Masyarakat Cilacap yang tinggal di pesisir pantai hidup dalam bayang-bayang kondisi alam yang tak menentu. Wilayah perairan yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia membuat laut Cilacap selalu dilanda gelombang pasang surut tinggi, banjir rob, hingga abrasi.
Bagi warga yang hidupnya bertumpu pada laut, setiap perubahan di perairan adalah ancaman yang nyata. Namun kekhawatiran masyarakat pesisir Cilacap tidak berhenti di situ; tantangan mereka datang dari darat, dari kebijakan pembangunan, hingga dari industri yang tumbuh di sekeliling mereka.
Cilacap, bersama Semarang dan Surakarta, menjadi salah satu pusat pengembangan ekonomi padat modal di Jawa Tengah, sebuah model investasi yang mendorong berdirinya industri skala besar.
Di antara proyek yang paling menonjol adalah dua PLTU raksasa PLTU Karangkandri dan PLTU Adipala. Kedua pembangkit ini menjadi pemasok penting listrik untuk wilayah Jawa–Bali.
Namun di balik megahnya cerobong yang mengepul setiap hari, ada ironi yang membayangi kehidupan warga pesisir.
Mereka yang tinggal di sekitar kawasan PLTU harus berhadapan dengan risiko kesehatan, gangguan ekonomi, kerusakan lingkungan, hingga ancaman jangka panjang terhadap keberlanjutan hidup di pesisir.
Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada 2025, PLTU Cilacap masuk dalam deretan 20 PLTU paling berbahaya di Indonesia. Sementara studi CELIOS, CREA, dan Trend Asia menempatkan PLTU ini di peringkat ke-5 nasional dalam kategori bahaya kesehatan, kerugian ekonomi, dan dampak lingkungan.
Di tengah kondisi itu, masyarakat pesisir Cilacap sebenarnya bukan hanya nelayan. Sebagian besar juga petani yang bergantung pada lahan mereka sendiri. Tetapi sedikit demi sedikit, ruang hidup mereka menyempit—terdesak oleh industri dan pembangunan yang meluas hingga ke batas kampung.
Kondisi Masyarakat Pesisir yang Hidup dalam Bayang PLTU
Setiap hari, asap membubung dari cerobong-cerobong yang menjulang tinggi di bibir pantai yang landai. Selama tahun-tahun, mereka hidup dalam bayang panorama PLTU yang berdiri megah bagai tembok raksasa di tengah wilayah kecamatan yang kecil.
Sekilas juga, terasa tidak ada yang ganjil dari wilayah tersebut karena penduduknya masih beraktivitas seperti biasa.
Namun, kisah keteguhan hati dan kerja keras hadir seiring dengan langkah warga sekitar PLTU yang terus berupaya mempertahankan hak-hak mereka.
Kehadiran PLTU yang diharapkan bisa menjadi napas segar rupanya membawa persoalan baru. Terutama bagi para petani yang memiliki lahan di sekitar kawasan bangunan PLTU. Sebagian besar dari mereka terpaksa berhenti bertani karena lahan pertanian yang sudah tidak subur.
Pembangunan PLTU rupanya turut memengaruhi kualitas air di kawasan tersebut yang menyebabkan air jadi keruh dan asin.
Meski berjalan puluhan meter dari pantai, dulu air di kawasan tersebut masih jernih dan tidak berasa. Kualitas air yang menurun turut membuat pertanian di kawasan itu mundur karena hasil panen tidak sebagus dulu. Padahal pertanian menjadi mata pencaharian andalan masyarakat di Dusun Winong dan Dusun Kwasen.
Hal yang serupa pun dialami oleh para nelayan. Mereka yang menggantungkan hidup pada tangkapan hasil laut terpaksa gigit jari karena populasi ikan menurun seiring dengan pembangunan PLTU dan dermaga untuk
berlabuh kapal-kapal tongkang pengangkut batu bara.
Akibat populasi ikan yang menurun, para nelayan terpaksa harus melaut sampai ke tengah sehingga membutuhkan ongkos yang lebih besar untuk bahan bakar kapal.
Belum sampai di situ aja, para petani kelapa yang bisa memproduksi gula jawa pun terkena imbas yang sama. Jika sebelumnya mereka bisa memproduksi gula jawa sebanyak 10-20 kg per hari, per tahun 2020 produksi mereka mengalami penurunan. Hal ini disebabkan banyak pohon kelapa yang tidak berbuah dan mengering.
Akibatnya, kini banyak warga yang tinggal di kawasan PLTU beralih profesi sebagai penambang pasir. Sayangnya profesi tersebut juga tidak lagi menjanjikan karena pendapatan yang menurun. Jika dulu mereka bisa menambang pasir di bibir pantai, kini mereka harus melaut ke tengah untuk menambang pasir di sana.
