Scroll untuk membaca artikel
Arsito Hidayatullah
Ilustrasi wawancara. Amar Alfikar. [Foto: IG amaralfikar/captured / Olah gambar: Suara.com]

Pria bercambang dan berjenggot itu bercerita penuh semangat, blak-blakan, walaupun mungkin cerita yang ia sampaikan berdasar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padanya itu sudah kesekian kalinya ia lakukan. Dia adalah Amar Alfikar, salah satu sosok dari mungkin sedikit saja yang tak ragu menyebut dirinya adalah seorang transpria.

Amar Alfikar yang saat ini tengah menjalani studi S2 di jurusan Teologi and Religion, University of Birmingham, memang bukan orang sembarang. Pria berusia 30 tahun ini terlahir sebagai perempuan, di tengah keluarga pesantren di mana ayahnya juga adalah seorang kyai.

Bagaimana pergulatan Amar menjalani hidup, kenangan masa kecil, hingga ia kemudian secara terbuka mengkomunikasikan bahwa dirinya lebih merasa sebagai laki-laki, mulai dari kepada ibu, kemudian ayah, lalu seluruh keluarganya hingga masyarakat luas? Bagaimana pula pandangannya soal gender, tentang agama, dan lainnya?

Berikut petikan wawancara khusus Suara.com dengan Amar Alfikar beberapa waktu lalu, yang disajikan dalam format tanya-jawab:

Baik. Selamat malam, assalamualaikum Mas Amar. Aku manggilnya apa nih? Gus apa mas, nih?

Mas aja gak apa-apa.

Boleh. Di sana (sekarang) jam berapa ya, Mas Amar?

Ini jam dua, jam dua siang.

Minggu. Libur kegiatan?

Iya, Minggu. Baca-baca aja sih, buat hari senin kuliah. Buat persiapan, buat belajar.

Sedikit dong, menjelaskan di sana Mas Amar sibuk apa sih sebenarnya?

Oke, jadi saya baru mulai, mulai September, studi S2 di University of Birmingham dan jurusan yang saya ambil adalah Teologi and Religion, gitu. Jadi memang mahasiswa baru ceritanya.

Baik, baik. Mas Amar, Mas Amar ini lagi ngehits di Twitter, banyak banget yang ngasih perhatian ke Mas Amar, karena keputusan-keputusannya Mas Amar gitu. Nah, sebenernya ini sudah banyak ditanyakan oleh beberapa media lain gitu. Tapi kalau boleh nih mengulang, kita pengen tau juga dong, gimana sih masa kecilnya Mas Amar ini?

Oke. Jadi masa kecil saya, dari lahir sudah di pesantren. Jadi masa kecil saya memang sangat dekat dengan tradisi pesantren, keluarga pesantren, dan lingkungan pesantren. Itu sih, jadi, kalo anak-anak itu kayaknya gimana ya? Ada semacam kalo anak perempuan, kalo saya diidentifikasi sebagai perempuan gitu ya, ketika lahir. Nah ini nih. Ini mungkin ketika, apa ya, banyak orang belum paham bahwa kita itu tidak terlahir sebagai laki-laki atau perempuan, tapi kita lahir kemudian diidentifikasi oleh orang lain, sebagai laki-laki atau perempuan.

Nah, problemnya adalah orang yang merasa dirinya betul dalam kotak gender itu, dia tidak akan mempertanyakan dirinya. Tetapi ketika orang ya, dia dilahirkan, diidentifikasi sebagai gender tertentu yang bukan dirinya, yang harus saya alami kan, dan banyak temen-temen trans yang mengalami. Itu, jadi, karena ya masa kecil tidak tentu, penitikan di Indonesia kan tidak menjangkau keragaman gender dan seksualitas. Jadi ya, masa kecil saya ya, seputar bahwa "Oke, saya lebih nyaman dengan ekspresi maskulin, ketimbang feminin." Jadi ya udah, masa kecil saya, ya begitu aja. Dan orang akan melekatkan "Oh, ini anak perempuan tomboy." Itu aja. Gitu.

Oh, berarti dari kecil udah seperti kayak anak laki-laki, gitu ya. Lebih sering main dengan anak-anak laki gitu enggak sih, Mas?

Iya, ya. Makanya saya tidur itu, di ini lho, di asrama santri putra ketika kecil, gitu. Dan tidak ada masalah. Karena mungkin, karena santri putra di tempat keluarga saya melihat ini aja ya, anaknya guru. Ya jadi, ya dijaga. Tidak kemudian diapain ya, katakanlah tidak dihormati dan sebagainya. Itu jadi saya tidur pun dengan santri putra ketika kecil gitu ya. Tapi kondisi itu langsung berubah 360 derajat ketika saya masuk ke madrasah, SMP ya, setara dengan SMP. Dan kemudian saya harus mulai mendengar orang atau keluarga saya mengatakan "Kamu anak perempuan? Perempuan itu pakai jilbab." Jadi, waktu kecil saya bahkan ikut Jumatan. Jumatan bapak saya. Tapi itu tadi, karena masih ya namanya juga anak kecil.

Nah, jadi tapi, perubahan yang kemudian sangat drastis yang saya rasakan, ya ketika di madrasah itu. Apa namanya ya.. Saya merasa, kok saya harus memakai jilbab, padahal saya tidak nyaman. Kok saya harus kemudian dipisah dari.. dipisahkan kotak yang saya nyaman itu ke kepada kotak perempuan. Mungkin orang akan melihat "Oh, itu berarti didikan orangtuanya nih, karena dibebaskan". Tetapi banyak orang, apa (ya), kalo identitas gendernya tidak 'bermasalah', ya tidak ada masalah ya, dia tidak akan bermasalah dengan itu. Tapi orang yang identitas gendernya sama seperti saya, gitu ya, berbeda, ini kegelisahannya akan muncul, dan tidak akan pernah habis. Jadi, kemudian ketika saya harus dipaksa dalam kotak perempuan itu, ya kegelisahan itu kemudian sangat muncul, dan menjadi semakin, apa ya, semakin apa bahasanya tuh, stressful. Gitu ya. Karena harus menjalani hidup yang bukan saya gitu.

Mohon maaf Mas, mau nanya, kalo nama pesantrennya itu apa ya? Waktu kecil itu?

