
Hidup berjalan di tanah patriarki adalah hal yang sulit. Khususnya bagi para kaum perempuan yang seakan-akan sudah dikutuk untuk memperjuangkan haknya yang seharusnya sudah didapat tanpa diperjuangkan lagi.
Hidup berjalan di tanah patriarki tidak hanya berdampak pada hak perempuan yang direnggut, tapi juga pandangan antara perempuan dengan sesama perempuan yang dinilai malah saling menjatuhkan.
Ketika kita berbicara tentang feminisme, kita cenderung melihat laki-laki sebagai lawan dan hanya fokus memperjuangkan kesetaraan hak yang sama dengan laki-laki, hingga lupa cara menghargai, memberdayai, dan mendukung sesama perempuan itu sendiri. Seakan hanya memperjuangkan hak perempuan untuk pribadi, bukan kolektif.
Ini yang dimaksud ketika budaya patriarki juga berpengaruh terhadap cara pandang perempuan dengan sesama perempuan. Setiap terdapat isu tentang kekerasan terhadap perempuan di media sosial, komentar yang dilontarkan kerap kali malah menyalahkan dan menyudutkan perempuan sebagai korban. Ironisnya, komentar-komentar tersebut datang dari perempuan juga.
Dalam dunia nyata, tak jarang pula kita menemukan sesama teman perempuan kita saling menjatuhkan dan membenci hanya untuk berkompetisi menjadi yang lebih baik, lebih sukses, pintar, cantik, dan lain sebagainya secara tidak sehat.
Mengutip artikel dari The Atlantic yang ditulis oleh Marianne Cooper, sosiolog di VMware Women’s Leadership Innovation Lab di Stanford University, dengan judul “Why Women (Sometimes) Don’t Help Other Women”, memaparkan bahwa terdapat dua faktor yang menjadi alasan kenapa perempuan tidak mendukung sesama perempuan: bias gender dan kurangnya solidaritas gender. Biasanya terjadi karena pernah mengalami diskriminasi gender.
Diskriminasi gender inilah yang tak lain dan tak bukan merupakan dampak dari budaya patriarki. Stereotip-stereotip negatif yang lahir dari budaya patriarki terhadap perempuan kerap kali menjadi alasan perempuan tidak ingin diasosiasikan dengan perempuan lain, sehingga solidaritas antar perempuan menjadi hilang. Slogan Women Support Women pun hanya menjadi jargon belaka.
Kondisi ini yang menempatkan saya pada posisi di mana saya tidak bisa lagi melihat esensi dari gerakan feminisme, jika perempuan dengan sesama perempuan saja enggan untuk saling mendukung, menjaga, dan memberdayai satu sama lain.
Faktanya, perempuan juga sangat memungkinkan untuk menjadi misoginis. Misalnya, stereotip negatif seperti perempuan terlalu sensitif dan hanya dapat mengandalkan perasaan membuat sebagian perempuan tidak ingin disamakan dengan sesama perempuan dengan mengatakan, "Saya tidak baper seperti perempuan lain".
Pola pikir seperti ini jelas salah. Seharusnya kita sesama perempuan dapat saling merangkul dan bersatu untuk membuktikan bahwa stereotip-stereotip tersebut tidak benar, bukan malah saling menjatuhkan.
Perilaku perempuan terhadap sesama perempuan yang masih saling menyalahkan dan membenci ini adalah salah satu bentuk adu domba dari struktur sosial kita yang tidak menginginkan adanya kesetaraan terhadap perempuan. Dan hal ini hanya akan mereproduksi ketidaksetaraan yang lebih besar.
Sudah seharusnya kita membahas dan mengingatkan sesama tentang isu ini lebih sering lagi untuk menyadarkan mereka, para kaum perempuan, akan pentingnya merealisasikan jargon Women Support Women.
Para kaum perempuan harus lebih aware dengan perilaku mereka terhadap sesama perempuan, mendukung atau malah saling menjatuhkan. Karena ketika perempuan mampu bekerja sama, saling merangkul, dan saling melindungi satu sama lain, tingkat diskriminasi dan kasus pelecehan terhadap perempuan dapat diminimalisir, kesetaraan pun lebih mudah untuk dicapai.
Jika memang hal tersebut yang ingin dicapai, maka solidaritas antar sesama perempuan harus diperkuat. Merangkul, menjaga, dan mendukung sesama perempuan harus dijadikan visi dan misi.
Mulailah dengan hal sesederhana mengubah pola pikir kita yang tidak ingin diasosiasikan dengan perempuan karena takut terkena stereotip negatif, ke pola pikir saling memberdayakan sesama perempuan untuk mendobrak stereotip negatif tersebut, karena sejatinya, kesetaraan tidak akan tercapai jika masih terdapat ketidaksetaraan di dalam perjuangannya.
Seperti yang pernah dikatakan oleh ibu kita Kartini, “Jangan biarkan kegelapan kembali datang, jangan biarkan kaum wanita kembali diperlakukan semena-mena”.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Menteri UMKM Tekankan Peran Penting Perempuan dalam Pengembangan UMKM
-
DRW Skincare Luncurkan Produk Baru, Sekaligus Perkuat Pemberdayaan Perempuan
-
Perempuan Masih Dihadapkan Ketimpangan, SRIKANDI Hadir sebagai Ruang Berkarya dan Bersuara
-
MUI Fatwakan Vasektomi Haram, Bagaimana Hukum KB untuk Perempuan dalam Islam?
-
Geruduk DPR saat May Day: Buruh Perempuan Ungkap Solusi Palsu Pemerintah, Begini Katanya!
Rona
-
Kisah Mama Siti: Perempuan Adat Papua yang Menjaga Tradisi Lewat Pala dan Membawanya ke Dunia
-
Pariwisata Hijau: Ekonomi Sirkular untuk Masa Depan Bumi
-
Emansipasi Tanpa Harus Menyerupai Laki-Laki
-
Apakah Hari Kartini Menjadi Tameng Emansipasi oleh Kaum Wanita?
-
Perkuat Nilai Komoditas dan Pemasaran Berkualitas, GEF SGP Indonesia dan Supa Surya Niaga Teken MoU
Terkini
-
Hubungan Verrell Bramasta dan Fuji Dapat Restu Sang Ibu juga Nenek, Ni Made Ayu: Mereka Cocok
-
Proyek Naturalisasi Indonesia Targetkan Nama Besar, Media Vietnam: Bisa Mengancam!
-
Ulasan Novel Podcase: Misteri Suara Arwah yang Tiba-Tiba Muncul di Podcast
-
Review Film Grand Tour: Menelusuri Waktu dan Rasa Lelah dalam Pelarian
-
IU Rayakan Hari Anak dengan Donasi Rp1,76 Miliar bagi Anak Difabel