Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yudi Wili Tama
Ilustrasi Harimau Sumatra (Unsplash/SteveBridge68)

Dulu kita punya tiga. Sekarang tinggal satu. Kalau ini bukan peringatan keras dari alam semesta, maka mungkin kita sudah terlalu kebal terhadap peringatan.

Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) adalah satu-satunya harimau yang masih bertahan hidup di tanah Indonesia. Dua saudaranya—harimau jawa dan harimau bali—sudah berpulang ke legenda dan museum. Sementara itu, sang adik yang tersisa ini sedang berada di ujung tanduk. Status “Kritis” dari IUCN bukan cuma label; itu seperti surat peringatan tahap akhir: “Selangkah lagi, punah.”

Tiap tanggal 29 Juli dunia memperingati Global Tiger Day. Tahun 2025, temanya sederhana tapi telak: Harmonious Coexistence between Humans and Tigers. Sementara di Indonesia, temanya lebih lugas dan (semoga) tidak sekadar seremonial: Aksi Nyata Pelestarian Harimau Bersama Masyarakat, Pemerintah, dan Pelaku Usaha. Kata kuncinya: aksi. Bukan lagi wacana, bukan hanya twibbon.

Mari kita bicara serius, tapi santai, tentang raja rimba yang kini jadi tamu tak diundang di ladang warga, tentang hutan yang kian lapang tapi bukan karena lestari, dan tentang kita yang sering kali ingin menyelamatkan tanpa benar-benar berubah.

Patroli Nagari dan Ilmu Adat: Konservasi Tidak Harus Berjas dan Berdasi

Ada satu kalimat sakti dalam konservasi modern: “libatkan masyarakat lokal.” Tapi sejujurnya, kadang kalimat ini dipakai lebih seperti jargon proposal proyek ketimbang niat sejati.

Namun di lapangan, masyarakat adat di Sumatra sudah sejak lama punya cara sendiri menjaga harmoni dengan harimau. Di beberapa wilayah di Sumatra Barat, dikenal praktik “patroli nagari”—inisiatif komunitas untuk memantau wilayah hutan adat mereka. Bukan hanya menjaga hutan dari pembalakan liar, tapi juga memantau pergerakan harimau agar tidak terjadi konflik. Mereka tak punya drone, tapi punya insting yang diasah generasi demi generasi.

Masyarakat Minangkabau bahkan punya cerita rakyat tentang “Inyiak Balang” alias harimau sebagai penjaga rimba. Harimau dianggap bukan musuh, tapi saudara tua. Sebuah penghormatan yang tidak kita temukan dalam bahasa hukum konservasi yang kaku dan formal.

Konservasi tidak harus datang dari pusat kota dengan SUV dan power point. Kadang, cukup dengan menghargai pengetahuan lokal yang sudah ada jauh sebelum kita sibuk dengan target SDGs.

Penelitian Green et al. (2024) menunjukkan bahwa program pelestarian yang melibatkan warga secara aktif—termasuk dalam patroli, pelaporan konflik, dan keputusan kolektif—terbukti lebih tahan lama dibandingkan pendekatan top-down. Konservasi sejati bukan proyek lima tahun. Ia adalah praktik hidup sehari-hari.

Koridor Kehidupan, Bukan Sekadar Jalur Satwa

Mari kita bicara soal koridor. Bukan yang di kantor kementerian, tapi koridor ekologis—jalur penghubung antarhabitat yang sangat penting bagi harimau.

Harimau butuh ruang besar untuk hidup dan berkembang biak. Saat habitat terpecah-pecah seperti tambal sulam, mereka jadi “terjebak” di pulau-pulau hutan kecil yang tidak memadai. Maka mereka keluar. Maka konflik terjadi. Maka akhirnya ada korban—baik manusia maupun harimau.

Studi oleh Rahman et al. (2023) mengidentifikasi 12 koridor prioritas di Sumatra, terutama di wilayah dengan riwayat konflik tinggi. Sayangnya, sebagian koridor ini sudah “ditindih” oleh izin usaha atau pemukiman. Ironis, kita tahu mereka penting, tapi kita juga yang menghalanginya.

Membangun dan menjaga koridor ini bukan cuma soal menggambar peta. Ini soal keputusan politik, soal menolak izin baru yang serakah, soal memulihkan zona penyangga yang rusak, dan soal berkata “cukup” terhadap pembukaan lahan.

Bayangkan jika harimau punya jalan bebas hambatan seperti kita. Mungkin mereka tak akan perlu menyeberang ke jalan desa dan berakhir di video TikTok yang viral.

Koeksistensi: Bukan Dongeng, Tapi Strategi Bertahan

Kita suka bicara “hidup berdampingan” seolah itu mimpi mulia. Tapi kenyataannya, koeksistensi bukanlah puisi. Ia adalah strategi bertahan hidup—bagi manusia maupun harimau.

Hidup berdampingan berarti memahami bahwa harimau bukan musuh. Ia predator, ya. Tapi juga penjaga rantai makanan. Saat harimau lenyap, populasi mangsa seperti babi hutan meledak. Petani kehilangan panen. Hama meningkat. Ekosistem goyah.

Koeksistensi juga berarti menjembatani nilai konservasi dengan keadilan ekologis. Petani kecil tidak bisa disuruh “jangan marah” saat ternaknya dimakan harimau, sementara perusahaan besar tetap bebas menebang hutan tanpa kompensasi. Maka kita butuh pendekatan yang adil: kompensasi konflik, skema asuransi, dan pendidikan ekologis yang membumi.

Lebih dari itu, koeksistensi adalah urusan budaya. Di banyak masyarakat adat, harimau bukan hanya satwa liar, tapi bagian dari identitas. Menghormati harimau adalah menghormati diri sendiri.

Restorasi habitat, pembangunan koridor, partisipasi warga, hingga perubahan kebijakan bukan cuma soal “menyelamatkan harimau”. Tapi juga menyelamatkan cara hidup kita sendiri agar tidak putus dari akar dan tak rakus dalam bertindak.

Menyelamatkan Harimau Adalah Menyelamatkan Kita Sendiri

Harimau Sumatra bukan sekadar simbol eksotis untuk brosur wisata atau lambang tim sepak bola. Ia adalah indikator kesehatan ekosistem. Saat harimau punah, itu pertanda kita gagal menjaga rimba. Dan jika rimba hancur, kita tak akan lama menyusul.

Kita sudah kehilangan dua spesies harimau. Dan, mari jujur: kita belum banyak belajar dari itu. Kini tinggal satu. Jika kita gagal juga menjaga yang satu ini, maka sejarah akan mencatat bahwa kita bukan generasi pelindung, melainkan generasi pembabat.

Tapi belum terlambat. Koeksistensi bukan dongeng. Ia nyata. Sudah ada di masyarakat adat, sudah dibuktikan dalam riset, sudah terbukti efektif di lapangan. Tinggal kita—pemerintah, warga, pengusaha, dan siapa pun yang merasa masih manusia—berani memilih hidup berdampingan, bukan hanya demi harimau, tapi demi kelangsungan hidup bersama.

Karena saat harimau terakhir mengaum, dunia akan lebih sunyi. Dan kita, lebih sendiri.

Yudi Wili Tama