Saya pesantren di Kendal. Sebut aja Kendal, tapi jangan nama pesantrennya.

Oke. Itu pada saat itu kan berarti orangtua melihatnya masih dalam sebatas soal wajar, gitu ya, "Oh, nih anak tuh kayak tomboy gitu." Pada saat itu masih ada penerimaan lah gitu. Nah, tapi lebih tepatnya, kapan sih Mas Amar ini mulai merasakan kurang nyaman, terus udah mulai kode-kode mungkin ke orangtua. Itu tepatnya kapan sih Mas?

Dari kecil sepertinya sudah merasa berbeda ya. Maksudnya, bahkan meskipun saya, apa ya, ekspresinya maskulin sejak kecil, dan kemudian dalam tanda kutip 'dibiarkan'. Tapi kan ada keresahan, karena tubuh saya tidak match, tidak match dengan apa yang saya rasakan. Gitu lho. Jadi, keresahannya sepertinya, ya, sejak kecil. Kemudian belajar tentang, karena gender itu kan konstruksi orang ya, konstruksi masyarakat gitu. Dan bagi orang-orang, transgender itu konstruksi. Itu tidak akan masuk ke dalam apa yang kami rasakan gitu ya, atau apa yang saya rasakan. Jadi, ya, sejak kapannya, ya sejak kecil. Kemudian ketika kemudian dikenalkan, ini laki-laki, ini perempuan, itu kecurigaan itu sudah muncul sejak kecil. Meskipun saya bisa berekspresi sesuai yang hati saya inginkan ya, secara maskulin, tapi kan, lagi-lagi bukan soal itu sebetulnya. Transgender itu bukan sekadar ekspresi, tetapi juga keseluruhan kesadaran diri saya sebenarnya. Jadi, ya, itu tadi, sejak kecil sebetulnya.

Kapan sih pertama kali mengatakan yang sebenernya gitu, kepada orangtua?

Nah, ini ya, kalo jadi.. untuk memutuskan bercerita kepada orangtua dan bertransisi gitu ya, saya ini dulu sih, apa namanya, (merasa) kalo tidak semua orang transgender itu memutuskan untuk transisi. Tapi itu tidak membuat seseorang transgender itu menjadi 'less', atau "Oh berarti kamu bukan transgender karena kamu tidak memiliki transisi". Enggak juga. Nah, saya memilih transisi, dan maksudnya saya mengatakan karena tidak ingin disamakan bahwa semua orang transgender itu harus bertransisi, atau harus cerita kepada orangtua, karena tidak semua orang bisa menerima. Bahkan, kalo misalnya, kita bisa katakan mayoritas orang-orang Indonesia itu masih menolak, gitu ya. Dan saya hanya punya, saya hanya beruntung saja bahwa kemudian ketika saya cerita dan orangtua saya menerima.

Itu sekitar (tahun) 2000 berapa ya, pokoknya setelah saya haji itu, kira-kira 2014-an ya. Ya, 2014-an itu ya, 6 atau 7 tahun lalu, kemudian saya memberanikan diri cerita ke ibu saya, karena saya waktu itu sadar, ini tidak bagus untuk diri saya. Kenapa? Karena saya melakukan, apa, self harm gitu ya, kemudian menyakiti diri sendiri dan sebagainya. Dan saya waktu itu sadar, ini nih tidak bagus. Saya tidak bisa meneruskan hidup terus-menerus dalam kebohongan, dan juga terus-menerus menyakiti diri saya sendiri, membohongi orang lain, membohongi diri saya sendiri. Jadi, 6 atau 7 tahun yang lalu itu, kemudian saya mau tidak mau saya harus cerita ke ibu saya. Pertama, orang yang pertama mendengar adalah ibu saya waktu itu. Gitu.

Gimana reaksinya? Reaksinya ibu (saat itu) seperti apa?

Reaksinya lucu dan menarik. Kenapa? Karena waktu itu saya sudah bersiap-siap mau keluar dari rumah, karena saya melihat realitas ya, waktu itu dalam pikiran saya karena melihat berita, melihat realitas temen-temen trans, itu dicoret dari KK (Kartu Keluarga), disakiti oleh keluarganya sendiri, bahkan ada yang dilecehkan dan sebagainya. Waktu itu pikiran saya, "Oke, saya harus keluar dari rumah. Saya pasti akan keluar dari rumah ini dan tidak mungkin dianggap lagi sebagai bagian dari keluarga ini". Waktu itu saya sudah.. waktu itu saya mengira ya udah, ini nih akhir dari perjalanan saya dengan keluarga saya. Waktu itu saya juga, apa ya, dalam kondisi (merasa) tidak mungkin Islam menerima saya, tidak mungkin Tuhan menerima saya. Karena lagi-lagi realitasnya begitu, realitas di luar begitu ya. Tapi ternyata, ibu saya waktu itu, sebetulnya kalimat yang pertama keluar itu agak lucu ya. Jadi begini.. "Ibu lega kamu cerita gitu. Ibu lega kamu cerita begini, karena ibu kira kamu mau cerita kalo kamu hamil."

Kemudian, saya, aku, langsung ketawa. Aku ketawa dan "wow", maksudnya, jadi ibu saya udah deg-degan ternyata karena kan saya sangat jauh ya dengan ibu saya, sangat jauh banget gitu, dan mungkin ibu mengira, "Ini anak saya kenapa sih? Kok, kayaknya menyembunyikan misteri besar." Jadi, ketika saya bilang "Bu, saya ngomong", ibu saya kira saya mau ngomong bahwa saya hamil di luar nikah gitu. Jadi, dia ketika mendengar saya tidak hamil gitu ya, malah instead I say that, apa, (bahwa) saya bukan perempuan waktu itu, saya laki-laki, saya bukan perempuan, dan ibu lega. Ibu bilang lega, dan kemudian kalimat yang selanjutnya beliau katakan adalah "Semakin sayang sama kamu". Dan itu itu sama sekali tidak (seperti) yang saya bayangkan. Dan itu adalah titik balik semua hal yang saya duga (sebelumnya). Dan itu tidak hanya soal keluarga, soal penerimaan, tapi juga soal iman, soal agama yang sebelumnya saya pahami sebagai.. apa ya, alasan orang untuk menyakiti, menolak, menindas orang lain. Dan itu semuanya berbalik begitu saja, ketika ibu menerima saya dan bahkan menemani perjalanan transisi (saya). Karena transisi itu tidak hanya saya, tapi sebetulnya juga ibu saya berproses dengan saya. Kami berproses dengan cemoohan orang dan sebagainya. Gitu.

