Barikan merupakan salah satu tradisi masyarakat Jawa yang masih lestari hingga kini, terutama di beberapa daerah di Jawa Timur. Tradisi ini identik dengan kegiatan makan bersama di tempat terbuka, seperti jalanan, lapangan, hingga balai desa.
Barikan biasanya dilakukan untuk memperingati momen penting seperti Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus), malam 1 Muharram atau 1 Suro dalam kalender Jawa, hingga acara-acara lokal sebagai wujud syukur dan permohonan keselamatan.
Malam 1 Suro dan Makna Filosofis di Baliknya
Dalam pelaksanaannya, warga akan berkumpul dengan membawa berbagai macam makanan dari rumah masing-masing. Makanan-makanan ini kemudian dikumpulkan menjadi satu, biasanya di atas tikar panjang, dan dinikmati bersama-sama. Ada juga tradisi saling bertukar makanan antartetangga sebagai simbol persaudaraan. Beberapa daerah bahkan menyertai acara barikan dengan arak-arakan gunungan hasil bumi atau nasi tumpeng yang kemudian dibagi-bagikan kepada masyarakat.
Namun, di balik kesan hangat dan kebersamaan, malam 1 Suro yang menjadi salah satu momen penting barikan seringkali menyimpan kisah mistis dan spiritual bagi sebagian orang Jawa.
Kalau kalian tahu tradisi Grebeg Suro di Ponorogo, nah Barikan menjadi salah satu pecahan tradisi tersebut. Grebeg bisa juga diartikan sebagai keroyokan yang merujuk pada banyaknya acara yang diadakan dalam satu momen tersebut. Seperti kirab pusaka, kitab budaya, upacara larung doa, dan festival budaya lainnya.
Malam 1 Suro dan Aura Mistis di Petilasan Jayabaya
Di beberapa daerah Jawa Timur, malam 1 Suro dipercaya sebagai waktu ketika “tirai gaib” antara dunia manusia dan alam lain menjadi tipis. Tidak heran jika banyak ritual adat dilakukan pada malam ini untuk memohon perlindungan kepada Sang Pencipta sekaligus menjauhkan diri dari mara bahaya.
Salah satu tempat yang cukup dikenal adalah Petilasan Sri Aji Jayabaya, raja legendaris Kediri yang terkenal dengan ramalan-ramalannya. Setiap malam 1 Suro, masyarakat setempat menggelar kirab atau arak-arakan dari petilasan menuju Sendang Tirta Kamandanu, yang dipercaya sebagai lokasi moksa Sang Raja. Ritual ini diiringi doa dan sesaji sebagai wujud penghormatan sekaligus permohonan berkah.
Di kampung-kampung sekitar, suasana malam 1 Suro terasa berbeda. Banyak orang yang memilih begadang karena menurut orang Jawa, “telek buntel klaras” (betah melek, waras)—siapa yang kuat berjaga akan tetap sehat dan terhindar dari gangguan. Sebab konon, di bulan Suro banyak orang meninggal mendadak, bahkan dalam sehari bisa tiga orang sekaligus. Cerita ini semakin terasa menyeramkan karena pada masa lalu belum ada listrik, sehingga malam terasa benar-benar gelap dan sunyi.
Cerita Sungai Brantas dan Nyai Roro Kidul
Menariknya, di kampung dekat Sungai Brantas yang menjadi saksi sejarah Kediri, ada kisah yang berkembang di masyarakat. Menurut warga tua, setiap malam 1 Suro menjelang tengah malam, terdengar suara riuh seperti pesta dari arah sungai—suara gamelan, tawa, dan obrolan ramai. Padahal, ketika didatangi, suasana kembali hening.
Beberapa orang percaya bahwa malam Suro juga menjadi waktu di mana Nyai Roro Kidul, ratu laut selatan yang legendaris, “dinikahkan” dalam ritual gaib oleh makhluk-makhluk halus sebagai bentuk penghormatan. Meski belum pernah terbukti, kisah ini tetap diceritakan turun-temurun hingga kini dan menjadi bagian tak terpisahkan dari mitos Jawa.
Barikan: Antara Syukur dan Simbol Keseimbangan
Meski sarat akan cerita mistis, barikan sejatinya adalah wujud rasa syukur dan upaya menjaga keharmonisan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Tradisi ini juga mempererat silaturahmi warga yang kini semakin jarang dilakukan di era modern. Di balik nasi tumpeng, kue-kue tradisional, dan doa bersama, terselip pesan moral tentang kebersamaan, kepedulian, dan kerendahan hati.
Bagi generasi muda, memahami tradisi barikan berarti belajar menghargai warisan budaya sekaligus menyadari bahwa setiap adat memiliki filosofi mendalam.
Entah itu benar-benar mistis atau sekadar mitos, tradisi ini tetap menjadi pengingat bahwa manusia hidup bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk menjaga keseimbangan dengan alam dan sesama.
Baca Juga
-
Pungli di Sekolah Negeri: Gejala Sistemik yang Tak Boleh Dianggap Normal
-
Anatomi Kehidupan dari Laut: Pangan, Ekonomi, hingga Masa Depan Kita
-
Benteng Terakhir Pesisir: Mengapa Zona < 1 Mil Harus Dilindungi Total
-
Ketika Bencana Menjadi Keseharian: Ironi Nyata dari Ujung Pesisir
-
Mercusuar Cafe & Resto: Spot Foto Magical ala Negeri Dongeng di Bandung!
Artikel Terkait
-
Diprotes Ridwan Kamil Karena Delay, Bandara Ngurah Rai : Penundaan Akibat Maskapai Sendiri
-
Ospek SMA di Jabar Gandeng TNI-Polri, Jam Masuk Sekolah Dimajukan Jadi 6.30 Pagi
-
Direktur Jawa Pos: Sengketa Hukum dengan Dahlan Iskan Murni Persoalan Aset
-
Sebut Anugerah Adat Ingatan Budi Sebagai Pengingat, Kapolri Ungkap Maknanya!
-
Viral, Netizen Tantang Dedi Mulyadi Usut Limbah B3 di Kali Cilemahabang, Ini Jawabannya
Rona
-
Kisah Akbar, Disabilitas Netra yang Berkelana di Ruang Sastra Tukar Akar
-
Warriors Cleanup Indonesia: Gerakan Anak Muda Ubah Kegelisahan Akan Lingkungan Jadi Aksi Nyata
-
Bandung Sustainability Summit 2025: Kota Kembang Pimpin Gerakan Hijau Nasional!
-
Mengenal Lutung Jawa: Si Hitam Penjaga Rimba yang Terancam Punah
-
Pengen Berkiprah di Pekerjaan Hijau? Ini Tiga Sektor Pekerjaan Hijau Paling Menjanjikan
Terkini
-
Ari Lasso Beri Kejutan Romantis untuk Dearly Djoshua, Bantah Rumor Putus?
-
Rentetan Bullying Hingga Kekerasan di Sekolah, Bagaimana Peran Pendidik?
-
EXO Hidupkan Lagi Konsep Superpower di Trailer Album Penuh ke-8, REVERXE
-
Tembus 5 Juta Penonton, Agak Laen 2 Jadi Film Indonesia Terlaris Kedua 2025
-
Akar Masalah Bullying: Sering Diabaikan, Lingkungan, dan Psikologi Keluarga