Di luar masalah ekonomi, para penduduk juga harus bergelut dengan kerusakan lingkungan. Kehadiran PLTU sangat berpengaruh pada ketersediaan air bersih bagi warga. Pada tahun 2018, hampir 80 persen sumur warga dusun Binong mengering. Keringnya sumur diduga karena pengeboran dan galian yang dilakukan oleh PLTU untuk membangun cerobong boiler.
Selain itu, mereka juga harus bergelut dengan masalah polusi udara. Pembakaran dan limbah sisa pengolahan batu bara menjadi menyumbang risiko polusi yang berbahaya bagi kesehatan. Per 2018 saja, di UPT Puskesmas Kesugihan mencatat penderita ISPA mencapai angka 3360, terdiri dari 2.241 pengidap baru dan 1.119 orang lama.
Upaya Resistensi Penduduk
Hingga kini, warga yang tinggal di sekitar kawasan PLTU Cilacap terus menyuarakan penolakan terhadap dampak lingkungan, kesehatan, dan perekonomian yang mereka rasakan. Selama beberapa tahun terakhir, keluhan terus bermunculan selaras dengan efek yang ditimbulkan oleh PLTU, seperti debu batu bara, polusi, dan limbah sisa produksi.
Di samping itu, mereka juga mengeluhkan penurunan kualitas hidup, terutama dari segi mata pencaharian dan kesehatan. Termasuk para petani dan nelayan yang berdampak langsung dari perubahan lingkungan tersebut. Warga lain turut menagih janji perusahaan terkait kompensasi dan penyerapan tenaga kerja lokal.
Warga bersama LSM dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) melakukan berbagai upaya advokasi, mulai dari pengaduan ke DPRD, demonstrasi, hingga menuntut kajian ulang AMDAL.
Per tahun 2020 hingga 2024 saja, warga pesisir di kawasan PLTU terus berjuang memberi tuntutan, mulai dari isu kesehatan dan lingkungan hingga pengelolaan limbah dan keadilan ekonomi lokal. Warga menegaskan bahwa perjuangan ini bukan untuk menolak pembangunan, melainkan menuntut pembangunan yang adil, transparan, dan tidak mengorbankan hak hidup mereka.
Sumber:
- Walhi (2023). Melihat Ulang Dampak PLTU di Tiga Wilayah. https://www.walhi.or.id/melihat-ulang-dampak-pltu-di-tiga-wilayah-pltu-paiton-pltu-pacitan-pltu-cilacap
- https://jateng.suara.com/read/2019/11/16/000000/cerita-dari-dusun-winong-yang-terancam-hilang-terdampak-polusi-pltu?page=all
- https://www.instagram.com/p/DQ_eAiIgAtN/?img_index=3
- https://mongabay.co.id/2018/09/06/derita-warga-cilacap-hidup-bersama-pembangkit-batubara/
Baca Juga
-
Rezeki yang Hilang Ditelan Gelombang Laut dan Abrasi Pesisir Pantai Cilacap
-
Humor Seksis Tak Cuma Menganggu, tapi Aksi Perundungan Seksual bagi Wanita
-
Ulasan Novel Izinkan Aku Mencintaimu: Menemukan Cinta Sejati dan Jati Diri
-
Ironi, Sejarah, dan Romantisme di Buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain Ke Roma
-
Hati-hati! Tanpa Disadari, Orang Tua Bisa jadi Pelaku Bullying bagi Anak
Artikel Terkait
News
-
Ngupit Heritage Cycling: Ketika Bersepeda Jadi Cara Baru Mengenal Sejarah
-
Dari Korban Bullying saat SD, Kini Melinda Septianti Menjadi Juara OSG 2025
-
Puan dan Bukunya: Ruang Aman Perempuan untuk Membaca dan Berbagi Cerita
-
Sering Kewalahan? Kuasai 8 Teknik Manajemen Waktu Ini
-
Waspada Perbudakan Digital, UPNVJRUPP Gelar Pelatihan untuk Anak Muda
Terkini
-
Jason Statham Tunjukkan Aksi Spektakuler di Film Shelter, Cek Trailernya!
-
Epy Kusnandar Sempat Berwasiat Minta Dimakamkan di Kampung Halaman Dekat Makam Sang Ibu
-
Sekuel Spin-Off Sonic the Hedgehog dan Teenage Mutant Siap Rilis pada 2028
-
Ulasan Drama City of Romance: Rahasia dan Perlindungan dalam Kebohongan
-
Marselino Urung Tampil, Beban Berat Lini Tengah Kini Harus Dipanggul Sepenuhnya oleh Ivar Jenner