Itu tepatnya umur berapa ya sih Mas?

Sebelum lulus sih. Umur berapa ya saya..?

20-an (tahun) mungkin ya? Karena kalau 7 tahun lalu...

Ya, 23-24 ya, 23-24 tahun.

Nah, ini Mas tadi menyinggung soal reaksi ibu, (bahwa) ini bukan seperti yang diduga sebelumnya. Memang yang diperkirakan sebelumnya sama Mas Amar itu gimana?

Ya, (bahwa) saya akan diusir dari rumah. Beneran. Saya udah siap-siap "Oke, saya akan diusir dari rumah, coret (di) KK, saya akan hidup di jalanan. Saya akan udah enggak tahu yang akan terjadi, tapi saya harus jujur." Itu waktu itu.

Amar Alfikar di University of Birmingham, Inggris. [Foto: IG amaralfikar/captured]

Itu kalo misalnya ibu sudah menerima, sudah welcome, bagaimana dengan anggota keluarga lain, (bagaimana) dengan ayah, dengan kakak-kakak?

Prosesnya tidak mudah, tidak gampang. Tetapi yang saya syukuri, dan ini sebenernya privilege terbesar yang saya miliki dalam kehidupan saya, adalah bahwa keluarga saya berproses. Ibu saya, kemudian yang kedua, orang kedua yang menerima adalah bapak saya. Bapak saya waktu itu mendengar dari ibu ya, dan beliau mendiamkan saya. Maksudnya udah jarang ngobrol, kayak betul-betul enggak menyapa saya kira-kira 1 minggu itu ya. Dan kemudian saya berani, kemudian saya ngomong dengan beliau. "Bapak, kalau Bapak ingin marah, katakan, tapi jangan diam. Kalau Bapak ingin memaki, ingin apa gitu, ingin meluapkan kemarahannya Bapak, enggak apa-apa Bapak marah, tapi jangan diam."

Dan kalimat yang keluar dari bapak saya waktu itu adalah, "Bapak tidak mungkin marah, karena apa yang terjadi sama kamu itu adalah takdir yang sudah Allah berikan kepada kamu. Jadi, bapak enggak akan mungkin marah." Jadi, waktu itu kemudian saya berpikir, "Oh ternyata, saya kira beliau marah selama ini". Ternyata yang beliau pikirkan sebetulnya adalah kekhawatiran bahwa saya tidak bisa melanjutkan hidup. Kekhawatiran bahwa saya akan kehilangan pendidikan, saya akan apa lah, ya pokoknya, akan kehilangan segalanya gitu. Jadi, sebetulnya, ada kekhawatiran bahwa, ya... lagi-lagi karena realitas ya. Realitas masyarakat kita yang belum bisa menerima keragaman menjadi transgender, itu yang membuat bapak takut mungkin ya waktu itu. Tapi ternyata beliau berproses gitu. Bahkan, beliau yang selalu mengatakan, "Bapak tidak minta apa pun dari kamu. Yang Bapak minta, kamu jangan pernah berhenti bersekolah. Sekolahmu harus lebih tinggi dari sekolah Bapak-Ibu." Itu, itu yang selalu menguatkan saya untuk terus belajar, gitu ya. Itu.

Berarti bisa dikatakan kalo dari keluarga terdekat itu memang tidak ada penolakan ya. Tapi Mas Amar pernah merasakan penolakan itu nggak, di orang-orang sekitar, selain keluarga?

Sebenarnya kakak-kakak saya menolak – apa itu – tahun pertama itu beliau yang paling keras gitu ya. Jadi, kakak-kakak saya itu yang paling keras menolak waktu itu yang – ya jadi, beliau punya ini ya, punya opsi “kamu pasti sembuh. Kamu pasti sembuh.” Dan itu semua kami jalani bareng-bareng dalam arti, beliau punya psikolog sendiri, saya punya psikolog sendiri yang… dan ini menariknya ya jadi agama dan psikologi ini dua hal yang tidak tunggal. Dalam arti, ada orang yang menggunakan ilmu psikologi untuk menolak keragaman gender dan seksualitas. Ada orang di psikologi dan ilmu agama yang justru jadikan ilmu mereka itu landasan untuk menghormati dan mendorong ke orang-orang seperti saya untuk tetap hidup dan menjalaninya dalam kehidupan ini sesuai – apa ya – dengan cara yang jujur gitu. Nah, jadi ada – ada ini ya – bukan pertempuran, semacam proses yang kami jalani gitu. Katanya yang tadi menolak dan paling keras dan paling ini paling marah di dalam keluarga, tetapi kemudian beliau menerima gitu. Nah, kalo masalah penolakan, itu pasti ada. Tidak mungkin ya terutama masyarakat pada awalnya itu bagaimana itu pasti ada dan saya kira yang pengalaman saya itu adalah sebetulnya bagaimana keluarga saya itu kami bareng-bareng hadapi itu. Jadi, orang selalu bilang bahwa apa ya, punya anggota keluarga yang gay, lesbian, atau transgender itu adalah ujian, betul, saya justru mengatakan itu betul. Maka ujiannya udah terlekat apakah keluarga ini mau bareng-bareng menolak stigma itu atau justru – apa ya – atau justru menolak – atau justru menjadikan keluarga sebagai ruang yang tidak aman. Apakah ujian itu akan menuntun keluarga yang punya anggota keluarga yang minoritas gender dan … sebagai kemudian bareng-bareng menciptakan ruang aman dan nyaman ataukah sebaliknya? Menolak anggota keluarga mereka yang berbeda dan saya – lagi-lagi saya ber-privilege karena keluarga saya justru bareng-bareng kami menciptakan ruang aman untuk saya gitu.

