Mekkah”. Tempat lahirnya ulama-ulama besar, pusat perdagangan, dan daerah pertama yang menyatakan dukungan penuh terhadap kemerdekaan Indonesia.
Namun, di balik sejarah emas itu, ada lembaran kelam yang jarang dibicarakan. Bahkan, seiring berjalannya waktu, terkubur dan sengaja dilupakan. Inilah kisah tentang air mata dan darah yang jatuh antara tahun 1989 hingga awal 2000-an, masa ketika Aceh berada di bawah status Daerah Operasi Militer (DOM).
Apa Itu DOM Aceh?
DOM berarti bahwa kehidupan sipil dihentikan dan digantikan dengan kekuasaan militer. Kekuasaan tidak dipegang oleh polisi atau pemerintah daerah, melainkan oleh pasukan bersenjata yang menjadi pengatur keamanan, hukum, dan tindakan di lapangan.
Pada tahun 1989, pemerintah Orde Baru menetapkan Aceh sebagai DOM untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun, yang terjadi tidak sesederhana “menumpas pemberontakan.” Yang kemudian berlangsung adalah puluhan tragedi kemanusiaan.
Rumah Terbakar, Warga Dikumpulkan, Peluru Dijadikan Hukum
Di masa DOM, pasukan khusus, dengan pelatihan intelijen, penyamaran, dan operasi taktis, diturunkan ke Aceh. Ribuan operasi dilakukan. Dalam banyak kasus, warga biasa ikut menjadi korban hanya karena dituduh anggota GAM atau sekadar “diduga membantu.”
Kesaksian yang bertahan hingga kini menyebutkan rumah-rumah dibakar, warga dikumpulkan di lapangan atau di halaman desa, lalu ditanyai dengan todongan senjata:
“Kamu GAM, heh?”
“Kamu mata-mata GAM!”
Beberapa orang ditembak di tempat. Yang lain dibawa dan hilang tanpa jejak. Kuburan massal bermunculan di berbagai wilayah. Ada yang berisi puluhan jasad, ada yang mencapai ratusan.
Diperkirakan lebih dari 10.000 warga sipil meninggal dalam periode ini, 150.000 mengungsi, dan puluhan ribu lainnya mengalami penyiksaan, pelecehan, atau cacat fisik maupun mental seumur hidup.
Soeharto Jatuh, Tapi Aceh Belum Sembuh
Ketika Soeharto tumbang pada Mei 1998, harapan mulai muncul. Presiden Habibie mencabut status DOM, tetapi ketakutan masih bertahan. Konflik belum berakhir. Di era berikutnya, terutama pada masa pemerintahan Megawati, operasi militer kembali diperkuat. Ribuan orang lagi-lagi menjadi korban konflik baru.
Hingga hari ini, banyak janda, anak yatim, dan penyintas hidup tanpa kepastian. Luka mereka bukan hanya kehilangan keluarga, tetapi juga trauma yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Ironi: Sang Penolong dan Sang Korban
Aceh adalah provinsi pertama yang mendukung proklamasi tahun 1945. Aceh menyumbangkan emas untuk membeli pesawat pertama Indonesia. Pejuang-pejuangnya, lelaki maupun perempuan, berjuang bersama republik mempertahankan kemerdekaan.
Mulai dari Cut Nyak Dhien, Teuku Umar, Cut Meutia, Laksamana Malahayati, Panglima Polem, dan Teuku Cik di Tiro. Namun, ironisnya, wilayah yang berjasa itu justru menjadi salah satu yang paling menderita oleh kebijakan negara yang seharusnya ia lindungi.
Sementara itu, sebagian tokoh di tingkat pusat yang merancang atau mengawasi operasi DOM kini hidup nyaman, dihormati, bahkan ada yang mendapat gelar pahlawan nasional.
Kenapa Kita Perlu Tahu?
Sejarah bukan untuk membuka luka, tetapi agar kita tidak mengulang tragedi yang sama. Aceh telah berdamai sejak Perjanjian Helsinki tahun 2005, tetapi bekas lukanya masih ada. Mengingat DOM bukan berarti menyalahkan generasi masa kini, melainkan memahami bahwa perdamaian hari ini dibangun di atas harga yang sangat mahal.
Mereka yang kehilangan keluarga, masa kecil, rumah, dan harapan, layak didengarkan. Layak dikenang. Layak dihormati. Aceh bukan sekadar wilayah di peta. Hanya karena zaman berganti bukan berarti semua menjadi dongeng semata.
Cerita tentang keteguhan, penderitaan, dan keberanian untuk bertahan ketika dunia menutup mata layak mendapatkan keadilan. Bahkan jika keadilan itu tidak pernah ada, penting untuk tahu diri dan tidak menginjak luka yang jelas masih bernanah.
Baca Juga
-
Ulasan Novel Bandung After Rain: Cita Rasa Cinta dan Budaya Lokal yang Khas
-
Ulasan Novel I Think I Am Ugly: Stop Insecure, Kita Semua Cantik!
-
Ulasan Novel Pulang Nak, Ummi Rindu: Mimpi Buruk Para Anak Rantau
-
5 Keunikan Thaif: Kota Sejuk yang Menyimpan Sejarah Kelam dan Doa Rasulullah
-
Ulasan Novel Baby To Be: Panjangnya Jalan Perempuan untuk Menjadi Ibu
Artikel Terkait
-
Ketika Penghargaan Jadi Alat Propaganda: Negara Harus Tahu Batasnya
-
Sumarsih, Ibu yang Tak Pernah Lelah Menunggu Keadilan untuk Wawan
-
Mendagri Tito Dapat Gelar Kehormatan "Petua Panglima Hukom" dari Lembaga Wali Nanggroe Aceh
-
Jadi Lingkaran Setan Kekerasan, Kenapa Pelanggaran HAM di Indonesia Selalu Terulang?
-
Komnas HAM Dorong Revisi UU untuk Atasi Pelanggaran HAM, Diskriminasi, dan Kekerasan Berbasis Gender
News
-
Resolusi Logis Awal Tahun Perempuan Modern di Tengah Tekanan Multiperan
-
Lebih dari Sekadar Kebiasaan: Bahaya Kecanduan Scrolling bagi Kesehatan Mental Remaja
-
Gagal Liburan karena Kerja? Lakukan Cara Ini Agar Mood Tetap Terjaga
-
4 Rekomendasi Restoran BBQ di Jakarta, Surganya Pencinta Daging Berkualitas
-
Waspada Ancaman Digital: Kenali dan Atasi Virus Komputer
Terkini
-
Song Mino WINNER Didakwa atas Dugaan Pelanggaran Wajib Militer
-
Anti Bingung Outfit Liburan, Intip 4 Look Kasual ala Minnie I-DLE ini!
-
Kerasukan Siluman Ular di dalam Kelas
-
4 Outfit Harian ala Nayeon TWICE, Gaya Hangout sampai Party Look!
-
Trailer Ditonton 15 Juta Kali, Ini Sinopsis Drama Korea The Kings Warden