Apa sih – apa pengalaman Mas Amar gitu yang paling mungkin bisa dibilang paling sedih gitu karena ini di Indonesia-kan masih terbilang tabu gitu. Tindakan apa sih tindakan orang lain tuh yang ke Mas Amar yang mungkin enggak ngenakin hati gitu atau seperti apa?

Saya sebenernya tidak ingin mengatakan bahwa – apa ya – ada sisi-sisi yang begitu berat yang saya jalani dalam kehidupan saya, tapi saya ingin mengatakan bahwa di luar sana orang-orang yang tidak diterima oleh keluarganya ya minoritas gender, transgender atau lesbian, gay, dan sebagainya tidak diterima keluarganya mereka mengalami hal yang lebih berat dari yang saya alami. Gitu. Jadi, saya tidak ingin menggunakan cerita saya sebagai – apa ya – tragedi karena di luar – teman-teman saya mengalami hal yang lebih berat. Bahkan, ada trans yang bahkan tidak hanya 1 ya, mereka di mereka harus mengalami apa yang disebut “corrective rape” pemerkosaan yang direncanakan oleh keluarga sendiri hanya untuk mengatakan bahwa kamu perempuan, kamu bukan laki-laki. Jadi, - apa ya – betapa beratnya yang harus temen-temen saya hadapi ketika mereka tidak diterima keluarganya, ketika mereka dilecehkan oleh keluarganya sendiri, mereka di – apa ya – mengalami persekusian yang kekerasan atau bahkan kriminalisasi dari keluarganya sendiri. Jadi, apa yang saya alami sebetulnya tidak begitu berat mbak, dibanding kawan-kawan saya. Jadi, saya pengen cerita saya ini justru ingin mengatakan bahwa seharusnya keluarga itu menerima bukan menyakiti atau… gitu.

Betul. Dan jadi malah rumah sendiri malah biasa rumah orang lain gitu ya mas? Karena masih banyak yang seperti itu, diusir, tidak diakui, gitu ya… mungkin temen-temen Mas Amar juga ada yang cerita seperti itu ya mas?

Oh banyak banget! Makanya saya selalu – apa – ketika saya menceritakan – membagikan kisah saya, yang saya yang ingin saya sampaikan adalah untuk temen-temen saya bahwa mereka tidak sendiri dalam perjuangan ini gitu ya dan mereka banyak udah cerita dan bahkan sebelum saya bercerita membagikan kisah saya pun banyak ya ada forum-forum kami bercerita dan tragedi-tragedi itu yang harus mereka jalani gitu. Ya itu tadi yang paling parah itu ya bagian mana dikriminalisasi, mereka menghadapi corrective rape. Kemudian, apa convert apa kita katakan ruqyah – ruqyah tapi basisnya adalah basis apa ya kebencian. Karena ada ruqyah yang – saya justru ingin mengatakan bahwa seharusnya ruqyah itu ditujukan untuk membuat orang-orang seperti saya ini menerima dirinya. Mencintai dan menerima identitas gender atau orientasi seksualnya. Tapi yang terjadi lagi-lagi adalah pangan praktek-praktek ruqyah atau konversi terapi, tidak hanya Islam bahkan agama lain pun ya temen-temen saya di kristen, itu udah pun ternyata mereka juga mengalami hal yang sama – mereka dipaksa orang tuanya untuk praktik konversi. Ya gitu sebetulnya adalah bentuk kekerasan gitu berbasis agama.

Kalo di lingkungan pondok pesantren sendiri seperti apa Mas Amar ketika sudah mulai menunjukkan gitu?

Ya kalo awal pasti kaget dan menolak sampai sekarang juga masih ada ya. Masih ada yang mengatakan 100 persen orang menerima, tidak mungkin. Tapi, lagi-lagi bagi saya yang terpenting adalah keluarga inti ya. Kalo keluarga lingkungan – ya kalo tetangga kayak gitu sebenernya ya mereka udah biasa. Udah biasa dan ya enggak enggak ada masalah sih. Paling ya beberapa kali misalnya rumah saya didatengi gitu ya oleh orang, sebutnya mereka hanya penasaran. Jadi ketika sudah ngobrol, ketika mereka sudah tanya, “kenapa kamu bisa begini?” Dan ketika sudah berjumpa, berdialog ya sebutnya kebencian perkahan itu akan perlahan-lahan luntur gitu. Jadi, itu yang salah...

Oke, senior itukah yang mendatangi rumah?

Iya! Betul. Ya enggak apa-apa bagian dari karena semakin berjumpa, orang itu akan sebetulnya semakin memahami. Kenapa orang itu membenci? Karena mereka enggak pernah ketemu aja. Karena di kepala mereka adalah apa yang mereka lihat selama ini di media yang masih – apa ya – perspektifnya penuh kebencian terhadpa kelompok yang berbeda padahal ketika mereka baru berjumpa, ketemu dengan identitas yang berbeda, mereka sebetulnya akan menyadari bahwa ya kita semua sama kok.

Iya betul. Mas Amar, saya pengen tau nih pandangan Mas Amar soal Islam yang konservatif dan heteronormatif seperti apa?

Ya, Islam – sebenarnya tidak semuanya Islam ya… tapi agama itu saya meyakini ya, terutama sejak sejak melihat penerimaan orang tua saya kemudian saya belajar kembali keberislaman saya, dulu saya melihat bahwa Islam ini atau agama itu hanya dijadikan alat untuk menindas perempuan, menindas kelompok rentan, dan menindas orang yang agamanya berbeda, imannya berbeda, bahkan yang pandangan politik keagamaannya itu berbeda. Tapi, penerimaan orang tua saya kemudian mengajarkan saya bahwa Islam itu adalah agama yang penuh kasih seperti salam ya. Islam-kan salam ya kedamaian gitu. Meskipun lagi-lagi pada praktiknya orang lupa pesan kedamaian itu. Kedamaian atau keberislaman atau – apa ya – pesan damai itu kadang-kadang seringkali ya – tidak hanya kadang-kadang – seringkali hanya di license saja, hanya – apa ya – pesan-pesan akrobatik aja kayak ya semacam apa sih namanya – riasan tapi pada praktiknya mereka tidak betul-betul menghayati Islam yang rahmat alamin atau yang penuh kasih untuk seluruh alamin itu. Nah, jadi inti pertama agama itu adalah mengangkat derajat perempuan dan kelompok rentan. Misalnya, muadzin yang mengumandangkan athen yang dituju pada Nabi Muhammad pertama kali itu adalah seorang budak berkulit hitam waktu itu orang kulit hitam dan – apa – orang kulit hitam itu dianggap atau orang yang non-arab ya dianggap hanya budak. Tetapi, Nabi Muhammad justru menunjuk orang berkulit hitam, seorang minoritas untuk mengumandangkan adzan pertama kali dan banyak – apa ya – banyak kisah-kisah Nabi Muhammad yang sebetulnya menyuarakan pesan-pesan keadilan, kesetaraan, dan menjunjung tinggi – apa ya - hak-hak asasi manusia meskipun human rights pada waktu itu belum ditemukan, tapi konsep rahmah, soal apa tauhid – tauhid itu adalah pesan yang sangat besar lho. Tentang bagaimana manusia itu setara. Tauhid la ilah ha ilauloh misalnya, itukan pesan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Tidak ada makhluk yang boleh – tidak ada orang dan tidak ada orang yang boleh disembah selain Allah. Jadi, kalo ada orang menyembah orang lain, kalo ada orang yang per – memperbudak orang lain, kalo ada orang yang mengaku bahwa dia lebih suci – lebih terhormat daripada orang lain, maka itu melanggar tauhid. Itu ya. Itukan sebetulnya esensi tauhid itukan esensi kemanusiaan. Esensi pembela antara keadilan gitu. Tetapikan, politik, kemudian – apa – bentangan sejarah ribuan tahun itu kemudian menempatkan agama – apa ya – ditafsirkan oleh orang-orang tertentu untuk membela kepentingannya sendiri-sendiri, termasuk kepentingan ketidakadilan dan kepentingan ketidaksetaraan, kepentingan politik sekalian dan sebagainya gitu. Nah, itu sih - apa ya - yang saya pahami.

Kan berarti kalo misalnya di - di Indonesia gitukan akhirnya dihubung-hubungkan dengan apa lagi nih… antara Islam dengan - apa namanya - seperti transgender, atau lgbt - enggak, enggak bisa pokoknya di dalam alquran itu mereka enggak ada gitu, enggak boleh. Kalo kamu perempuan kamu harus suka sama laki-laki, begitu pun dengan sebaliknya. Enggak bisa gitu bersamaan. Nah, gimana Mas Amar menanggapinya kondisi di Indonesia seperti itu?

Nah sebenarnya itu gak hanya itu, saya. Kita kalo melihat Islam dan keberagaman genre seksualitas, maka kita harus liat realitas secara ham secara utuh atau sebagainya. Betul di dalam al-quran tidak ada istilah transgender, tidak ada istilah lgbt karena apa karena istilah-istilah ini adalah kontemporer. Ya istilah-istilah modern, tetapi realitas bahwa ada ragam ekspresi manusia, ada ragam gender seksualitas yang berbeda itu sudah ada. Sejak zaman dulu di masyarakat muslim, misalnya ya, yang menarik dalam fiqih kajian fiqih ya atau Islamic student. Itu sudah fuqohak atau ahli fiqih zaman dulu mereka sudah mengenal istilah seperti al-muhannad, al-hutta, al-mutarojjillah, dan sebagainya ingat ada istilah-istilah yang menunjukkan ada keragama ekspresi gender, meskipun lagi-lagi gender itu pun istilah-istilah modern. Tapi apa ya hadis atau fuqohak klasik itu mereka bahkan sudah mengenal dan mereka sudah mengakomodasi, kebutuhan beribadah al-muhannad, waktu itu ya. Al-muhannad itu kalo kita lihat hari ini adalah transpruan transgender perempuan meskipun lagi-lagi ya secara definisi mungkin tidak lengkap karena ada gap ini kan masa klasik dengan masa sekarang gitu, tetapi al-muhannad ini waktu itu di di apa ya menunjuk atau untuk merujuk ya sorry, untuk merujuk orang yang biologisnya jantan tetapi ekspresi feminim, ekspresinya perempuan dan mereka diakui oleh fuqohak itu mereka ditulis dalam kajian fiqih bahwa mereka juga punya hak untuk beribadah bahkan sampai tata cara beribadah pun disebutkan di dalam hm apa kajian fiqih.

Nah itu itu kan menunjukkan sebetulnya hm apa namanya keragaman gender itu sudah ada dalam kajian fiqih muslim, lebih dari 1000 tahun lalu. Sudah dikaji mereka sudah diakui gitu dan bahkan kalo kita mengkaji di south asia, asia selatan semacam india, bangladesh, pakistan sebetulnya mereka mengenal yang disebut dengan sebutan hijrah. Hijrah itu ada raja dan perempuan, komunitas raja dan perempuan di negara ini, mereka disebut sebagai hijrah dan mereka bahwa di memiliki apa ya peran spiritual yang sangat penting dalam masyarakat atau in site ini, kontekstual mereka gitu dan itulah mengapa kajian-kajian sufi juga banyak ditemukan tokoh-tokoh. Sufi yang mereka hm apa ya ekspresi gendernya itu non heteronormative gitu ya. Jadi mereka, punya ekspresi gender sendiri yang diluar batas, bukan di luar hetertro di luar heteronormat dan mereka menjadi guru virtual masyarakat muslim di beberapa negara. Maka sebetulnya yang menjadikan identitas ini hilang, itu bukanlah agama tetapi adalah kolonialisme itu sudah banyak jurnal jurnalnya sudah banyak. Sudah banyak penelitiannya, sudah banyak jurnal yang hm apa ya secara historis membuktikan bahwa kebencian terhadap minoritas gender terhadap seksualitas itu bukan hanya berdasarkan kalimat, tetapi juga itu adalah apakah jejak kolonialisme yang kemudian mengkotak-kotakkan dan mereka membawa produk hukum yang diskriminatif kelompok rentan itu. Jadi ini kompleks, gak bisa sekedar bahwa Islam menolak enggak bisa begitu, tetapi secaranya ada itu.

Nah itu, misalkan nih kalo kita ngomongin ayat, ya ada ada ayat al-hujurat ayat 13 yang mengatakan “ya ayyuhan-naasu inna khalaqnakum min akariw wa una wa ja'alnkum syu'baw wa qab`ila lita'raf”. Orang akan mengatakan ini ayat artinya ya, “wahai umat manusia, Allah hidup tidak menciptakan kamu laki-laki dan perempuan tidak ada transgender”, tetapi secara utuh ayat ini lanjutannya adalah “dan Allah menciptakan kamu dalam umat yang berbeda, suku-suku yang berbeda, lita’aruf supaya kamu saling mengenal supaya kami yang saling respect terhadap identitas yang berbeda, ini orang akan menggunakan ini ah tidak ada intrajer adanya laki-laki dan perempuan secara utuh, ini semangatnya adalah semangat ligaliter semangat-semangat respect terhadap kelompok yang berbeda dan bahkan kalau di tutup “inna akramakum 'indallhi atqkum” yang paling mulia, disisi mu itu bukan identitas mu, tetapi ketakwaan, tetapi kebaikan mu kepada orang. Dan kemudian ditutup lagi “innallaha 'almun khabr ” hanya Allah yang paling tahu, isi hati, manusia yang paling tahu seluruh isi hm apa ya seluruh rahasia semesta ini, artinya apa, sebenarnya ini berbicara tentang tidak boleh ada orang yang mengaku lebih suci daripada orang lain, tidak boleh ada orang yang mengaku dia paling benar, paling beriman. Diantara manusia yang berbeda karena keragaman perbedaan itu adalah sudah menjadi bagian ciptaan Allah gitu loh. Itu jadi kalo ada orang yang mengatakan Islam tidak menerima beragaman perbedaan itu fasilitasnya untuk mengatakan bahwa justru Allah menciptakan kita dengan beragam supaya kita saling menghargai orang gitu.

Berapa lagi kultum saya mas, ya bener, ya ya Allah ya, hehe. Tapi mas kalau misalkan di soal, berbicara soal Islam Nusantara nih sebenarnya ada gak sih ruang untu para transpruan, transpria gitu, dari kacamata Mas Amar?

Sebenarnya mbak, kalau kita lihat daerah-daerah ini menariknya Indonesia, sebetulnya Nusantara bahwa di daerah itu, daerah-daerah itu apa ya keragaman gender itu sudah menjadi bagian tradisi, tradisi spiritual tidak hanya tradisi orang katak. Misalnya di lima genre di suku bugis misalnya di dalam kitab ya kitab apa sih kitab lokal masyarakat mereka 1000 tahun lalu mereka mengenal lima gender gitu dan mereka sudah jadi bagian spritual di daerah mereka atau apa tradisi tari-tarian Nusantara yang mengekspresikan keragaman gender gitu ya yang sangat kaya gitu, yang sangat indah. Hmm di daerah – daerah mbak temen-temen saya transperempuan itu mereka menggelar pengajian, mereka hm apa. Mereka punya forum pengajian. Misalnya di jakarta atau di jawa timur mereka punya forum pengajian mereka yang di anisasi dan digerakkan oleh teman-teman transperempuan, ini ini sebetulnya menggambarkan betapa indahnya Nusantara Islam Indonesia yang memberikan ruang terhadap kelompok yang berbeda untuk meyakini keimanannya untuk beribadah secara leluasa, makanya menyedihkan ketika masih saja ada persekusi gitu ya masih saja ada kriminalisasi terhadap ragam gender dan seksualitas padahal kita semua seharusnya punya hak untuk untuk untuk merayakan identitas kita dan iman kita gitu.

Amar Alfikar saat berbicara di sebuah acara Pelajar NU di Jawa, dua tahun lalu. [Foto: IG amaralfikar/captured]

Sebetulnya kalo misalkan di bilang masih welcome dan gak welcome ya mas ya tergantung daerahnya juga ya, hehe.

Ya kenapa tidak bisa disamakan ya karena setiap daerah punya ciri khas eh apa punya ini masing-masing gitu ya, rasisnya sendiri-sendiri. Tetapi yang jelas kita harus melihat bahwa ada realitas atau komunitas di daerah-daerah dimana transpruan atau jadi itu diberikan ruang bahkan di gereja – gereja di jakarta di surabaya, saya juga tahu ada berapa gereja dan para pendeta yang bahkan mereka sangat merangkul jama’ah mereka gitu ya yang merupakan kelompok minoritas gender gitu.

Okeh Mas Amar balik lagi nih ke persoalan Mas Amar nih, saya penasaran banget soal transisinya Mas Amar yang sudah dilakukan, apa aja itu mas?

Apa saja? Saya ingin cerita transisi sosial saja hehe. Transisi medis dan sebagainya itu on the record, off the record aja ya. Karena sebenarnya yang paling baik adalah transisi sosial dan transisi spiritual kondisi yang paling berat dan paling berkesan dan paling masih menjadi apa masih menjadi pengalaman yang terus saya pelajari adalah transisi spiritual dan sosial. Transisi spiritual itu bagaimana hm apa ya saya melihat ternyata Allah itu tidak melihat manusia berdasarkan identitas gendernya gitu dan saya masih terus bertransisi dari yang tadinya melihat Allah hanya mengasihi laki-laki misalnya ya, ternyata kemudian saya bertaksi sekarang masih melihat Allah itu mengasihi semua makhluk bahkan yang agamanya berbeda bahkan kepada yang tidak beragama sekali pun saya melihat Allah mengasihi siapapun gitu. Dan itu adalah perjalanan berat karena bagaimana kita berangkat dari otak yang di brand wash bahwa Allah hanya memuliakan laki-laki Islam saja. Kemudian saya melihat ternyata Allah tidak sesempit itu gitu. Itu itu dan itu masih terus menjadi proses hidup saya ya melihat Allah, melihat agama saya sebagai pengalaman yang luar biasa dan bagaimana iman atau apa ya cara saya melihat Allah itu, menjadi ruang untuk memerdekakan diri saya dan memerdekakan komunitas saya.

Dari mana sih keyakinan Mas Amar itu kemudian datang gitu?

Yang jelas dari ibu saya hehe. Bagi saya hmm apa ya, saya mengenal Allah kembali itu dari ibu saya. Ibu saya tidak tahu apa itu gender, apa itu seksualitas, apa itu feminisme tetapi beliau selalu mengatakan bahwa Allah itu mengasihi siapapun. Dan beliau tidak hanya kepada saya, tetapi beliau ada sosok yang sangat ngerangkul siapapun. Beliau menjadi tempat curhat bagi banyak orang dan beliau tidak pernah kemudian mengatakan apa ya menghakimi orang lain yang hanya berdasarkan pengalaman-pengalamannya berbeda dan beliau orang yang sangat taat, sangat ahli tahajud, ahli quran dan sebagainya dan dan beliau dari beliau saya melihat bahwa oh begitu lah bagaimana Allah membantu turunkan rahmatnya. Bagaimana Allah mengajari saya untuk beriman dan ber-Islam secara apa ya, secara baik dalam tanda kutip berbuat baik kepada orang lain, tidak hanya berbuat baik kepada Allah. Paham gak? Maksudnya orang selama ini hanya. Orang kan selama ini ketika hijrah ya itu kan konotasinya atau sebagian orang memaknainya hanya ibadah kepada Allah saja, tetapi lupa untuk beribadah kepada manusia, tetapi dari pengalaman saya melihat bahwa hijrah yang sejati itu adalah ketika saya menyembah Allah tetapi saya juga disaat yang bersamaan saya punya kewajiban untuk memberikan apa ya kebaikan terhadap sesama manusia dan terhadap diri saya sendiri. Artinya saya menerima identitas gender saya yang seperti ini dan juga bagaimana ya orientasi seksual, ekspresi gender, identitas gender itu juga bagian dari rahmat Allah juga

Mas mohon ijin, ini ada pertanyaan juga, sebenernya tadi ini bahasa yang tadi nih, sebenernya ada sejarah, sebenernya ada ga sih sejarah lokal yang sebenarnya ramah terhadap minoritas gender?

Di Indonesia? Oh tadi saya sudah sebut tuh, masyarakat bugis mereka percaya ada lima gender, kemudian apa tuh yang waroeng blankman sebagainya dan ngemblake di ponorogo dan sebagainya. Tradisi lokal kita sudah sangat kayanya sebetulnya dengan ekspresi gender yang beragam yang unik gitu, maka sekarang menjadi tantangan sebenarnya mbak, bagaimana ada kelompok-kelompok tertentu yang menolak tradisi lokal dan tidak hanya ragam gender, gausah yang jauh-jauh tahlilan raja misalnya, tumpengan. Ada kelompok yang menolak itu.

Soal tumpengan mereka menolak itu karena tidak Islami dan sebagainya. Padahal Islam itu tidak tunggal, tetapi yang saya pelajari justru disini ya adalah semakin belajar semakin melihat bahwa Islam ini memang tidak tunggal gitu dan apa ya selama itu semakin kaya, dia beririsan dengan tradisi-tradisi lokal gitu.

Hmm.. okeh, lantas bagaimana sih sebenarnya menghadapi kelompok-kelompok seperti itu mas? Yang dikit-dikit mengcoverkan-mengcoverkan.

Ya, itu jelas tergantung dari perspektif mana ya kita melihat dari politik misalnya atau dari sisi personal atau dari sisi sistemik atau ataupun itu. Saya jelas setiap orang, setiap pihak secara personal kemudian organisasi kementerian kemasyarakatan atau organisasi keislaman dan segenap pemerintah, itu harus bekerja bareng-bareng sepertinya untuk sebetulnya kita tidak menolak ya bahwa itu itu pemahaman mereka dan kita juga tidak bisa memaksa mereka untuk tidak meyakini itu. Kita juga tidak bisa juga melarang mereka meyakini pandangan mereka, sepanjang. Batasnya sebenarnya harusnya sepanjang mereka harusnya tidak melakukan pemaksaan juga terhadap orang lain, silahkan kalian meyakini perspektif keagamaan seperti itu, tetapi juga jangan memaksaan keinginan mereka kepada orang lain atau bahkan sampai melakukan perisakan, bullying, persekusi apa namanya merusak keyakinan orang atau misalnya merusak rumah ibadah orang lain bahkan yang sesama Islam pun juga dirusak gitu rumahnya secaranya. Nah itu jadi, kalau menurut saya pribadi mereka yang punya pandangan mereka seperti itu adalah hak mereka juga sih, tapi lagi-lagi itu batasnya kemudian itu tidak boleh dibawa dalam bentuk perisakan terhadap keyakinan orang lain gitu.

Nah termasuk juga kan dengan keluarga yang memiliki misalnya anaknya yang transgender, memutuskan untuk menjadi gay lesbian. Kan tadi Mas Amar sudah menceritakan banyak yang mencerita kan itu. Sebenarnya bagaimana sih seharusnya keluarga itu bersikap sampai akhirnya bisa menerima gitu?

Ya, suka banget sama pertanyaan ini karena fokus pada keluarga hehe karena selama ini stigmanya orang ketemu gay ketemu trans ya kamu harus berubah, ya kamu harus sukses, kamu harus jadi role model, kamu harus berpendidikan tinggi, kamu harus menjadi orang kaya supaya bisa diterima. Padahal gak boleh begitu, padahal enggak begitu, kita tidak bisa apa ya kita tidak harus menunggu orang itu berhasil untuk menghormati dia gitu loh. Jadi itukan kaya beban gitu ya, kenapa sih menjadi moltes harus kaya, harus sukses, harus berhasil supaya di hormati. Padahal kita bisa menjadi orang biasa saja dengan identitas kita yang berbeda dan tetap saat ini di hormati, apa pertanyaannya adalah apa yang harusnya dilakukan warga sih, ketika ada anggota keluarga yang gay atau baik atau trans atau seks ataupun itu. Dan keluarga harus menjadi ruang aman, menjadi ruang nyaman, keluarga harus menjadi ruang dialektika yang sehat. Artinya, gak papa kok, misalnya begini. Saya ya saya dan bapak-ibu saya dan kakak saya, kami sebetulnya punya pandangan yang berbeda melihat transgender itu. Tidak kemudian, oh mereka melihat oke, dalam pandangan mereka tidak sepakat bahwa transgenderisme itu di terima dalam Islam, tapi mereka menghormati saya untuk tetap menjaga kehidupan saya, meyakini apa yang saya yakini begitu.

Nah di situ, jadi keluarga itu gapapa ketika kalian punya perbedaan pandangan keagamaan. Ketika melihat identitas berbeda, tetapi dialektika itu harus terbentuk yang menyehatkan saling mendengarkan, saling mensupport, dan tetap mendukung, apa pilihan anggota keluarganya yang berbeda dan tetap memberikan ruang support sistem yang suportivelah ya yang okeh kamu punya mimpi untuk oke kami akan tetap mendukung mu atau bahkan ketika saya ingin hidup sederhana itu pun tetap harus di dukung, dan kita sebagai keluarga harus tetap menyediakan ruang aman itu, sebagai keluarga harusnya keluarga tidak boleh memaksakan, keluarga tidak boleh menyakiti, keluarga tidak boleh mem apa ya melakukan conversion therapy karena itu harus muncul gitu ya. Kecuali dilakukan dalam rangka mencari titik temu seperti tadi yang saya alami, oh anggota keluarga a, oke kita harus ketemu psikolog a yang anggota keluarga b oh oke kita harus ketemu kalau begini, ternyata mereka punya pandangan yang berbeda gitu. Dan itu dilakukan semuanya dalam rangka apa ya berdialektika, berdialog sama lain bersama keluarga tanpa harus menyakiti, tanpa harus memaksakan gitu.

Tetapi itu kan gak, gak semua orang tua berpikiran gitu kan, ada juga yang konservatif juga gitu. Nah kalo dari sisi orangnya gitu, sisi pelakunya harus bersikap seperti apa sih, kalo tahu orang tua ini sebenarnya kolot nih. Udah gak gak boleh gitu. Nah itu gimana ya?

Pertama, gak ada pelaku karena kami bukan pelaku kriminal hahahaa.. Jadi..

Salah diksi, mohon maaf, hehe...

Hahaha gapapa, ini kebaikan dari jalan kita juga ya. Ya tapi media saya ingin incorrect teman-teman media untuk menggunakan term-term yang lebih apa ya lebih bersahabat.

Okeh, jadi kalau ada di stum kalo realitasnya tidak semua menerima mayoritasnya malah menolak yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang seperti saya adalah apa ya melihat sendiri kekuatan mu seperti apa, ini ini selalu saya dapatkan. Mas apa yang harus saya lakukan ketika tanya orangtua saya menerima, saya tidak akan memberikan nasihat apapun karena apa saya tidak bisa memaksakan jalan saya kepada jalan orang lain bahkan meskipun kita punya identitas yang sama, kita punya pergumlahan yang sama, saya selalu mengatakan kenali dirimu sendiri, kenali kekuatanmu apa, kenali keluargamu seperti apa dan temukan sendiri jalan mu untuk berjuang di dalam menentukan apa apa yang ingin ingin temukan. Jadi, hm apa untuk teman-teman kuwir. Ini istilah ya untuk ragam dari regionalisasi, teman-teman kuwir hmm apa ya percaya lah bahwa kita tidak sendirian gitu, percayalah sekalipun keluarga apa ya keluarga kandung tidak menerima akan kita punya pilihan untuk mencari keluarga lain yang tidak kandung dan saya ingin realistis aja gitu ya. Kalo tidak keluarga kandung mu tidak menerima dan kamu tidak bisa deleted, yaudah carilah keluarga lain yang bisa menerima mu, yang bisa mencintaimu, yang bisa mendukungmu dengan keragaman atau identitas yang kamu miliki gitu dan pasti ada, jangan pernah merasa sendiri gitu aja sih. Kita tetap punya pilihan sebetulnya diluar yang intim tadi ya, kita punya jalan yang beragam sebetulnya untuk tetap apa ya, bertahan hidup dan berjuang gitu dengan identitas yang kita miliki.

Okeh, baik, itu pertanyaan terakhir saya Mas Amar. Mungkin ada closing statement, pesan-pesannya, setelah sekarang masih berjuang dan akan terus berjuang. Pesan-pesannya untuk teman-teman seperti apa?

Mungkin pesan saya, pertama untuk masyarakat dan keluarga terutama ya bahwa keluarga harus menjadi ruang yang menentramkan, meneduhkan, menerima, mendukung, betapa pun berbedanya integritas yang kita punya dalam anggota keluarga ini. Keluarga seharusnya menjadi rumah ya, dimana orang mendapatkan perlindungan, dimana orang mendapatkan penerimaan cinta dan dukungan untuk berjuang melanjutkan hidupnya gitu. Jadi, siapapun keluarga ketika ada anggota kalian yang punya, anggota apa gay atau lesbi atau transgender dan sebagainya ciptakan ruang aman dimana kalian tetap bisa mendiskusikan perbedaan tanpa harus saling menyakiti, tanpa harus saling memaksakan, tanpa harus saling melukai gitu.

Nah, untuk teman-teman trans gitu ya, hm... apa ya, tetap berjuang dan apa kita tidak sendirian dalam perjuangan ini sebetulnya gitu. Teruslah mencari siapa diri kita sebenarnya. Teruslah menggali, teruslah menempuh dan mengenali, dan kemudian menerima diri kita sendiri. Menjadi diri kita bukanlah hal yang berdosa, menjadi diri kita itu bukanlah hal yang tidak dihendaki oleh Tuhan justru, Tuhan itu menciptakan diri kita dengan keunikkan ini, untuk menunjukkan bahwa kita juga bagian dari kuasa Tuhan yang diberikan dalam kehidupan ini. Jadi jangan pernah merasa apa ya kita produk gagal, tidak justru kita adalah produk sempurna ketika kita menyadari hakikat atau apa ya, diri kita siapa. Itu ya ide dan terakhir sebetulnya untuk orang-orang yang beragama, entah itu tokoh agama, entah itu institusi agama dan sebagainya. Mari ciptakan ruang agama yang aman yang ramah untuk siapapun karena agama seharusnya menjadikan. Agama seharusnya menjadikan tempat dimana orang berkeluh kesah dan diterima. Agama seharusnya menjadi tempat dimana orang-orang mengenali dirinya, apa itu hanya yang menerima dirinya. Agama seharusnya menjadi dalih, dalil orang untuk memperjuangkan keadilan, bukan justru menebarkan kebencian itu.